Hadis palsu di kitab Durratun Nasihin menarik untuk dibahas kembali. Terutama setelah penelitian Dr KH Ahmad Lutfi Fathullah, menemukan sebanyak 251 hadis palsu (30%) di dalamnya. Sementara yang lemah (dha`if) 180 hadis (21,5%), amat lemah 48 hadis (5,7%), dan belum dapat dipastikan sebanyak 56 hadis (6,7%). “Yang terakhir ini dikategorikan demikian karena hadis-hadis tersebut tak dikenal perawinya atau bila dikenal, sanadnya tak diketahui.
KH Ahmad Lutfi adalah pendiri dari Pusat Kajian Hadits Jakarta. KH Lutfi Fathullah lahir di Kuningan Timur, Jakarta Selatan pada 25 Maret 1964 dan wafat 11 Juli 2021. Sosok Kiai Lutfi menghabiskan hidupnya banyak berkutat dengan ilmu hadis dan memeriksa tentang hadis palsu.
Kiai Lutfi mendapatkan gelar masternya di mayor Hadits minor Tafsir Fakultas Syariah Jordan University dan gelar doktoralnya di Fakultas Pengajian Islam di University Kebangsaan Malaysia.
Menurut dia, setelah merujuk pada kitab-kitab ahli hadis yang diakui mu`tabarah, secara keseluruhan Kiai Lutfi menjelaskan bahwa hadis yang sahih di Durratun Nasihin sebanyak 204 hadis (24,3%), sahih lighairihi 12 hadis (1,4%), isnadnya sahih 2 hadis (0,2%), hasan 67 hadis (8%), dan hasan lighairihi 19 hadis (2,2%).
Kiai Lutfi menyatakan pendapatnya ini dalam disertasinya berjudul “Kajian Hadis Kitab Durratun Nashihin” yang ditulisnya guna meraih gelar doktor falsafah dalam bidang ilmu hadis pada Fakultas Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Bangi, Malaysia. Dorongan penelitian ini dikarenakan kitab ini dipakai oleh banyak umat Islam di Indonesia, Turki dan Malaysia. Dikhawatirkan jika tidak ada yang menjelaskan tentang hadis palsu, maka dianggap dari Nabi Muhammad.
Disertasi ini setebal 787 halaman di bawah bimbingan Prof Dr Jawiah Dakir dan telah dipresentasikannya di depan sidang promosi doktor di UKM, 27 Oktober 1999, dengan penguji Prof Dr Muhammad Radhi, Prof Dr. Abdul Samad Hadi, Prof Dr M Zein, dan Prof Dr Muddasir Rosdir. Hasilnya, Lutfi meraih gelar doktor dengan yudisium memuaskan.
Dari sejumlah itu, Lutfi juga mengklasifikasikan boleh-tidaknya hadis-hadis tersebut untuk digunakan sebagai dalil dalam berbagai keutamaan amal (fadha’ilul a`mal). Dari 839 hadis itu masing-masing boleh digunakan sebanyak 484 hadis (57,7%), tidak boleh digunakan sebanyak 336 hadis (40,2%), dan tak dapat dipastikan sebanyak 18 hadis (2,1%).
Didalam menguraikan berbagai permasalahan pada kitab Durratun Nasihin, pengarang kitab ini banyak menggunakan hadis yang begitu longgar didalam mengutip hadis. Kelonggaran tersebut dapat dilihat dari tiga segi, diantaranya adalah:
Dari segi sumber hadis
Dari sekian banyak hadis yang tercantum dalam kitab Durratun Nasihin hanya beberapa hadis yang dijelaskan sumber aslinya. Di mana pengarang banyak merujuk pada kitab-kitab yang tidak biasanya ulama-ulama hadis jadikan pegangan. Misalnya Tambigh al-Ghafilin, kitab Mau’idhah Hasanah, Daqa’iq al-Akhbar.
Dari segi derajat dan kelengkapan sanad
Di dalam menguraikan hadis sering pengarang mencantumkan yang tidak jelas nilainya, disamping banyaknya penulisan matan hadis yang disandarkan pada Nabi Saw tanpa adanya rangkaian sanad yang lengkap.
Dari segi batasan dan sumber
Di dalam kitab Durratun Nasihin tidak dijumpai batasan atau syarat-syarat yang jelas, tentunya menurut syarat-syarat yang digunakan oleh ulama hadis didalam menggunakan suatu hadis. Kemudian pengarang juga tidak menyebutkan sumber asli hadis yang dikutipnya. Tidak juga dijelaskan apakah hadis ini sahih atau hadis palsu.
Ketiga segi ini dapat dimaklumi, karena pengarang telah berorientasi pada pengajaran dan nasehat di mana hadis-hadis sebagai pendukung dalam memberikan pengajaran dan nasehat-nasehat tersebut. Jadi, tidak menitik beratkan pada kajian-kajian tentang hadis-hadis itu sendiri. Oleh karena itu, wajar jika hal ini membuat kitab Durratun Nasihin begitu longgar di dalam menggunakan hadis.
Kitab Durratun Nasihin ditulis oleh Syaikh Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir al-Khaubawiyyi (ada yang menyebut al-Khubawi atau al-Khubuwi, wafat pada 1824 M) ini nama lengkapnya adalah Durratun Nasihin fi Al-Wa’zhi wa al-Irsyad. Kitab ini ditulis sekitar abad ke-13 hijriah. Syaikh ini menurut jumhur ulama bukan ahli hadis.
Penemuan Kiai Lutfi ini diperkuat dari penjelasan KH A Musta’in Syafi’i, salah satu wasiat Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari kepada santri Tebuireng yaitu agar murid-muridnya tidak mempelajari atau mengajarkan kitab Durratun Nasihin kecuali apabila mampu menjelaskan hadis-hadis lemah dan palsu yang ada di dalamnya.
“Kitab Durratun Nasihin memuat beberapa hadis lemah, untuk menjaga santri maka diingatkan agar tidak mempelajarinya,” ujar Kiai Mustain.
Hal ini sesuai dengan disiplin ilmu yang Kiai Hasyim kuasai, yaitu fan hadis. Dan dari fan hadis inilah ia mendapatkan gelar kehormatan sehingga diberi gelar sebutan hadratussyaikh, karena ia mampu menghafalkan kutubus sittah (riwayatan wa dirosatan). Sehingga sangat beralasan sekali ketika Kiai Hasyim melarang para santrinya mempelajari dari kitab Durratun Nasihin.
Kritikan Kiai Hasyim ini bukan bermaksud merendahkan penulis kitab Durratun Nasihin, melainkan kritikan ini sebagai bentuk ikhtiar Kiai Hasyim menjaga ilmu hadis dan tanggung jawab sebagai ahli hadis. Pandangan yang disampaikannya dititik beratkan pada kritik sanad dan matan. Hadis palsu menjadi perhatian banyak ahli hadis sejak Nabi Muhammad wafat. Karena sering kali hadis digunakan untuk kepentingan pribadi, kadang teks tersebut tidak berasal dari Nabi.
Kiai Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa santri Tebuireng boleh belajar kitab ini jika sudah mengetahui bahwa hadis ini dha’if atau palsu. Dikhawatirkan jika tidak begitu maka ada anggapan bahwa hadis yang ditulis tersebut memang benar berasal dari Nabi Muhammad Saw.
Boleh saja beramal seperti yang disebutkan di Durratun Nasihin, tapi harus bisa memisahkan antara hadis yang sahih dan hadis palsu. Namun, seorang diperbolehkan melakukan ibadah yang disebutkan di Durratun Nasihin, tapi tidak berkeyakinan itu adalah perintah nabi.
Tulisan ini merupakan catatan dari Kajian Online yang diselenggarakan oleh mahasiswa Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang yang tergabung dalam kegiatan KKN MIT DR 12 UIN Walisongo pada Sabtu, 17 Juli 2021.
Baca Juga:
MayaAllah… matur nuwun🙏🏻
Mantap..syukron pencerahannya