KH. Saifuddin Zuhri pernah bercerita dalam “Berangkat Dari Pesantren”, bahwa salah satu sumbangsih pesantren mempertahankan kemerdekaan adalah ritual doa bersama yang diselenggarakan di Pesantren Tebuireng selama seminggu hingga proklamasi kemerdakaan.
Selaku koordinator, KH. Wahab Hasbullah menekankan bahwa undangan tidak bisa diwakilkan. Artinya, yang berkumpul memanjatkan doa adalah memang orang-orang pilihan.
Dalam segala aktivitas, termasuk mempertahankan kemerdekaan waktu itu, penentunya bukan hanya usaha-usaha fisik para syahid, melainkan juga doa atau ritual ubudiyah. Begitu juga dalam hal berobat ke dokter, resep dan obat yang diberikan hanya salah satu wasilah (perantara) sedangkan penyembuh tetap Allah SWT. Maka, doa dan ritual ubudiyah juga menjadi salah satu variabel faktor yang dapat menopang kesembuhan penyakit seseorang. Keduanya merupakan variabel-variabel dalam usaha penyembuhan.
Dalam kisah Nabi Musa a.s, daun yang sama dan penyakit yang sama, ternyata tidak dapat menyembuhkan. Allah SWT mengingatkan Nabi Musa a.s bahwa yang menyembuhkan melalui daun yang telah Ia informasikan adalah tetap Allah SWT, bukan daun yang hanya sebatas wasilah (perantara sembuh).
Minggu kemarin, 06 Oktober 2024, ketika saya mengajak temu keluarga ke adik saya, dia memohon maaf tidak bisa hadir. Alasannya, ada pertemuan rutin walisantri di pondok sebulan sekali. Keponakan saya mondok di Pondok Pesantren Bidayatul Hidayah, Mojogeneng, Mojokerto. Pondok mulai mengorganisir pertemuan walisantri. Yang sebelumnya bisa menjenguk putra-putri mereka kapan saja, sekarang diseragamkan menjadi pertemuan bulanan dengan agenda “istighosah bersama dan sambangan”.
Dari notif tersebut, saya jadi tersadarkan bahwa di Sekolah TK/Paud Al-Wardah, Jombang, tempat putra saya belajar juga mengadakan agenda serupa. Penanggung Jawab yayasan adalah alumni Pesantren Tebuireng (Kiai Fuad dan Bu Nyai Rofi’). Ada rutinan bulanan pembacaan istighosah dan doa bersama dilanjutkan dengan sosialisasi kinerja lembaga dalam sebulan ke depan. Walimurid merasa dilibatkan dalam mendidik putra-putri mereka, sehingga terjalin kesamaan visi dan misi apa-apa yang perlu dikerjakan dari kedua belah pihak.
Doa, lagi, adalah salah satu variabel yang tidak dapat ditinggalkan. Ini menjadi kekuatan pesantren tiap kali mengadakan doa bersama. Tinggal doa-doa itu hendak ditujukan untuk keperluan apa selain mendoakan putra-putri mereka ke depan. Pasalnya, tiap perkumpulan 40 orang dalam doa, dihadiri oleh seorang wali (kekasih Allah SWT) yang mengamini. Sedangkan perkumpulan santri dan walisantri melebihi jumlah itu. Terkait kemustajabahan doa, tentu perlu kita kembalikan ke konsep dasar, bahwa doa hanya salah satu dari sekian banyak variabel yang perlu diupayakan.
Setidaknya, dengan doa, jiwa menjadi lebih dewasa dan siap menghadapi segala kondisi. Jiwa yang dewasa, ketika ditakdirkan sebagai orang yang kaya secara finansial, ia tidak akan sombong, tetap sederhana, dan suka sedekah untuk kebaikan; demikian juga bila ditakdir miskin dengan kehidupan yang penuh kekurangan, ia tidak akan mudah mengemis-ngemis, suka memanfaatkan kondisi papah, tidak gampang menggugat Allah SWT, dan seterusnya. Baik kaya maupun miskin hanya satu kondisi yang keduanya memiliki potensi sebagai anugerah maupun sebagai cobaan (fitnah). Bisa menaikkan derajat di sisi Allah SWT dan bisa menjerumuskan ke jurang kehinaan.
Dari sini, satu langkah pasti pesantren dalam keterlibatan antarsesama manusia, sesama saudara, sesama keyakinan, ialah mendoakan serentak tiap pertemuan rutinan mereka terhadap umat Islam Palestina agar segera mendapatkan kemerdekaan nya dan negera-negara yang sedang berperang. Semoga dengan upaya satu langkah dapat menambahkan variabel kemungkinan untuk perdamaian manusia. Tentu tanpa meninggalkan variabel upaya-upaya lainnya.
Baca Juga: Manfaat Menikah menurut Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari
MasyaAllah Alhamdulillah dapat tambahan ilmu pengetahuan dari ustadz🙏