
Oleh: KH. Achmad Roziqi, Lc.
Direktur Tebuireng Institut For Islamic Studies, Pesantren Tebuireng
Dalam membentengi paham ahl al-sunnah wa al-jama’ah, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari membekali para pengikutnya di Nahdlatul Ulama dengan kitab Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Asyrath al-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Kitab setebal 42 halaman ini berisi sangat padat, dari mulai dalil yang digunakan sangat jelas, dan argumentasi yang dibangun dapat dengan mudah untuk dipahami semua orang dari berbagai latarbelakang pendidikan.
Meskipun demikian, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari juga tidak secara detail memberi nama kitab ini dengan layaknya nama yang kita kenal sekarang, yaitu’; kitab Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Asyrath al-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Baik di dalam muqoddimah maupun di penutup beliau tidak menyematkan nama secara detail, beliau hanya menyebutnya sebagai kitab.
Saya berpandangan bahwa penamaan kitab ini adalah cucu beliau, yaitu KH. M. ‘Ishomuddin Hadziq yang kita kenal dengan Gus Ishom. Pemberian nama ini besar kemungkinan karena muatan kitab ini yang menjelasakan tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang kemudian dirasa sebagai ruh yang mendasari lahirnya kitab ini.
Demikian pula waktu penulisan kitab ini, Hadratussyaikh tidak mencantumkan keterangan waktu penulisannya. 1330 H adalah tahun yang yang tercantum di dalam kitab ini. Beliau menyatakan bahwa di tahun itulah bermunculan ragam pemikiran yang banyak dalam Islam. Hemat penulis, di tahun inilah Hadratussyaikh menulis kitab ini sebagai benteng bagi generasi penerus agar haluan ahl al-sunnah wa al-jama’ah yang sudah mengakar dan diikuti oleh masyarakat muslim Indonesia terdahulu tetap lestari, tidak tergantikan dengan faham-faham baru yang bertentangan dengan ahl al sunnah wa al jama’ah.
Penisbatan Kepada Hadratussyaikh
Penyematan nama muallif dalam kitab Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ini tidaklah tertulis secara langsung oleh sang muallif, baik di dalam muqoddimah, isi bahkan hingga di penutup kitab. Namun beberapa tokoh ulama’ mengamini penisbatan kitab ini kepada Hadratussyaikh. Sebagaimana, KH. Maimun Zubair. Beliau dengan jelas menisbatkan kitab ini kepada Hadratussyaikh dan menuqil ibarotnya di dalam kitab beliau, yaitu al Ulama’ al Mujaddidun.
Berikut adalah ibarot KH. Maimoen Zubair sebelum beliau menuqil ibarot Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari:
قال الشيخ العلامة محمد هاشم أشعري مؤسس نهضة العلماء رحمه الله تعالى في رسالته عن أهل السنة والجماعة وعن أشراط الساعة وهي من تآليفه القديمة قبل أن يؤسس تلك الجمعية المشهورة الكبيرة …. إلخ
Al-Syaikh al-‘Allamah M. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama’ berkata di dalam risalah beliau tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan tanda-tanda kiamat. kitab Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ini adalah salah satu dari beberapa karya lama beliau sebelum mendirikan Organisasi Nahdlatul Ulama’ yang masyhur lagi besar itu.
Ibarot ini secara jelas dan tegas menyatakan bahwa kitab ini adalah karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Di samping itu KH. Maimun Zubair menyatakan bahwa kitab ini sudah Hadratussyaikh tulis sebelum beliau mendirikan Nahdlatul Ulama’.
Isi
Hadratussyaikh di dalam muqoddimahnya menuliskan bahwa kitab ini berisikan tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan keadaan orang-orang yang sudah meninggal, tanda-tanda kiamat serta sepenggal penjelasan tentang sunnah dan bid’ah. Di samping itu beliau juga memasukkan beberapa hadits sebagai nasihat kepada kita semua.
Gus Ishom dalam kata pengantar kitab ini menegaskan bahwa kitab ini adalah jawaban atas kegalauan setiap muslim akan keyakinan yang dianutnya, kepastian akan haluan keberagamaannya yang mengantarkannya kepada keselamatan, yaitu ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Di samping itu, kitab ini juga berisi penolakan Hadratussyaikh atas kesesatan para pelaku bid’ah yang mendustakan agama dan jawaban Hadratussyaikh atas kerancuan-kerancuan kaum atheis yang tersesat.
Urgensi
Kitab Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ini sangat dibutuhkan di era millenial ini. Tahun 1330 H yang bertepatan dengan tahun 1911/1912 M Hadratussyaikh menilai perlu adanya penguatan ahl al-sunnah wa al-jama’ah dengan pertimbangan maraknya pemikiran keislaman saat itu. Di samping itu, beliau juga menegaskan dalam kitab ini bahwa belajar agama haruslah selektif dalam memilih guru serta adanya penegasan bahwa bolehnya berijtihad hanyalah bagi mujtahid, selainnya haruslah bertaqlid.
Hari ini, pemikiran keislaman sangat beragam bahkan akses orang awam terhadap ragam pemikiran itu pun semakin mudah dengan kemajuan dunia teknologi saat ini. Lebih berbahaya lagi adalah munculnya keberanian orang-orang awam untuk berfatwa yang diiringi dengan pudarnya rasa kehati-hatian masyarakat muslim dalam memilih guru. Dari itu, tidaklah berlebihan Gus Ishom menyatakan bahwa kitab ini sangat diperlukan untuk dijadikan pedoman beragama bagi anak zaman ini, bahkan kebutuhan kita terhadap kitab ini mengalahkan kebutuhan masyarakat muslim tahun 1330 H.
Metode Penulisan
Hadratussyaikh banyak sekali menyebutkan nama kitab beserta muallifnya di awal, yaitu sebelum beliau menuliskan ibarotnya. Di antara kitab yang beliau jadikan rujukan dalam kitab ini adalah ‘Uddah al–Murid al–Shodiq karya Syaikh Ahmad al-Zarruq, Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Fath al–Bari karya Imam Ibnu Hajar al-Asqallani dan lain-lain. Setelah menuqil ibarot para ulama, Hadratussyaikh sering membuat kesimpulannya.
Di samping metode di atas, Hadratussyaikh terkadang pula tidak menuliskan referensi dari ibarot beliau. Hal itu menurut kami, mungkin dirasa sebagai sesuatu yang sudah umum diketahui sehingga dinilai tidak perlu menyebutkan referensinya, seperti ketika Hadratussyaikh menyebutkan afiliasi mahzab dari para ulama sebagai contoh nyata bahwa para ulama’ terkemuka itu bermahzab. Dan mungkin juga karena ibarot tersebut sudah menjadi malakah (hafal di luar kepala) Hadratussyaikh sehingga beliau tidak lagi perlu untuk menyematkan referensinya dan karena faktor inilah terkadang kita menemukan kesamaan ibarot dalam karya para ulama’. Menilai adanya kesamaan ibarot dalam karya para ulama’, bagi kami, tidaklah lantas karya itu menjadi minus, tetapi sebaliknya. Semacam ada kebanggaan dan berharap keberkahan dalam menghadirkan ibarot para ulama’ qudama’.
Dengan demikian, kitab “Risalah Ahl al–Sunnah wa al–Jama’ah” mengisyaratkan akan pentingnya menjaga semssangat mengaji, selektif memilih kiai dan istiqomah dalam menjalankan agama berhaluan ahl al–sunnah wa al–jama’ah.
Oleh: KH. Achmad Roziqi, Lc.
Direktur Tebuireng Institut For Islamic Studies, Pesantren Tebuireng
Referensi
1. Adab al–‘Alim wa al–Muta’allim karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari,
2. Al-‘Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari Wadhi’ Labinah Istiqlal Indonesia karya Muhammad Asad Syihab,
3. Al–Mutasyaddidun; Manhajuhum wa Munaqasyah Ahamm Qadhayahum karya Prof. Dr. Syaikh Ali Jum’ah,
4. Al–Ulama’ al–Mujaddidun karya KH. Maimoen Zubair,
5. Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.