Di Nahdlatul Ulama (NU), ada dua tokoh yang tidak bisa dipisahkan perannya yaitu KH M Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah. Sejarah hidup KH Abdul Wahab Hasbullah banyak melakukan pengembaran keilmuan, yang dapat di kelompokkan ke dalam 3 periode, yaitu periode pendidikan orang tua (1888-1901), periode pengembaraan ke pesantren-pesantren di Pulau Jawa (1901-1909), dan periode bermukim di Makkah (1909-1914).
KH Abdul Wahab Hasbullah mendapat pendidikan awal secara langsung dari ayahandanya, KH Hasbullah hingga berusia 12 tahun, periode I (1888-1901). Kemudian, setelah dirasa memiliki bekal awal yang mencukupi, KH Wahab meneruskan belajarnya ke beberapa pesantren di Pulau Jawa seperti Pesantren Langitan, Pesantren Mojosari, Pesantren Cepoko, Pesantren Tawangsari, Pesantren Bronggahan, Pesantren Kademangan, dan Pesantren Tebuireng, periode ini merupakan periode II (1901-1909).
Setelah itu, beliau bermukim dan belajar di Makkah selama 4 tahun, yang merupakan periode III (1909-1914). Masa pendidikan Kiai Abdul Wahab Hasbullah dari kecil hingga besar dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, ia secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh dilingkungan pondok, sejak dini ia diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barzanji, diba, salawat dan pencak silat.
Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul. Di antara kiai-kiai yang pernah mengajar Kiai Wahab adalah Kiai Ahmad Sholeh Langitan, Kiai Zainuddin Mojosari, Kiai Mas Ali, Kiai Mas Abdullah, Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Fakhuddin Kediri, dan Kiai Hasyim Asy’ari Tebuireng.
Khusus di Pesantren Tebuireng, KH Abdul Wahab Hasbullah cukup lama menjadi santri. Di sana selama 4 tahun lamanya, waktunya tidak hanya digunakan untuk menyempurnakan pelajarannya tentang Kitab Fathul Wahab, Mahalli, Baidhawi dan ilmu isti’arah. Di Tebuireng, KH Wahab pun mulai mengajar ilmu-ilmu fikih, akhlak, nahwu, sharaf dan lain-lain dari bagian rendah sampai menengah.
Sejak muda, kecerdasan Kiai Wahab sudah terlihat. Ia sudah mulai dilatih oleh Kiai M Hasyim Asy’ari untuk menjadi pemimpin dengan menjadi lurah Pondok Pesantren Tebuireng. Kiai Wahab sejak mudanya tergolong seorang yang rajin dan gemar sekali menuntut ilmu. Hal ini terbukti kemana pun juga beliau pergi senantiasa waktunya digunakan untuk belajar menuntut ilmu.
Setelah cukup lama di Tebuireng, Kiai Wahab melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah. Saat itu beliau berumur 27 tahun, untuk pertama kalinya pergi ke Mekkah, selain bermaksud untuk menunaikan rukun Islam kelima, juga melanjutkan pelajarannya. Selama bermukim dan belajar di Mekkah selama 5 tahun itu, Kiai Wahab belajar dan berguru kepada Kiai Mahfudz Tremas, terutama mengenai ilmu Al-Hikam, tasawuf, ushul fikih.
Baca juga : Adu kesaktian KH. Wahab Hasbullah Vs Bung Karno
Kiai Abdul Wahab Hasbullah juga belajar ke Kiai Mukhtarom Banyumas, untuk menamatkan kitab-kitab besar seperti Fathul Wahab dan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, terutama dalam ilmu fikih. Pernah belajar juga ke Kiai Bakir Yogyakarta dalam ilmu mantiq, Kiai Asyari Bawean dalam ilmu hisab, Syaikh Said Al-Yamani, Said Ahmad Bakry Syatha’ mengenal ilmu nahwu, Syaikh Abdul Karim Al-Daghestani menamatkan kitab thufah.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Abdul Wahid Hasyim yang menyebut Kiai Wahab sebagai “kiai merdeka”, mungkin sebagai gambaran dari sosoknya yang cenderung berjiwa bebas dan tidak terikat oleh apapun. Berpendirian tegas dan memiliki prinsip adalah salah satu cerminan Kiai Wahab. Namun, semerdeka apa pun Kiai Wahab, beliau tetap memiliki hormat yang besar kepada Hadratussayikh KH M Hasyim Asy’ari.
Dalam perjalanan hidupnya KH Abdul Wahab Hasbullah tidak pernah lepas dari Pondok Pesantren Tebuireng, khususnya ke Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Terbukti, saat mau mendirikan NU, Kiai Wahab tetap menunggu instruksi dari KH M Hasyim Asy’ari. Padahal saat itu, KH Wahab sudah malang melintang di berbagai organisasi. Secara logika, KH Wahab Hasbullah bisa mendirikan NU sendiri.
Keduanya menjadi tokoh sentral di NU hingga Kiai Hasyim wafat pada 1947. Kiai Wahab karena muda, lebih banyak ke daerah-daerah untuk menghidupkan NU. Sementara Kiai Hasyim bagian menjaga internal NU dan merawat jamaah NU.
Baca juga: Peneguhan Kembali Nasionalisme ala NU
Hingga saat ini, foto KH M Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Hasbullah selalu berjejer di acara-acara NU. Mengingat peran keduanya yang begitu besar kepada NU. Kiai Wahab juga sering dipanggil oleh Kiai Hasyim ke Tebuireng lalu diberikan tugas khusus atau sekedar untuk diskusi untuk kebaikan NU.
Saking dekatnya hubungan KH M Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Hasbullah, saat hadratussayikh wafat yang memberikan sambutan terakhir sebelum dimakamkan adalah KH Wahab Hasbullah. Saat itu, KH Wahab Hasbullah, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup Kiai Hasyim Asy’ari, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu tanpa istirahat.”
Disarikan dari buku “Pluralitas Dalam Bingkai Nasionalisme, Telaah atas Pemikiran & Perjuangan KH Abdul Wahab Hasbullah”