tebuireng.co- Tebuireng adalah nama sebuah dusun kecil di tepi jalan raya Jombang-Kediri, delapan kilometer arah selatan kota Jombang. Yang pada akhirnya menjadi nama sebuah pondok pesantren. Pada tahun 1899 M. Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan sebuah pondok pesantren yang kini dikenal dengan Pondok Tebuireng, pondok ini mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 16 Rabiul Awwal 1324 H/6 Februari 1899 M.
Baca juga: Tebuireng di Masa Penjajahan Belanda
Awal mula Kiai Hasyim membeli tanah seluas 200 m2 di Tebuireng milik seorang dalang terkenal. Di atas tanah tersebut didirikan pondok, yang hanya berupa bedeng berbentuk bujur sangkar, disekat menjadi dua ruangan. Bagian belakang sebagai tempat tinggal Kiai dan keluarganya, sedangkan yang lain untuk tempat sholat dan belajar para santri yang berjumlah 28 orang.
Awalnya berdirinya pesantren Tebuireng ini kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitar, dan bahkan menumbuhkan rasa kebencian, sehingga muncul gangguan dari masyarakat yang harus dihadapi oleh Kiai Hasyim. Meskipun rintangan yang menghadang amat berat, namun Kiai Hasyim dan para santrinya mampu mengatasinya.
Pendidikan di Pondok Pesantren Tebuireng semula berlangsung secara sorogan (santri membaca, guru menyimak) dan bandongan (guru membaca, santri menyimak). Sejak tahun 1916 mulai dirintis pendidikan dalam bentuk klasikal, meskipun masih sangat sederhana. Baru pada tahun 1926 pendidikan banyak mengalami penyempurnaan baik kurikulum maupun metodenya, termasuk tambahan pelajaran umum yang meliputi bahasa Indonesia, Ilmu Bumi dan Berhitung. Untuk meningkatkan pendidikan di Tebuireng, Kiai Hasyim menunjuk Abdul Wahid Hasyim (putra) dan Moh. Ilyas (santri), yang sebelumnya telah diutus untuk belajar di Makkah untuk mengembangkan pendidikan di Tebuireng.
Baca juga: Tebuireng di Masa Kiai Abdul Wahid Hasyim
Sebagai langkah pembaharuan, tahun 1934 Abdul Wahid Hasyim merintis Madrasah Nidhomiyah yang banyak menyajikan pelajaran umum dan ditunjang dengan memasukkan surat kabar, majalah, buku-buku pengetahuan umum yang berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris. Perkembangan sistem pendidikan ini tidak meninggalkan pola pengajaran khas pondok pesantren yaitu pengajian kitab klasik (kuning).
Pada 25 Juli 1947 Kiai Hasyim dipanggil menghadap Allah SWT. Jabatan pengasuh digantikan oleh putranya sendiri, KH. Abdul Wahid Hasyim yang memegang jabatan hingga tahun 1950. Ketika beliau diangkat menjadi menteri agama RI dalam kabinet RIS, kedudukan sebagai pengasuh digantikan KH. Abdul Karim Hasyim. Berturut-turut wewenang pengasuh diemban oleh KH. Baidlowi, menantu Kiai Hasyim dan kemudian oleh KH. Abdul Kholiq Hasyim yang saat itu telah non-aktif sebagai seorang senior Divisi Brawijaya.
Baca juga: Tebuireng di Masa Abdul Karim Hasyim
Saat kepemimpinan KH. Abdul Kholiq ini Madrasah Nidhomiyah berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Perubahan nama ini sebenarnya diakibatkan oleh perubahan dalam approuch terhadap pemberian ajaran agama yang melebar, dengan memiliki jenjang pendidikan dasar, lanjutan pertama dan lanjutan atas. Karena masih merupakan sebuah percobaan, pada masa 10 tahun pertama konsep salafiyah ini masih mengalami perubahan bentuk dan nama berkali-kali, seperti wustho, mu’alimin dan lain sebagainya.
Lambat laun sistem salafiyah ini menetap dalam bentuk yang baku, yaitu 6 tahun pendidikan dasar (ibtida’iyah), dan 3 tahun lanjutan atas (aliyah), dengan komposisi 65% mata pelajaran agama dan 35% mata pelajaran umum. Pada tahun 1965 KH. Abdul Kholiq wafat. Setelah itu kedudukan pengasuh selanjutnya dipegang KH. M.Yusuf Hasyim yang telah menjadi pengasuh dari tahun 1965 hingga tahun 2006
Pada masa ini dikembangkan beberapa jalur pendidikan formal. Pertama, jalur pendidikan formal yang berbentuk Salafiyah disempurnakan. Kedua, jalur sekolah persiapan yang dirintis tahun 1970, dimana santri putus sekolah (drop out) dari sekolah-sekolah non agama (seperti SMU, SMP) memperoleh ajaran agama belaka. Sekolah ini lama belajarnya 2 tahun, untuk kemudian santrinya memasuki jalur pendidikan agama di atas. Dengan demikian jalur kedua ini sebagai by-pass untuk memasuki jalur pertama pada tingkat lanjutan.
Ketiga, jalur SMP dan SMU A. Wahid Hasyim yang dibuka tahun 1975. Tujuannya adalah untuk menampung mereka yang ingin bersekolah umum, dengan tetap memperoleh pelajaran agama dalam bentuk pengajian atau kursus. Dan pada tahun 1967 juga dirintis Universitas Hasyim Asy’ari dengan Fakultas Syari’ah, Da’wah dan Tarbiyah. Di tahun 2006 dibuka jenjang pendidikan Ma’had Aly (setingkat perguruan tinggi) yang disediakan khusus untuk santri-santri dengan kualifikasi dan kemampuan tertentu. Proses seleksi penerimaannya pun ketat. Jenjang pendidikan ini digagas pasca akhir kepemimpinan KH. M. Yusuf Hasim dan kini diteruskan oleh Ir. KH.Salahuddin Wahid (Gus Solah).
Setelah melihat semakin menurunnya kualitas santri dalam memahami dan mendalami kitab klasik yang menjadi rujukan pesantren selama ini akhirnya Gus Solah sejak mulai tahun 2007 mendirikan sekolah Mu’alimin yakni sekolah yang hanya belajar agama tidak ada pelajaran umumnya. Disamping itu untuk mrngembangkan Pesantren Tebuireng mulai tahun 2013, Gus Solah membuka cabang di luar dusun Tebuireng. Yakni Tebuireng 2 di Jombok yang disitu juga berdiri SMA Trensains, Tebuireng 3 Hajarunnajah yang berada di Keritang Indragiri Hilir Riau dan Tebuireng 4 Al-Ishlah di Indragiri Hulu Riau.
Hingga saat ini, Pesantren Tebuireng telah memiliki 17 cabang di seluruh Indonesia. Pengasuh Pesantren Tebuireng saat ini, KH. Abdul Hakim meresmikan Pesantren Tebuireng cabang ke -17 di Kabupaten Banyumas.
Saat persemian cabang pesantren di Banyumas tersebut, Gus Kikin menuturkan bahwa Pesantren Tebuireng selama dalam kepengasuhan Almarhum KH. Salahuddin Wahid telah mengalami banyak kemajuan, salah satunya adalah perintisan beberapa cabang Pesantren Tebuireng di berbagai daerah di Indonesia.
“Kita itu harus memperluas syiar. Syiar yang bagaimana caranya, ilmu agama itu dapat dinikmati oleh masyarakat luas,” ungkap Gus Kikin dalam peresmian cabang pesantren ke-17 seperti dikutip dari tebuireng.online.
Dalam kesempatan itu Gus Kikin mengenang gagasan KH. Salahuddin Wahid, bahwa siapapun yang memiliki pondok cabang, memiliki niat yang sama, memiliki fasilitas, dan mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti pesantren, maka Pesantren Tebuireng siap membantu dalam perkembangannya.
Oleh: Mujib
Baca juga: Tebuireng di Masa Penjajahan Jepang