tebuireng.co – Tahu sebelum dikasih tahu ini dialami oleh santri KH Muhammad Djamaluddin Ahmad bernama Lukman Hakim Husna yang kini tinggal di Kota Palembang.
Kesan yang mendalam ini ia dapatkan ketika sowan sendirian ke Kiai Djamal dan itu pun setelah ia tak lagi menginjak Bahrul Ulum Tambakberas alias boyong.
Persamuhan itu terjadi tak kurang dari setahun setelah Lukman terdampar di bumi Sriwijaya (Palembang), seperti biasa, sowan ini didominasi dengan adegan yang mematung dari Lukman.
Sesekali Kiai Djamal melontarkan pertanyaan, seperti “sakpiro Kiai Nawawi!?” (perihal usia Kiai Nawawi, tuan rumah dimana Lukman mengabdikan diri di Palembang, yang Kiai Djamal tahu entah dari mana).
Jawaban yang keluar dari mulut Lukman selalu terbata-bata. Namun, di tengah tanya jawab dalam sowan yang gagu itu, tiba-tiba Kiai Djamal berujar disertai senyuman yang amat manis:
“Sesuk nangdi-nangdi gak usah nggowo lading ya!? (Besok kemana-mana tak usah bawa pisau ya!?)”
Seperti tersambar petir, Lukman mendadak linglung. Bagaimana Kiai Djamal tahu jika ia selalu membawa pisau saat jalan-jalan di Palembang.
Sebagai orang asing, Lukman pada mulanya hanya mendengar reputasi tak baik dari Kota Palembang. Sebut saja preman, copet, dan pelbagai wujud kehidupan serba keras yang lain.
Untuk itu, dan karena saat itu kemana-mana Lukman harus naik bus kota (yang dimuati bunyi musik genre house berdebam-debam dan yang kini semua sudah pensiun digantikan Transmusi). Lukman selalu menyelipkan pisau lipat di salah satu saku tas cangklong.
“Ganti iki ae (ganti ini saja),” lanjut Kiai Djamal sambil menghadiahkan secarik kertas yang ia sebut sebagai Saifud Dakwah (pisau atau pedang untuk berdakwah). “Amalan Syeikh Abu Bakar al-Syibli,” pungkasnya.
Lukman yang asli Tapen Jombang ini menerima ijazah itu dengan raut heran bercampur malu. Lagi-lagi pertanyaan, bagaimana bisa Kiai Djamal mengetahui hal yang disimpan erat dan yang seolah menjadi rahasia antara Lukman dan Tuhan itu?
Jangan-jangan, Kiai Djamal dianugerahi keistimewaan tahu sebelum dikasih tahu dan karenanya juga sebetulnya tahu keseluruhan laku brengsek yang pernah Lukman lakukan dan yang untungnya –seperti yang Lukman pelajari dari pengajian Al-Hikam bersama Kiai Djamal– dibuatkan penutupnya (hijab) oleh Tuhan, sehingga orang lain tak sanggup melihatnya?
Jangan-jangan? Jangan-jangan? Pertanyaan yang terus berputar di pikiran Lukman. Kiai Djamal seperti dapat membaca kekalutan Lukman, ia kemudian beralih ke topik lain.
Selanjutnya Kiai Djamal mewasiatkan Husnul Khuluq (kebaikan perangai) ditandai dengan diantaranya:
(1) basthul wajhi, atau yang beliau redaksikan sebagai ‘ajere peraupan’, yakni raut muka yang ceria, cerah, dan ramah, bukan memberengut atau malah bengis.
(2) kafful adza, yaitu menghindari hal-hal yang berpotensi menyakiti orang lain
(3) badzlun nada, yang berarti menyerahkan apa yang kita punya untuk maslahat orang banyak.
“Wasiat itu juga sekaligus tamparan buat saya yang sepertinya tak kunjung mampu menjasadkan pekerti baik,” tutup Lukman.