Fahruddin Faiz dalam YouTube Ngaji Filsafat edisi 305 mengutip refleksi berupa kritik Aldo Leopold tentang relasi manusia dengan alam. Ia mengutip:
“Bukankah kita sudah menyanyikan lagu cinta dan kewajiban kepada tanah air, tempat kita bebas dan rumah bagi para pemberani? Ya, tapi apa dan siapa sebenarnya yang kita cintai? Pastinya bukan tanah yang sering kita kacau-balaukan hingga ke kedalaman sungainya. Pastinya bukan air yang kita pandang tak memiliki fungsi selain untuk memutar turbin, mengapungkan perahu, dan menampung pembuangan. Pastinya bukan tetumbuhan, karena kita sering memusnahkan komunitasnya tanpa mengedipkan mata. Pastinya bukan hewan, karena kita pun sudah banyak memusnahkan spesies-spesies paling besar dan cantik yang dimilikinya”.
Krisis lingkungan telah menjadi isu utama dunia sejak awal abad kedua puluh. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memulai gerakan untuk mengatasi krisis ini dengan mendirikan United Nations Environment Programme (UNEP) pada tanggal 5 Juni 1972.
UNEP bekerja sama dengan pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan entitas PBB untuk mendorong perubahan transformasional dengan meneliti tiga akar penyebab krisis lingkungan, yakni perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman alam dan hayati, serta polusi. Industrialisasi ditengarai sebagai penyebab sebagian besar kerusakan lingkungan.
Lebih dalam lagi, nalar antroposentrisme yang menyalahi etika alam (land ethic) dianggap sebagai akar dari kerusakan tersebut. Antroposentrisme adalah paham yang menyatakan bahwa pusat alam semesta adalah manusia, alam tercipta untuk manusia.
Di Indonesia sendiri, akibat kerusakan lingkungan telah menelan banyak kerugian. Seperti halnya kebakaran hutan yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan pada musim kemarau tahun 2015. Hal ini menyebabkan kerugian lebih dari Rp2 triliun. Hal yang serupa terjadi di Taman Wisata Alam Tirta Rimba di Kota Bau-Bau, Boton, Sulawesi Tenggara, masyarakat setempat kekurangan air sebagai akibat dari penggundulan hutan yang merupakan gudang air.
Berbagai aksi telah dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi masalah krisis lingkungan. Salah satunya yang terbaru adalah sebuah gerakan yang digemborkan oleh Pandawara Group di media sosial untuk mengajak masyarakat setempat membangun kesadaran akan pentingnya kebersihan lingkungan dari sampah. Namun, selain aksi, penting juga untuk meninjau lebih dalam akar masalah yang terkait dengan perspektif manusia terhadap alam dan posisi manusia di hadapan alam.
Terdapat tiga teori-teori etika dalam relasi manusia dengan alam menurut Aldo Leopold. Pertama, shallow enviromental ethics (antroposentrisme). Antrophos memiliki arti manusia. Dalam teori ini, manusia diposisikan sebagai pusat sentral ekosistem. Nilai tertinggi terletak pada manusia dan kepentingannya. Segala sesuatu selain manusia hanya akan memiliki nilai jika menunjang kepentingan manusia, ia tidak mengandung nilai dalam dirinya sendiri.
Kedua, intermediate enviromental ethics (biosentrisme). Bios memiliki arti kehidupan. Teori ini berpandangan bahwa setiap kehidupan di muka bumi harus dilindungi dan diselamatkan. Kehidupan setiap makhluk hidup berhak untuk dipertimbangkan secara serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral, terlepas dari pertimbangan untung-rugi kepentingan manusia.
Ketiga, deep enviromental ethics (ekosentrisme). Teori ini memandang hubungan manusia dengan alam lebih intim daripada kedua teori sebelumnya. Keseluruhan ekosistem memiliki nilai, tidak hanya sesuatu yang hidup, tapi juga mencakup hal-hal yang tidak memiliki kehidupan seperti air, udara, dan tanah. Secara ekologis, makhluk yang hidup (biotis) dan tidak hidup (abiotis) saling terkait. Kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup, tapi berlaku juga terhadap semua realitas ekologis.
Dari ketiga teori etika lingkungan–relasi manusia dengan alam–tersebut, nalar antroposentris dapat melahirkan frontier mentality, pola pikir yang keliru karena dinilai melegitimasi manusia mengeksploitasi alam. Seperti halnya pola pikir bahwa bumi punya kapasitas tak terbatas untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan manusia.
Bumi tak terbatas untuk menerima, mengelola limbah, dan pencemaran dengan berbagai mekanismenya. Pola pikir bahwa manusia tidak termasuk dari alam dan superioritas manusia untuk menaklukkannya dengan teknologi sebagai alat yang ampuh untuk itu.
Oleh karena itu, nalar ekosentrisme merupakan sebuah paham yang dapat dianut untuk melawan antroposentrisme. Aldo Leopold menjelaskan terkait etika lingkungan dalam ekosentrisme, “The land ethic simply enlarges the boundries of the community to include soils, waters, plants, and animals, or collectively; the land”.
Dalam Islam, hal ini mirip dengan konsep tauhid, sebagaimana ulama teologi (mutakallimin) mendefinisikan kata alam sebagai sesuatu selain Allah. Manusia, air, tanah, hewan, tumbuhan, dan lainnya selain Allah adalah “satu kelompok” bernama alam yang merupakan ciptaan Tuhan.
Kalimat tauhid mengisyaratkan bahwa tidak ada yang mutlak kecuali Allah. Manusia bagaimanapun dipandang sebagai khalifah Allah tidak menjadikan dia mutlak memiliki kuasa atas nama dirinya sendiri.
Penulis: Himmayatul Husna
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Prinsip Tata Kelola Alam Menurut Al-Quran