“Agama dan nasionalisme bukanlah dua kutub yang berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.” KH Hasyim Asy’ari.
Sebagai salah seorang yang pernah menimba ilmu di Jombang, tentu saya sangat senang ketika mendengar kabar bahwa Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) tahun 2015 diselenggarakan di Jombang. Bukan saja karena saya pernah nyantri di sana, melainkan juga karena ada harapan besar yang disematkan kepada semua pihak yang turut menggawangi Nahdlatul Ulama (NU) di masa kini dan yang akan datang. Tentunya, saya sadar bahwa penetapan lokasi Muktamar yang ke-33 (tiga puluh tiga) ini bukan tanpa alasan, para stakeholder sudah mempertimbangkan secara matang terkait kesiapan Jombang sebagai tuan rumah dalam gelaran 5 tahun sekali itu, baik secara antropologis, sosiologis, bahkan filosofis. Sehingga,
Penentuan Jombang sebagai lokasi gelaran tidaklah bebas nilai, semua berakar kepada figur-figur yang membidani lahirnya Nahdlatul Ulama (NU), sebut saja Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri dan yang lainnya. Kegigihan beliau-beliau dalam berdakwah lah yang harus diteladani, baik secara formal maupun kultural, serta perjuangan dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila sebagai asas negara. Oleh karenanya, melalui tulisan ini saya hendak mengajak pembaca untuk kembali menelaah dan meneladani apa-apa yang telah digariskan oleh para guru besar kita rahimahumullah, tentang apa itu nasionalisme dan dakwah Islam secara kultural.
Berkaca kepada Mbah Hasyim dan Mbah Wahab
Tidak ada sejarawan yang bisa menyangkal bahwa KH Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) merupakan seorang ulama besar yang jiwa nasionalismenya tidak diragukan lagi. Adapun peristiwa yang paling tidak bisa dilupakan dari benak kita adalah momentum pasca kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 22 Oktober 1945, Netherland Indian Civil Administration (NICA) dari pemerintahan Belanda yang membonceng pihak Sekutu, mencoba untuk datang kembali ke Indonesia guna merebut kekuasaan di Surabaya. Menghadapi keadaan ini, Mbah Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan tentara NICA dan Sekutu, hingga pecahlah peristiwa 10 November. Bagi Mbah Hasyim, kemerdekaan dan keutuhan NKRI adalah bentuk final yang tidak bisa ditawar lagi.
Sebelum keluarnya Resolusi Jihad, KH Abdul Wahab Hasbullah (Mbah Wahab) dengan segala kelincahan dan kecerdikannya, tidak pernah berhenti untuk melakukan konsolidasi ke sejumlah wilayah di Jawa dan Madura. Konsolidasi ini tak lain guna menggalang massa dari basis-basis Nahdlatul Ulama (NU) yang umumnya merupakan kalangan santri dan masyarakat di pedesaan. Karena bagaimana pun, bagi Mbah Hasyim dan Mbah Wahab melawan penjajah adalah fardlu ‘ain hukumnya. Negara wajib dipertahankan kedaulatannya, karena dengan berdirinya sebuah negara yang merdeka, aman dan terkendali, niscaya umat Islam beserta pemeluk agama lain bisa melaksanakan ibadah dengan sebaik-baiknya.
Baca Juga: Santri Tebuireng: KH Abdul Wahab Hasbullah
Sampai pada titik ini kemudian berlaku kaidah: ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib (jika suatu kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya). Beribadah dan melaksanakan rukun Islam secara sempurna tentunya tidak akan bisa ‘sempurna’ tanpa adanya kedaulatan negara tempat kita tinggal. Sehingga, apa yang diperjuangkan oleh para patriot bangsa ini (sebagaimana yang dicontohkan oleh Mbah Hasyim dan Mbah Wahab) adalah sebuah keniscayaan bagi kita untuk memperjuangkannya. Mereka semua tidak rela kebebasan dan kemerdekaannya diinjak-injak penjajah. Bagi mereka, hanya ada satu prinsip: merdeka atau mati; ‘isy kariman, au mut syahidan; rawe-rawe rantas, malang-malang putung.
NKRI Final dan Harga Mati
Beberapa waktu lalu, KH Said Aqil Siradj menulis di kolom opini harian Kompas (11/04/2015), dengan judul: Mendahulukan Cinta Tanah Air. Kang Said menuliskan keresahannya terhadap fenomena yang muncul belakangan, yakni munculnya kelompok-kelompok keagamaan dari orang-orang yang yang sudah hilang rasa memiliki terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kang Said menyebut mereka sebagai orang-orang yang “kost” di negeri ini. Padahal, “tanpa negara, bagaimana umat Islam bisa melakukan kegiatan keagamaannya?” ujar Kang Said.
Dalam buku yang berjudul Nuansa Fiqh Sosial, KH MA Sahal Mahfudh mengatakan bahwa dalam konteks Indonesia, penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas tidaklah menghapuskan cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik tanah air. Karena bagaimana pun, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila juga tersematkan dalam ajaran Islam. Coba perhatikan dengan baik, adakah dari kelima butir Pancasila itu yang bertentangan dengan syariat Islam? Jawabannya, tidak.
Dalam kesempatan yang lain, Habib Luthfi bin Ali bin Yahya mengatakan bahwa kita harus senantiasa meneruskan peran para pendahulu dalam menjaga dan mengisi kemerdekaan. NKRI adalah harga mati dan sudah final. Kemerdekaan bangsa ini merupakan anugerah Allah SWT yang sudah sepatutnya kita jaga dan kita rawat bersama. Jika saja Anda berkesempatan mengikuti majelis-majelis shalawat (seperti perayaan maulid Nabi misalnya) yang dipimpin langsung oleh Habib Luthfi, Anda akan disuguhkan dengan konsep perpaduan antara semangat keagamaan dan patriotisme terhadap negara secara menarik.
Sebelum pembacaan maulid diba’ ataupun barzanji, Habib Luthfi akan mengawalinya dengan menyanyikan bersama lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Padamu Negeri. Menarik, bukan? Tentu saja. Karena sebenarnya apa yang dicontohkan oleh Habib Luthfi merupakan simbol dari semangat nasionalisme yang tumbuh sebab kesadaran akan fakta bahwa, kemerdekaan bangsa ini dilahirkan dari perjuangan yang berdarah-darah. Menghargai dan menghormati jasa para pahlawan adalah dengan mengisi kemerdekaan. Bahkan Habib Luthfi pernah berujar, sudah sepatutnyalah kita turut mengirim tawassul dan doa untuk para pahlawan setiap kali kita melaksanakan tahlilan.
Islam Kultural ala Nahdlatul Ulama (NU)
Almaghfurlah Gus Dur pernah melontarkan satu pertanyaan menggelitik, “Kita ini sebetulnya orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia ataukah orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam?” Pertanyaan ini sepintas tidak problematik, tetapi jika dibaca pelan-pelan dengan kecermatan yang tajam, maka terdapat dua paradigma yang bertolak belakang dalam mengimplementasikan Islam di bumi Nusantara. Terkait pertanyaan Gus Dur ini KH Marzuki Wahid menulis:
“Pertanyaan ini dilontarkan Gus Dur ketika sebagian orang Islam di Indonesia marak menggunakan identitas ke-Arab-an untuk meneguhkan identitas dirinya sebagai orang Islam. Dengan identitas itu, dalam benak mereka, seolah-olah Islam itu Arab dan Arab itu Islam. Untuk menjadi Muslim, seseorang harus menggunakan identitas Arab atau melebur seperti orang Arab, mulai dari cara berbicara yang ke-arab-arab-an, berjenggot dan berjambang lebat, berpakaian jubah, abaya hitam-hitam bercadar, atau seperti pakaian orang Afghanistan, hingga cara makan dan apa yang dimakan oleh orang Arab pun dijadikan model keislaman.”
Gus Dur sendiri pernah mengatakan: “Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita menjadi budaya Arab, bukan untuk ‘aku’ jadi ‘ana’, ‘sampeyan’ jadi ‘antum’, ‘sedulur’ jadi ‘akhi’. Kita pertahankan milik kita. Kita serap ajaran nya, tapi bukan budaya Arabnya.” Gagasan Gus Dur ini tentunya merupakan pengejawantahan corak Islam Nusantara yang sangat harmonis dengan budaya dan kearifan lokal. Pada sebuah kesempatan, Habib Luthfi mengatakan:
“Untuk mengamalkan syariat Islam tidak perlu menghilangkan kultur lokal. Dakwah Walisongo berhasil, karena beliau-beliau sudah mempelajari kultur penganut agama Hindu dan Buddha di Nusantara. Poinnya adalah penyesuaian dalam penerapan, bukan merubah pokok syariat. Ibaratnya, orang Jawa ya dikasih makannya nasi dengan lauk sayur asem. Kalau orang Jawa dipaksa makan nasi buryani dan kebuli terus ya mencret. Islam di Indonesia di syiarkan oleh Walisongo dan para ulama dengan pendekatan budaya, di Andalusia Islam disebarkan dengan kekuatan militer, mana yang lebih bertahan?”
Setali tiga uang, KH Muhammad Sholikhin mengutarakan bahwasanya Islam dalam banyak ajarannya bersikap sangat kooperatif menyikapi fenomena kebudayaan. Adat istiadat sebagai sebuah proses dialektik-sosial dan kreativitas alamiah manusia tidak harus dieliminasi, dibasmi, atau dianggap musuh yang membahayakan. Melainkan dipandang sebagai partner dan elemen yang harus diadopsi secara selektif dan proporsional. Ini mengapa dalam kajian fikih kita seringkali menemukan istilah ‘adat dan ‘urf sebagai sebuah penjelmaan dari adat, budaya, kultur, dan tradisi.
Lihatlah betapa pendakwah terdahulu begitu toleran menghormati perbedaan, Sunan Kudus enggan menyembelih sapi, karena menghormati tradisi Hindu yang ada di daerahnya. Sehingga, setiap Idul Adha yang disembelih hanyalah kambing dan kerbau. Dengan begitu, warga Hindu tidak merasa terhina dan tetap dihargai kepercayaannya. Pendekatan Sunan Kudus terbukti efektif, sehingga banyak penganut Hindu yang datang ke masjid untuk menyaksikan penyembelihan hewan kurban. Bahkan banyak di antara mereka yang akhirnya berpindah dan memeluk Islam. Demikian pula dengan Sunan Kalijaga, beliau sangat cemerlang dalam mengolah budaya menjadi seni berdakwah, baik melalui seni ukir, wayang, gamelan, maupun seni suara suluk. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Beliaulah yang menggagas perayaan sekatenan, grebeg maulud, serta lakon carangan “Layang Kalimasada” dan “Petruk dadi Ratu”.
Para wali tidak berdakwah secara frontal, melainkan berbaur dengan kearifan lokal, hal inilah yang ditiru oleh para kyai dan masyayikh kita. Lihatlah bagaimana penamaan pesantren-pesantren yang sudah berdiri selama ratusan tahun dinamai dengan citarasa lokalitas di mana ia berdiri, sebut saja Pesantren Tebuireng, Pesantren Tambakberas, Peterongan, Denanyar, Lirboyo, Ploso, Krapyak, Kajen, Buntet, dan masih banyak lagi. Hal ini mengindikasikan ikatan horizontal antara kyai-santri-masyarakat terjalin erat, karena semua makan dan minum dari tanah dan air yang sama.
Maka dari itu, kita sepatutnya miris melihat kecenderungan kelompok-kelompok keagamaan yang cenderung ‘hobi’ untuk melabeli dan menstigmakan sesama muslim dengan cap ahli bid’ah, kafir, syirik dan lain sebagainya. Kecenderungan inilah yang kemudian menjadi kegelisahan Emha Ainun Nadjib. Cak Nun mengatakan: “Wong Kanjeng Nabi biyen nyedeki wong kafir ben melebu Islam kok, lha saiki malah wong Islame dewe dikafir-kafirke.” Singkatnya, dulu Nabi Muhammad SAW dengan kelembutannya mendekati orang-orang di sekeliling beliau untuk ikut masuk ke jalan keselamatan, tapi sekarang manusia-manusia angkuh nan egois (yang merasa paling benar sendiri) menuduh kafir dan syirik kepada sesamanya. Ironis.
Penutup
Martin van Bruinessen pernah mengutarakan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah gejala unik, tidak hanya di Indonesia melainkan juga di dunia Islam. Sebuah organisasi yang dikontrol oleh para ulama dan memiliki massa pengikut riil. Akarnya menancap kuat di kalangan penduduk dengan kesetiaan pengikutnya yang sangat kuat, hampir-hampir primordial. Kesetiaan inilah yang seharusnya dikembangkan sebagai potensi ke arah yang lebih baik lagi. Maka dari itu, sebagai pamungkas dari tulisan ini, ada beberapa hal yang hendak saya beri catatan: Pertama, kita tahu bahwasanya Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai pelopor berdirinya NU tentu saja senantiasa menjadi panutan bagi kita semua warga Nahdliyyin. Di lain pihak, mobilitas NU secara nasional juga tak bisa dilepaskan dari sosok KH Abdul Wahab Hasbullah, yakni motor penggerak organisasi yang enerjik dan brilian.
Diplomasi-diplomasi dan lobi-lobi yang dihasilkan Mbah Wahab menjadi bukti kecemerlangan beliau. Maka sudah seharusnya, Muktamar ini dijadikan momentum bagi kita untuk kembali meneladani dan mendalami falsafah perjuangan Mbah Hasyim dan Mbah Wahab (tanpa mengesampingkan kyai dan ulama yang lain) dalam konteks keagamaan dan kenegarawanan. Sebab kita tahu, basis NU terkenal sebagai basis yang mengakar kuat hingga ke akar rumput. Santri, sebagai kader alamiah organisasi ini merupakan potensi besar yang tak boleh diabaikan begitu saja. Santri, tidak cukup hanya pandai mengaji dan ceramah agama saja. Santri, juga harus pandai berserikat, berorganisasi dan membaur dalam komunitas-komunitas. Karena dengan begitu, secara alamiah akan menumbuhkan jiwa leadership sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Mbah Wahab. Jiwa leadership ini menjadi penting ketika nanti si santri kembali dan pulang untuk berjuang di masyarakatnya. Oleh karena itu, santri juga harus melek isu-isu lokal, nasional, bahkan global.
Kedua, Muktamar NU harus mampu memetakan skala prioritas dalam pembahasan isu-isu bersama, baik lokal maupun nasional. Hal ini menjadi penting, melihat kondisi bangsa kita sendiri yang sedang mengalami krisis kepercayan untuk mengatasi problematikanya sendiri. Rongrongan ajaran Wahabi-Salafi yang gemar mengkampanyekan tuduhan bid’ah dan mengakfirkan pemeluk muslim yang lain tentunya semakin nyata menggerogoti keyakinan masyarakat kita. Oleh karenanya, Muktamar kali ini seyogyanya menjadi ajang untuk menengok kembali landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis dari visi dan misi NU sendiri melalui kacamata konteks bangsa saat ini. Tak lain dan bukan agar penempatan Jombang sebagai lokasi Muktamar bukan hanya sebagai perihal teknis belaka, tapi juga memiliki nilai-nilai filosofis yang luhur. Nilai-nilai yang bermanfaat bagi umat manusia tanpa memandang suku dan agamanya. Karena sebagaimana yang dikatakan Gus Dur, bahwa: “Peran agama sesungguhnya adalah membuat orang sadar akan fakta bahwa dirinya adalah bagian dari umat manusia dan alam semesta.”
Ahmad Masfuful Fuad
Bahan bacaan:
Emha Ainun Nadjib, Indonesia Bagian dari Desa Saya, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2013).
M Hasyim Asy’ari, Sang Kiai: Fatwa KH M Hasyim Asy’ari Seputar Islam dan Masyarakat, terj. Jamal Ma’mur Asmani, (Yogyakarta: Qirtas, 2005).
MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, cet. II, (Yogyakarta: LKiS, 2012).
Marzuki Wahid “Menjadi Muslim-Indonesia: Inspirasi dari Pemikiran Gus Dur,” Harian Kabar Cirebon (Jum’at, 30 Desember 2011).
Martin van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, (Yogyakarta: Penerbit Gading, 2013).
Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2010).
Munawwir Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006).
Said Aqil Siradj, “Mendahulukan Cinta Tanah Air,” Harian Kompas (Sabtu, 11 April 2015).
___________, Islam Kebangsaan: Fikih Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999).
Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan & Sinkretis, (Jakarta: Kompas, 2010).
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, cet. IX, (Jakarta: LP3ES, 2011).
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010).