tebuireng.co- KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang pemimpin luar biasa yang tidak segan-segan turun dan bekerja bersama anak buahnya. Ini beliau lakukan agar bisa berempati dan menghargai apa yang telah dilakukan oleh anak buahnya, sebuah sikap tawadlu’ yang mencerminkan kebeningan hati beliau.
Dua hari dalam seminggu KH. Hasyim Asy’ari libur mengajar untuk ikut bekerja di sawah bersama para pekerjanya. Sungguh sebuah sikap yang kini sulit dan langka kita temukan dalam diri para pemimipin kita. Seorang pemimpin harus mau berkorban untuk ummatnya, bukan sebaliknya; mengorbankan umatnya untuk kepentingan diri sendiri.
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS (Biro Pusat Statistik) Indonesia pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam adalah 207.176.162 (dua ratus tujuh juta seratus tujuh puluh enam ribu seratus enam puluh dua ) orang atau 87,18 % dari keseluruhan penduduk Indonesia. Urutan berikutnya berturut-turut ditempati oleh agama Kristen (6,96%), Katolik (2,91%), Hindu (1,69%), Budha (0,72%) dan Khong Hu Chu (0,05%). Sisanya (0,49%) tidak diketahui.
Dengan jumlah sebanyak itu Indonesia menempati ranking pertama populasi terbesar umat Islam di dunia. Ranking kedua ditempati oleh Pakistan disusul kemudian oleh India, Bangladesh dan Mesir. Yang luar biasa, dibandingkan dengan negara-negara mayoritas Islam lainnya Indonesia relatif lebih stabil situasi perekonomian, keamanan, politik dan relasi antar umat beragamanya.
Saat ini negara-negara mayoritas Islam seperti Mesir, Suriah dan Yaman sedang tidak stabil kondisi ekonomi, politik dan keamanannya yang antara lain disebabkan karena gesekan antar umat Islam sendiri maupun karena gerakan-gerakan Islam trans-Nasional. Diakui atau tidak, semua itu tidak lepas dari jasa pahlawan kita, guru kita, panutan kita, pemimpin kita, Kiai kita, KH. Hasyim Asy’ari.
Baca juga: Peran Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dalam Pendirian NKRI
Mengapa demikian? Ketika ada banyak orang mempertentangkan antara nasionalisme dengan agama, KH. Hasyim Asy’ari dengan tegas menyatakan bahwa antara agama dan nasionalisme tidaklah berada dalam kutub yang berseberangan. Seorang Muslim sejati yang taat, cinta pada Allah dan Rasul-Nya haruslah juga sekaligus menjadi pecinta dan pembela tanah air. Marwah agama sama kedudukannya dengan marwah tanah air.
Karena itulah pada tanggal 22 Oktober 1945 saat ada gelagat Belanda melalui tentara Sekutu berusaha kembali menguasai Indonesia, Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam baik pria maupun wanita untuk berjihad mempertahankan tanah air dan bangsanya. Amanat inilah yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan “Resolusi Jihad Fii Sabilillah” yang pada akhirnya berujung pada perlawanan rakyat dan pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya.
Pendapat KH. Hasyim Asy’ari yang tidak menghadapkan agama dengan Nasionalisme ini pastilah sebuah pendapat yang terbit dari kedalaman fikir dan keluasan wawasan beliau, bukan pendapat yang lahir karena motivasi kekuasaan, apalagi materi atau motif-motif duniawi lainnya. Tampaknya pendapat ini perlu digaungkan kembali termasuk kepada generasi-genarasi NU menyikapi maraknya fenomena kekuatan Islam trans-Nasional di Indonesia serta beberapa negara lain yang menghadapkan Nasionalisme vis a vis dengan agama.
Dalam kaitannya dengan Nahdatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy’ari-sebagaimana dikatakan oleh Mustofa Bisri-menyatakan bahwa NU membutuhkan orang-orang yang mau bekerja untuk jam’iyahnya, bukan bekerja meraih keuntungan dari jam’iyahnya.
Karena itu sungguh amat memprihatinkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini muncul isu-isu tentang money politic yang mewarnai pelaksanaan Muktamar NU. Kelompok-kelompok muda NU seperti PMII, Garda Muda NU dan ISNU sudah banyak menyuarakan dan meminta agar pelaksanaan Muktamar NU bersih dari praktek money politic.
Ada pula yang meminta agar dibentuk audit independen guna mengawasi dana besar yang digelontorkan pemerintah untuk Muktamar NU. Andai KH. Hasyim Asy’ari masih ada, pasti beliau akan menangis sedih mendengar isu-isu tersebut, apalagi melihat kenyataannya.
Meski demikian, tidak sedikit para kiai kita yang bisa menjadi pemimpin yang wara’ mengikuti lampah KH. Hasyim Asy’ari, diantaranya adalah cucu beliau sendiri: KH. Shalahuddin Wahid. “Kalau untuk menjadi ketua PBNU saya harus main uang, maka lebih baik saya tidak menjadi ketua PBNU. Saya sudah tua. Jarak saya dengan makam cuma tinggal 40 meter. Meski nanti makam saya bersebelahan dengan makam hadlratusysyaikh Hasyim Asy’ari, maka sesungguhnya jarak saya dengan beliau akan amat jauh. Allah tidak akan menolong saya jika saya sampai main uang !” Kata Gus Sholah, cucu dari Hadlratusy Syaikh Hasyim As’ari dengan tegas pada pertemuan di Grand Kalimas di tengah-tengah para alumni Tebuireng yang menginginkan beliau maju menjadi ketua PBNU pada Muktamar ke 33 di Jombang. Meski kalimat itu beliau ungkapkan tanpa berapi-api, tapi getarannya serasa sampai ke ulu hati, menggetarkan jiwa. Subhanallah ! Benar-benar keturunan KH. Hasyim Asy’ari sejati.
Pesantren-tentunya juga kita- haruslah i’timad ‘alan nafsi (mandiri dan percaya diri). Begitu kata KH. Hasyim Asy’ari. Seseorang pemimpin yang mandiri tidak akan mudah ditundukkan pihak lain, karena ia tidak bergantung kepada siapapun. Karena itulah di samping beliau mengajar, beliau juga seorang petani yang punya berhektar sawah dan juga seorang pedagang.
Seseorang yang bergantung ke pihak lain besar kemungkinan tidak akan mempunyai kemerdekaan sendiri, sama saja dengan memberikan peluang kepada orang lain untuk mengatur kita. Dengan bergantung kepada orang, berarti kita menggadaikan kemerdekaan kita, harga diri kita, marwah kita. Sebagaimana banyak dikatakan orang, tidak ada yang gratis di dunia; apalagi saat ini. Ada udang di balik batu. Jika ada seseorang memberi sesuatu pada kita apalagi dengan pemberian yang fantastis, patut diduga bahwa pemberian tersebut mempunyai tujuan atau agenda tertentu, meski tidak semuanya begitu. Dan KH. Hasyim Asy’ari tidak mau itu terjadi.
Hal terakhir yang patut kita catat dari hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari adalah ajarannya agar kita tidak mudah bersu’udhon, karena pandangan mata bisa jadi menipu, pandangan akal bisa jadi melenakan. Memandanglah dengan hati, insya Allah akan beroleh hikmah dan kebenaran. Subhanallah, sungguh sebuah nasehat yang bijak. Saat ini begitu banyak orang yang bukan hanya bersu’udhon, tapi sudah sampai pada taraf mengklaim, menghujat dan menuduh. Ada juga yang dengan lantang mencap seseorang sebagai sesat, kafir, musyrik dan celaan-celaan lainnya kepada sesama Muslim. Ah, seandainya semua orang meniru lampah dan ajaran KH. Hasyim Asy’ari, pastilah aman, tentram dan damai bumi ini.
Oleh: H. RPA. Mujahid Ansori, Penulis adalah Ketua IKA PMII Jatim, alumni MQ Tebuireng Jombang.
Baca juga: Jelang Muktamar, Para Dzurriyah Pendiri NU Terbitkan Tiga Pesan Penting