• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Kewajiban Bertaqlid Bagi Orang yang Tidak Memiliki Keahlian Ijtihad

Oleh: Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy'ari

Zainuddin Sugendal by Zainuddin Sugendal
2022-02-28
in Akidah, Fiqih, Keislaman, Kitab Kuning, Pendidikan, Pengajian, Pesantren, Santri, Tebuireng, Tokoh
0
Kewajiban Taklid Bagi Orang Yang Tidak Memiliki Keahlian Ijtihad

Kewajiban Taklid Bagi Orang Yang Tidak Memiliki Keahlian Ijtihad. (Ist)

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

tebuireng.co– Menurut ulama ahli tahqiq, orang yang tidak memilki keahlian (kepasitas) untuk melakukan ijtihad secara mutlak, meskipun dia memiliki sebagian ilmu yang diperlukan dalam ijtihad, wajib bertaqlid kepada pendapat para mujtahid dan mengikuti fatwa mereka, agar ia keluar dari beban kewajiban bertaqlid kepada salah satu dari mereka (para mujtahid) yang dikehendakinya. Karena Allah Swt berfirman:

فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ

“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43).

Jadi, Allah Swt mewajibkan bertanya bagi orang yang tidak mempunyai pengetahuan itu. Dan itu berarti taqlid kepada orang yang mempunyai pengetahuan. Ayat ini berlaku umum bagi siapa saja dan harus berlaku umum dalam menanyakan segala sesuatu yang tidak diketahui.

Karena ada ijma` (kesepakatan) yang menyatakan bahwa orang-orang awam pada zaman sahabat, tabiin, dan setiap kemunculan orang-orang yang berseberangan senantiasa meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikuti mereka dalam memahami hukum-hukum syara`.

Mereka juga mengikuti para ulama karena para ulama itu langsung menjawab pertanyaan mereka tanpa merujuk kepada dalil, dan mereka juga tidak melarang hal itu tanpa ada yang menentangnya. Dengan demikian terjadilah ijma` yang mengharuskan orang awam mengikuti mujtahid.

Dan juga karena apa yang dipahami oleh orang awam dari Al Kitab dan Sunnah tidak bisa dijadikan pegangan apabila tidak sesuai dengan apa yang dipahami oleh para ulama besar pengusung kebenaran. Sebab, semua pelaku bid’ah dan orang sesat memahami hukum-hukum yang batil dari Al Kitab dan Sunnah. Mereka mengambilnya dari Al Kitab dan Sunnah, tetapi pada kenyataannya pemahaman itu tidak mengandung kebenaran sedikitpun.

Baca juga: Mengenal Kitab Risalah Ahl al Sunnah wa al Jama’ah

Orang awam tidak wajib mengikuti mazhab tertentu dalam sebuah masalah secara konsisten. Jika ia mengikuti mazhab-mazhab tertentu seperti Mazhab Syafii, ia tidak wajib melakukannya secara terus-menerus. Ia boleh pindah ke mazhab lainnya.

Orang awam yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan semacam pengajian atau penelitian dalil, dan tidak pernah membaca kitab tentang furu` mazhab, apabila orang itu berkata: “Aku adalah penganut Mazhab Syafii,“ maka hal itu tidak bisa dijadikan sebagai pegangan hanya dengan ucapan saja.

Ada yang berpendapat bahwa apabila orang awam mengikuti mazhab tertentu ia harus mengikuti mazhab tersebut secara terus-menerus. Sebab, ia meyakini bahwa mazhab yang diikutinya itu adalah mazhab yang benar. Maka ia harus setia dengan mazhab itu sebagai konsekuensi dari keyakinan tersebut.

Seorang, muqollid (orang yang bertaqlid) boleh bertaqlid kepada imam lain selain imam mazhabnya dalam masalah tertentu. Jadi, ia boleh mengikuti imam tertentu dalam shalat Dhuhur misalnya dan mengikuti imam lainnya dalam shalat Ashar. Taqlid tersebut boleh dilakukan.

Jika seorang penganut Mazhab Syafii melaksanakan shalat yang dia kira shalatnya itu sah menurut Mazhab Syafii, kemudian dia tahu bahwa shalat itu tidak sah menurut Mazhab Syafii, tetapi sah menurut Mazhab yang lain, maka dia boleh bertaqlid kepada mazhab tersebut dan cukup dengan shalatnya tersebut (tidak perlu mengulang).

Oleh: Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

Baca juga: 4 Alasan Kenapa Kamu Wajib Membaca Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

Tags: bermazhabKeahlian IjtihadKewajiban BertaqlidKH. M. Hasyim Asy’ari
Previous Post

Tahu Sebelum Dikasih Tahu Itu Kiai Djamal

Next Post

Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad dan Faidah Kumandang Adzan

Zainuddin Sugendal

Zainuddin Sugendal

Next Post
Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad dan Faidah Kumandang Adzan

Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad dan Faidah Kumandang Adzan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Etika Bertetangga dalam Hadis Nabi
  • Kemenag Resmi Memulai MQKN ke-8 dengan Tahapan Seleksi Via CBT Berbasis Kitab Kuning
  • Qailulah, Rahasia Tidur Siang Ala Nabi
  • Tafsir Surah Qaf Ayat 18: Pentingnya Menjaga Lisan
  • Dhau’ Al-Mishbah fi Bayani Ahkam An-Nikah, Panduan Pernikahan Karya Kiai Hasyim

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng