Oleh: Hilmi Abedillah
KH. Salahuddin Wahid lahir dengan nama asli Salahuddin al-Ayyubi di Jombang, 11 September 1942. Beliau merupakan putra dari tokoh bangsa KH. A. Wahid Hasyim, salah satu perumus dasar negara Pancasila. Ayahnya ini merupakan putra dari KH. M. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan Pesantren Tebuireng Jombang. Ibunya, Nyai Hj. Solichah merupakan putri dari KH. Bisri Syansuri, yang juga tokoh besar Nahdlatul Ulama dan Pendiri Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar.
Pada awal tahun 1950, KH. A. Wahid Hasyim dan Nyai Hj. Solichah hijrah dari Jombang ke Jakarta bersama anak-anaknya, karena KH. A. Wahid Hasyim mendapatkan amanat dari negara menjadi Menteri Agama Republik Indonesia.
Sebelumnya, saat masih tinggal di Denanyar Jombang, KH. Salahuddin Wahid sempat belajar pada KH. Bisri Syansuri. Meski tidak mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan Islam, KH. Salahuddin Wahid mendapat pendidikan Islam dari kedua orangtuanya. Sejak kecil ia belajar secara langsung kepada ayahnya yang di tengah kesibukannya masih sempat mengajar ilmu al-Quran dan tajwid.
Salahuddin Wahid Kecil
Salah satu cerita yang pernah disampaikannya, ialah bagaimana ia belajar kitab ‘Imrithy, kitab wajib santri dalam mempelajari ilmu Nahwu. Maka, masa belajar KH. Salahuddin Wahid kecil waktu di Jakarta tetap memiliki rasa pesantren. Guru yang mengajar adalah alumni Pesantren Tebuireng yang tinggal di Jakarta. Dari sini bisa kita lihat bahwa KH. Salahuddin Wahid meskipun tidak menempuh jalur pendidikan Islam formal seperti madrasah dan pesantren, namun tetap mendapat pendidikan Islam secara non-formal.
Setamat dari SMA, KH. Salahuddin Wahid melanjutkan belajar di Jurusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bogor (ITB). Pada 1979, beliau lulus dan mendapatkan titel insinyur.
Pada tahun 2006, KH. M. Yusuf Hasyim meminta beliau untuk menjadi pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng. Awalnya, beliau masih ragu-ragu menerima tawaran itu, namun setelah konsultasi dengan istri (Nyai Hj. Farida), anak-anak, dan saudara-saudara, akhirnya beliau menerima tugas tersebut dengan sepenuh hati. KH. Salahuddin Wahid mengaku tidak pernah bekerja ataupun mengajar di lembaga pendidikan manapun, namun beliau cukup terlatih dalam hal manajemen. Dalam bukunya Berguru pada Realitas, beliau mengaku piawai dalam mencari sumber masalah dan bagaimana memecahkannya.
Selang waktu berjalan, KH. Salahuddin menunjukkan hasil usahanya dalam mengembangkan Pesantren Tebuireng. Pada tahun 2011, beliau menerima gelar Doktor Kehormatan, Doctor Honoris Causa (Dr. H.C.) dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang di bidang Manajemen Pendidikan Islam. Itu artinya, dalam lima tahun memimpin Tebuireng beliau sudah menunjukkan prestasi yang luar biasa, dengan memandang bahwa beliau tidak pernah bekerja ataupun mengajar di lembaga pendidikan manapun. Ini merupakan fakta menarik karena seorang insinyur ternyata dapat memperoleh gelar di bidang pendidikan, sekaligus menunjukkan bahwa sosok KH. Salahuddin Wahid telah terbukti jasa dan pemikirannya dalam bidang pendidikan.
Selain karena kepemimpinannya di lembaga pendidikan Islam pesantren dan perolehan gelar kehormatan tersebut, KH. Salahuddin Wahid juga kerap kali membuat tulisan tentang problematika pendidikan di berbagai buku dan media. Kapasitasnya sebagai tokoh pendidikan tidak dapat diragukan lagi.
Berikut ini adalah beberapa pemikiran KH. Salahuddin Wahid tentang pendidikan
1. Tujuan Pendidikan
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang mana berpendapat bahwa orientasi pendidikan seharusnya diarahkan pada pembentukan karakter untuk menjadikan peserta didik sebagai insan kamil yang memiliki dimensi profan dan dimensi transenden melalui transfer nilai. Keberadaan hati yang tulus perlu ada dalam diri siswa ketika menuntut ilmu. Guru seharusnya memberikan wejangan kepada mereka agar pendidikan tidak melulu untuk memperoleh hal-hal yang bersifat duniawi seperti kekayaan, popularitas, maupun jabatan. Akan tetapi, pendidikan dimaksud untuk memerangi kebodohan, dan untuk mengangkat harkat dan martabat umat Islam agar tidak selamanya tertindas.
Di suatu tulisan, KH. Salahuddin Wahid menyatakan:
“Banyak orang-orang Indonesia menginginkan anaknya menjadi juara kelas. Umumnya pertanyaan apa yang membuat ortu bangga terhadap anak-anaknya, jawabannya ialah juara kelas. Kepintaran seseorang dalam dunia akademis bukan penentu tunggal dalam kesuksesan hidup. Bahka sebetulnya bukan itu pula tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan ialah untuk memperbaiki cara berpikir seseorang dan sekaligus membebaskannya dari berbagai mitos yang membelenggunya.”
Tujuan pendidikan menurut KH. Salahuddin Wahid bukanlah untuk kepentingan pribadi, melainkan kepentingan komunitas umat Islam, negara, bahkan kemanusiaan. Oleh karena itu, tujuan utama dalam pendidikan bukan semata-mata ilmu, melainkan juga akhlak dan amal. Hal ini sangat selaras dengan prinsip pendidikan Islam.
2. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan perserta didik guna membangun karakter pribadi dan/atau kelompok yang baik sebagai warga negara.
Sedangkan berdasarkan Kemendiknas (2010), pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa pada diri peserta didik, sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warga negara yyang religius, nasional, produktif, dan kreatif.
Pendidikan tidak hanya fokus pada pengajaran ilmu yang bersifat kognitif guna meningkatkan kecerdasan dan pengetahuan peserta didik. Namun lebih dari itu, sikap dan akhlak peserta didik yang bersifat afektif jauh lebih penting dari pada hal tersebut. Selain kognitif dan afektif, aspek lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah psikomotorik. Tiga aspek ini yang oleh Ki Hadjar Dewantara sebut sebagai cipta, rasa, karsa.
KH. Salahuddin Wahid mengemukakan buku Transformasi Pesantren Tebuireng, “Pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan Islam memerlukan etika profetik, yaitu etika yang harus berkembang atas dasar nilai-nilai ilahiah bagi pengembangan dan penerapan ilmu.”
Pernyataan ini menjelaskan bahwa pendidikan Islam harus berdasarkan pada sumber otoritatif agama Islam, yakni al-Quran dengan tidak menyisihkan etika sebagai pokok dari pendidikan. Ilmu yang tidak dibarengi dengan etika malah cenderung destruktif. Ketika ilmu dipegang oleh seorang yang memiliki niat atau karakter buruk, maka ilmu itu malah bisa merusak diri sendiri, bahkan orang lain.
KH. Salahuddin Wahid menyayangkan kegagalan pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan Islam dengan bukti masih maraknya kejahatan yang terjadi dan pelakunya adalah seorang siswa. Pendidikan telah memperkenalkan nilai-nilai agama kepada peserta didik, namun tidak berhasil melakukan internalisasi nilai itu sehingga menjadi sebuah bahan penghayatan dan prinsip pribadi dalam kehidupan. Singkatnya, siswa hanya mampu mengucapkan bahwa kejujuran adalah nilai utama, namun mereka tetap saja mencontek ketika ujian. Pendidikan telah gagal dalam membentuk karakter anak bangsa.
Nampaknya, pendidikan Indonesia belum sampai pada pendidikan karakter, meski sudah ada wacana dan program menuju ke arah sana. Selama ini pendidikan karakter diformulasikan dengan pendidikan agama, atau dengan bahasa lain adalah akhlak. Namun dalam implementasinya, pendidikan agama juga hanya sebatas pada aspek kognitif.
3. Kejujuran
Salah satu karakter paling utama yang harus dimiliki seseorang menurut KH. Salahuddin Wahid adalah kejujuran. Beliau mengakui bahwa nilai yang satu ini kian hari kian langka. Banyak program semacam “Kantin Kejujuran” sebagai upaya menanamkan sikap jujur, namun tidak banyak yang berhasil.
KH. Salahuddin Wahid sangat getol dalam mempromosikan kejujuran. Nilai Dasar Pesantren Tebuireng yang pertama kali adalah “Jujur”. Di suatu seminar, beliau juga menegaskan bahwa “Kejujuran adalah mata uang dunia dan akhirat”.
Selain lembaga pendidikan, masyarakat juga mesti berperan dalam membentuk perilaku jujur. KH. Salahuddin Wahid membandingkan dengan masyarakat Jepang yang di sana tidak ada Islam, namun kehidupan yang berjalan sangat Islami. Ketika seseorang ketinggalan tas atau ponsel di tempat umum, benda itu tidak hilang saat seseorang itu kembali. Berbeda dengan masyarakat Indonesia, koruptor masih dihormati oleh masyarakat. Sikap masyarakat seperti itu lebih merusak akhlak ketimbang pengajaran agama untuk membina akhlak yang bersifat kognitif.
Kontras antara apa yang dibicarakan dengan apa yang dilakukan antara masyarakat Indonesia dan masyarakat Jepang. Masyarakat Indonesia gemar bicara tentang agama, namun dalam praktiknya minim. Sedangkan masyarakat Jepang yang tidak berbicara agama, justru menjalankan apa yang Islam ajarkan. Ini menandakan adanya masalah ketimpangan antara teori dan praktik.
*Mahasiswa Pascasarjana Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng
kalau boleh tahu pernyataan Gus sholah “Banyak orang-orang Indonesia menginginkan anaknya menjadi juara kelas. Umumnya pertanyaan apa yang membuat ortu bangga terhadap anak-anaknya, jawabannya ialah juara kelas. Kepintaran seseorang dalam dunia akademis bukan penentu tunggal dalam kesuksesan hidup. Bahka sebetulnya bukan itu pula tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan ialah untuk memperbaiki cara berpikir seseorang dan sekaligus membebaskannya dari berbagai mitos yang membelenggunya.”ini di muat dimana/ buku apa. Trim ksh