Oleh: Hilmi Abedillah*
Seorang pengasuh Pesantren Tebuireng, KH. Salahuddin Wahid yang mulanya banyak orang yang mengenalnya sebagai seorang insinyur, kini telah mencetuskan beberapa pemikiran di bidang pendidikan, dalam hal ini terutama pendidikan islam. Selama 14 tahun (2006-2020) memimpin dan mengatur lembaga pendidikan tersebut, telah mengubah beberapa sistem dan meningkatkan kualitas pesantren ke arah yang lebih baik.
Ia berkiprah di banyak tempat: pemerintahan, masyarakat, dan berbagai organisasi. Dari pengalamannya yang banyak itu kemudian ia terapkan pada lembaga pendidikan yang diasuhnya. Tahun demi tahun ia berhasil membangun Tebuireng dari yang tampak maupun yang tak tampak. Dari segi bangunan fisik, maupun penguatan pendidikan. Karena keahliannya dalam bidang manajemen, akhirnya ia mendapatkan sebutan sebagai kiai manajer, yang meskipun ia mengaku tidak pernah mondok, tapi ia bisa menggerakkan roda pendidikan di pondok pesantren.
Selain itu, ia juga aktif menulis yang hal itu menunjukkan bahwa ia aktif berpikir dan menyampaikan ide-ide. Ia Sosok tak pernah berhenti berinovasi, belajar pada siapapun, dan sebisa mungkin mewujudkan gagasan yang cemerlang.
Di bawah kepemimpinan, KH. Salahuddin Wahid, Pesantren Tebuireng mengalami perubahan yang pesat. Bahkan dalam masa 14 tahun itu telah membangun 15 cabang pesantren di seluruh Indonesia. Ia juga mengembangkan sekolah-sekolah baru di Pesantren Tebuireng. Pemekaran dan gebrakan selalu ia lakukan sehingga Pesantren Tebuireng bisa seperti sekarang ini.
Setelah mengetahui pemikirannya di bidang pendidikan Islam Gus Sholah pada tulisan sebelumnya, yakni tentang tujuan pendidikan, pendidikan karakter, dan kejujuran, berikut beberapa pemikirannya yang lain di bidang pendidikan.
Menolak Dualisme Ilmu
Keberadaan dualisme ilmu yang menganggap adanya ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi rupanya mengusik hati KH. Salahuddin Wahid. Beliau berkali-kali sempat mengkritik dualisme ini dengan tidak membeda-bedakan antara satu ilmu dengan ilmu yang lain.
Anggapan masyarakat, ilmu agama ialah ilmu yang bercorakkan Arab atau bersumber langsung dari al-Quran, seperti tauhid, fikih, tafsir, dll. Sedangkan ilmu lain seperti fisika, matematika, ekonomi, dan sejarah bukan termasuk ilmu agama, namun ilmu umum.
KH. Salahuddin Wahid berpendapat bahwa ilmu agama (Islam) adalah ilmu yang terbukti kebenarannya. Beliau tidak mempertentangkan antara agama dan sains, karena dua-duanya bisa bersatu dalam menemukan kebenaran esensial. Terdapat persamaan epistemologi antara keduanya, yakni suatu proses pencarian kebenaran. Keyakinan tauhid mungkin didukung oleh studi sejarah, fisika dan biologi seperti yang terjadi dalam pola penuturan al-Quran.
Beliau menegaskan, “Ilmu fisika, matematika, biologi, kimia, sejarah, dan ilmu lainnya adalah Islam sepanjang didukung bukti kebenarannya.”
Senada dengan pendapat ini, Imam Suprayogo juga menyebutkan bahwa persepsi yang salah (miss-perception) ini memandang bahwa agama hanya sekadar ritual seperti shalat, zakat, doa, haji, mengurus jenazah, dll. Pandangan tersebut ternyata membawa dampak pada pemahaman tentang pendidikan agama dan pelajaran agama.
Pada hakekatnya Islam bukan hanya sekedar agama. Islam tidak hanya urusan ritual. Selain menyangkut kegiatan ritual, Islam juga berbicara tentang ilmu pengetahuan, kualitas kehidupan manusia, keadilan, dan juga berbicara tentang beramal shaleh atau bekerja secara profesional.
Namun tampaknya KH. Salahuddin Wahid mempertanyakan kesiapan umat Islam dalam menerima konsep ini. Apakah mereka berani membebaskan diri dari ideologisasi yang selama ini menempatkan ilmu-ilmu Islam sebagai satu-satunya otoritas kebenaran.
Dengan konsep tiadanya dualisme ilmu ini, nantinya akan berkonsekuensi pada pendidikan di pesantren yang tidak hanya mempelajari kitab kuning, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang lebih familiar dengan sebutan ilmu umum.
Pendidikan Anti-Kekerasan
Banyak sekali fenomena yang membuat manusia prihatin akan kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan. Tidak ada lagi yang bisa membantah bahwa tiap tahun selalu ada kasus yang terus mengisi surat kabar. Entah itu pelakunya adalah seorang guru, murid, maupun wali murid. Selain dalam pendidikan formal, kekerasan juga sering terjadi di dalam keluarga, antara orangtua dan anak. Semua itu menjadi PR bersama yang perlu diselesaikan.
Dalam buku Memadukan Keindonesiaan dan Keislaman, KH. Salahuddin Wahid menyebut bahwa menurut penelitian, mayoritas pelaku kekerasan adalah mereka yang dulunya sewaktu kecil menerima perlakuan kekerasan. Untuk menanggulangi itu, maka perlu dihindari kekerasan terhadap anak-anak, utamanya dalam hal pendidikan.
Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan, baik dari guru terhadap murid, murid terhadap guru, dan sesama murid, tidak terlepas dari pengaruh pola relasi subjek-objek yang terbangun dalam ilmu pengetahuan. Pola relasi tersebut bersumber dari perkara objektivitas ilmu pengetahuan. Pengaruh teknologi juga menjadi salah satu penyebab perilaku menyimpang peserta didik. Banyak sekali tayangan yang mencontohkan kekerasan yang akhirnya mereka menirunya.
Orangtua sebagai pendidik utama mengajari anak bertata krama sama seperti mengajari mereka menulis, memakai baju, dan lain-lain. Orangtua juga menanamkan sikap tanggung jawab dan peduli terhadap orang lain. Tidak elok bagi orangtua berkata kasar apalagi membentak-bentak di depan anak-anak, melainkan bertutur kata yang baik dan sopan. Setiap tindakan dan ucapan orangtua akan menjadi contoh dan teladan bagi mereka. Kelak, mereka akan menganut apa yang yang meraka lihat dari orangtua mereka. Namun lebih dari itu, peran orangtua juga harus berpadu dengan sinergitas dari sekolah maupun komunitas ekstrakurikuler.
Semua Pesantren Sama
Sebelum adanya pendidikan formal sekolah, pesantren sudah ada lebih dulu. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Tidak ada data yang jelas yang secara pasti kapan pesantren pertama didirikan. Itu artinya, pesantren sudah lama menjadi agen pembangunan bangsa melalui pendidikan. Khususnya di pula Jawa, pesantren telah membentuk jiwa Islam Nusantara yang ramah dan moderat terhadap budaya lokal yang akhirnya menjadi cikal bakal menjadi muslim yang besar jumlahnya di Indonesia.
Karena memiliki populasi umat muslim terbesar di dunia, Indonesia menjadi salah satu harapan yang bisa membawa Islam kepada kejayaan seperti pada abad 7-15 M. Namun saat ini, umat Islam sangat tertinggal dalam kehidupan antar-bangsa. Tantangan ini spektrumnya luas, sehingga membutuhkan kerja sama dan sinergi antara semua pihak dengan dunia pedidikan.
Adapun mengenai jenis-jenis pesantren di Indoensia, KH. Salahuddin Wahid mengelompokkan menjadi empat jenis, yaitu
- Pesantren salaf seperti Lirboyo, Sidogiri, Al-Falah Ploso, Langitan, dll.,
- Pesantren khalaf seperti Gontor, Darunnajah, dll.,
- Pesantren yang ikut kurikulum pemerintah, dan
- Pesantren yang punya pendidikan khusus.
Dari keempat jenis pesantren ini, tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Semuanya baik dan penting, asal bekerja keras untuk meningkatkan mutu. KH. Salahuddin Wahid nampak tidak membanding-bandingkan antara satu pesantren dengan pesantren lain, memandang bahwa setiap jenis pesantren memiliki potensi masing-masing untuk berkembang dan memajukan Indonesia. Beliau juga tidak mengunggulkan salah satunya, karena semuanya punya kelebihan dan kekurangan.
Tantangan Pesantren
Tantangan pesantren adalah arus deras pemikiran yang tidak terbendung. Ada kecenderungan kaum muda yang berpikir bebas dan progresif yag terkesan menentang pemikiran konservatif. Kedua pemikiran besar ini perlu adanya jalan tengahnya. KH. Salahuddin Wahid tidak menolak kebebasan berpendapat, tetapi juga tidak bisa menerima kebebasan berpikir tanpa batas. Dari sini terlihat sikap KH. Salahuddin Wahid yang moderat, bahkan dalam hal akademik pesantren. Pemikiran salaf dan khalaf mestinya bisa dipadukan untuk menjadi fatwa yang paling tepat untuk kebutuhan masyarakat.
Tantangan selanjutnya ialah keterlibatan pengasuh dan kiai pesantren dalam kontestasi politik praktis. Fakta bahwa dukungan kiai pesantren menurun mengakibatkan daya tarik pesantren juga menurun. Ke depan, pesantren akan terus mengalami penurunan daya tarik di bidang politik, meski daya tarik itu tidak akan mungkin hilang sama sekali.
Awalnya, fungsi pesantren memang sebagai lembaga pendidikan untuk mempelajari Islam. Namun seiring perkembangannya, pesantren memiliki pengaruh dan peran politik yang penting di tengah masyarakat. Oleh karena itu, pesantren selalu menjadi primadona yang diperebutkan oleh berbagai pihak politik.
KH. Salahuddin Wahid menilai, pesantren kesulitan meningkatkan mutu tanpa adanya bantuan dari pemerintah secara moril maupun materiil. Dukungan moril berupa niat mengubah kecenderungan pesantren dari beban negara menjadi aset negara. Sedangkan dukungan materiil tentunya pendanaan untuk menyelenggarakan kegiatan pendidikan yang lebih berkualitas.
Harapan untuk menjadikan pesantren sebagai lokomotif pendidikan sangatlah tinggi, karena dengan begitu roda keindonesiaan dan keislaman dapat bergerak maju. Introspeksi ke dalam internal pesantren dan menyadari kekurangan merupakan salah satu langkah awal untuk mencapai perbaikan.
Itulah tadi beberapa pemikiran pendidikan Islam KH. Salahuddin Wahid yang bisa ditemukan dalam beberapa karya tulisnya. Sumbangsih beliau di bidang pendidikan tidak dapat diragukan lagi, sehingga beliau patut disebut sebagai salah satu tokoh pendidikan negeri ini. Terakhir, beliau selalu menegaskan pentingnya pendidikan, karena pendidikan adalah kunci menyiapkan anak bangsa sebagai aset sesungguhnya dari bangsa Indonesia.
*Mahasiswa Pascasarjana Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng