Kabar baik, kuota haji Indonesia 2024 menjadi terbesar di banding tahun-tahun lalu. Melansir dari Kemenag.go.id, Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Saiful Mujab menyebutkan kuota Indonesia pada penyelenggaraan ibadah haji 1445 H/2024 M sebesar 221.000 jemaah. Selain itu, Indonesia juga mendapat kuota tambahan sebesar 20.000 jemaah. Sebanyak 10.000 kuota tambahan diperuntukan bagi jemaah haji reguler, sementara 10.000 lainnya untuk jemaah haji khusus.
Sehingga total jemaah haji Indonesia tahun ini berjumlah 241.000 orang, terdiri atas 213.320 jemaah dan 27.680 jemaah haji khusus. Ia menambahkan, jemaah dibagi dalam 554 kloter (kelompok terbang). Mereka akan diberangkatkan dari 13 bandara yang berasal dari 14 embarkasi. Kloter pertama jemaah haji Indonesia dijadwalkan akan berangkat ke Arab Saudi pada 12 Mei 2024.
Dalam buku Tuntunan Manasik Haji dan Umrah Kementerian Agama RI terbitan 2024, disebutkan sejumlah rukun haji; ihram (niat), wukuf di Arafah, thawaf ifadah, sa’i, cukur, dan tertib. Maka, jika seseorang meninggalkan rukun-rukun ini, maka ibadah hajinya tidak sah, meskipun ia membayar dam (denda). Berbeda dengan wajib haji yang jika tidak dikerjakan harus diganti dengan dam.
Dalam Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Prof Wahbah Zuhaili menyebutkan ada dua pendapat terkait waktu thawaf ifadhah. Pertama, mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa thawaf ifadhah harus dilaksanakan setelah fajar hari raya Idul Adha. Kedua, mazhab Syafi’i dan Hambali membolehkan thawaf ifadhah setelah tengah malam hari raya Idul Adha.
Salah satu problem yang sangat mungkin dialami jamaah haji ialah kesulitan menjaga kondisi suci saat thawaf ifadah mengelilingi Ka’bah. Di satu sisi jamaah yang berjumlah ribuan ini berkumpul di satu lokasi, di sisi lain tidak ada batasan yang pasti antara jamaah haji laki-laki dan perempuan. Sehingga, berdesakan atau bersentuhan kulit antar individu tidak bisa dihindari.
Bagi orang Indonesia yang mayoritas menganut mazhab Syafi’i akan mengalami kesulitan menjaga suci dalam kondisi tersebut. Karena dalam mazhab Syafi’i bersentuhan kulit dengan lawan jenis selain mahram, akan membatalkan wudhu. Hal ini berakibat thawaf harus diulang dengan melakukan wudhu lagi. Tentu, sangat sulit dalam kondisi ini jika harus bolak-balik wudhu demi menjaga kesucian saat thawaf.
Di kalangan ulama Syafi’iyyah, Imam Nawawi dalam al-Majmu’-nya menyebutkan perihal hukum wudhu orang yang bersentuhan kulit dengan lawan jenis:
إذا التقت بشرتا رجل وامرأة أجنبية تشتهي انتقض وضوء اللامس منهما سواء كان اللامس الرجل أو المرأة وسواء كان اللمس بشهوة أم لا تعقبه لذة أم لا وسواء قصد ذلك أم حصل سهوا أو اتفاقا وسواء استدام اللمس أم فارق بمجرد التقاء البشرتين وسواء لمس بعضو من أعضاء الطهارة أم بغيره وسواء كان الملموس أو الملموس به صحيحا أو أشل زائدا أم أصليا فكل ذلك ينقض الوضوء عندنا وفي كله خلاف للسلف سنذكره في فرع مذاهب العلماء إن شاء الله تعالى
Artinya: “Jika kulit laki-laki dan perempuan asing bertemu, maka wudhu orang yang menyentuhnya menjadi batal, baik yang menyentuh itu laki-laki atau perempuan, baik sentuhan itu disertai syahwat atau tidak, baik sentuhan itu disertai kenikmatan atau tidak, baik disengaja atau tidak disengaja, baik persentuhan itu berlanjut atau terpisah hanya dengan bertemunya dua kulit, baik persentuhan itu dengan atau tanpa salah satu anggota badan yang suci, baik yang menyentuh atau yang disentuh dalam keadaan sehat atau cacat, baik tambahan maupun asli, maka semua itu menjadi batal wudhunya, dan hal itu menjadi perselisihan di kalangan ulama salaf, sebagaimana yang akan dijelaskan pada pembahasan tentang pendapat para ulama, insyaAllah.”
Sebagian pendapat lain mengatakan tidak batal wudhunya jika tidak disertai sengaja, syahwat, atau menyentuh anggota badan yang lumpuh, seperti keterangan dalam Syarh Bahjah al-Wardhiyyah. Hal ini tidak hanya berlaku di thawaf saja, tetapi secara mutlak tidak batal jika dengan syarat di atas. Namun, menurut Imam Nawawi pendapat ini lemah.
Bagaimana solusinya? Dalam buku Tuntunan Manasik Haji dan Umrah Kemenag RI dijelaskan bahwa persentuhan kulit laki-laki dan wanita ajnabi menurut mazhab Syafi’i mengakibatkan batal wudhu. Namun, menurut madzhab Maliki tidak membatalkan wudhu. Dalam kondisi semacam ini timbul permasalahan perpindahan madzhab (talfiq).
Pada dasarnya perpindahan mazhab dibolehkan, karena dharurat syar’i. Namun, dalam hal wudhu, maka talfiq-nya dengan cara mengikuti Imam Malik, yaitu wudhunya menggosok-gosok anggota wudhu dan harus menyapu seluruh kepalanya. Oleh karena itu, sebaiknya jemaah haji ketika hendak thawaf agar wudhunya mengikuti cara Imam Malik.
Bagi orang awam, tentu tidak sepenuhnya tahu dan melakukan talfiq ini. Karena meskipun talfiq, hal itu akan mempunyai konsekuensi berupa mengurangi rasa kehati-hatian dalam ibadah, jadi bisa seenaknya menyentuh orang lawan jenis. Dalam buku yang sama, di antara sunnah thawaf ialah memegang Hajar Aswad, menciumnya, serta meletakkan jidat di atasnya pada awal thawaf.
Ada yang digarisbawahi bahwa sunnah ini tidak dianjurkan bagi perempuan kecuali jika tempat thawaf lengang. Jika tidak memungkinkan, cukup semua itu dilakukan dengan isyarah melalui tangan kanan. Sunnah pula mendekat pada Ka’bah bagi kaum laki-laki jika sekeliling Ka’bah tidak dalam kondisi penuh sesak dan membuatnya menderita, sedangkan bagi kaum perempuan disunnahkan menjauh dari Ka’bah.
Sedangkan, bagi lansia boleh melakukan thawaf dengan catatan berada di dalam Masjidil Haram, termasuk di area perluasan pada lantai dua, tiga, atau empat, meskipun dengan posisi melebihi ketinggian Ka’bah dan terhalang antara dirinya dengan Ka’bah. Semoga bermanfaat.
Penulis: M Sutan Alambudi
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Badal Haji bagi Orang yang Masih Hidup, Bolehkah?