Oleh: KH. Abdul Hakim Mahfudz
Pada tanggal 1 Juni, kita selalu merayakan lahirnya Pancasila sebagai simbol dan landasan bernegara kita. Pancasila sebagaimana kita ketahui adalah buah pemikiran Presiden Soekarno setelah keluar dari penjara Sukamiskin lalu diasingkan oleh Belanda ke Ende, Flores, bersama istrinya, Inggit.
Selama masa pembuangan tersebut Soekarno selalu menggali tentang nilai-nilai ideologi yang sangat khas dengan akar budaya Indonesia. Maka saat beliau merenungkan ide-ide tersebut di bawah pohon Sukun, Soekarno akhirnya melahirkan sebuah lima ideologi yang diberi nama dengan Pancasila.
Seiring berjalannya waktu, Soekarno akhirnya dapat mengemumkan perihal Pancasila pada rapat BPUPKI. Dan pasa saat itu pula, para tokoh yang menghadiri rapat BPUPKI sepakat atas ideologi yang beliau tawarkan. Di umur Indonesia yang hamper mencapai 75 tahun, banyak pihak yang mencoba menggali sejarah proses pembetukan Pancasila. Salah satunya keterlibatan Hadaratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari ikut terlibat dalam proses pendirian negara dengan ide-idenya.
Kami berkesempatan berdiskusi santai dengan Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin). Beliau banyak memberikan gambaran besar tentang peran aktif buyut beliau, KH. M. Hasyim Asy’ari dalam proses pendirian negara Indonesia.
Mari kita lebih melihat pada kontribusi beliau dalam perjuangan kebangsaan, karena itu jauh lebih penting untuk dipahami oleh generasi selanjutnya. Seperti yang dipahami bersama, bahwa beliau memiliki semangat juang yang besar sejak muda.
Sewaktu berada di Mekkah, dengan beberapa sahabatnya dari berbagai negara-negara Islam yang kebutulan merdeka, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari berikrar di depan Multazam untuk meninggikan Islam dan memperjuangkan negara untuk merdeka dari penjajahan.
Kemudian sekembalinya dari Mekkah, beliau mendirikan Pesantren Tebuireng. Beliau memang menentang Belanda secara terang-terangan. Apa yang beliau lakukan memang untuk membangun komunikasi di antara para ulama yang kemudian menjadi jaringan kekuatan. Termasuk membantu beberapa santri senior yang mumpuni guna mendirikan pesantren baru di berbagai wilayah.
Jaringan inilah yang membentuk dan memprakarsai pendirian Jam’iyah NU (Nahdlatul Ulama) untuk menjadi sarana pengembangan. Atas usaha itu, dalam waktu singkat organisasi NU berkembang hingga pelosok-pelosok daerah Jawa Timur, bahkan kemudian menjalar ke seluruh nusantara.
Sementara itu, dalam kaitannya dengan jaringan internasional, tetap beliau jaga, termasuk dengan sahabat-sahabat beliau selama belajar di kota Mekkah. Mengenai hubungan erat beliau dengan beberapa sahabatnya dari berbagai negara, dapat dibaca dari buku yang ditulis oleh seorang penulis biografi tokoh-tokoh besar bernama Syaikh As’ad Syihab, yang mengabdaikan sosok KH. M. Hasyim Asy’ari berjudul, “Al Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari Waadli’u Lubnati Istiqlaali Indonesia”.
Penulis buku tersebut pernah tinggal di Pesantren Tebuireng sekitar tahun 1933. Di dalam kisah yang lain pula, Hadratussyaikh membentuk pasukan-pasukan yang memiliki kemampuan bertempur pada zaman penjajahan Jepang, seperti Hizbullah, Sabillah, dan lain-lain.
Dari fakta sejarah tentang sebuah perjuangan dan terjalin komunikasi yang tetap terjaga dengan teman-teman beliau di luar negeri, kami berkeyakinan bahwa sosok Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sudah memiliki wawasan kebangsaan secara luas termasuk bentuk negara Indonesia.
Pada saat Jepang semakin lemah, mereka berencana untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Pada saat itu, Jepang meminta Hadratusyaikh untuk berkenan menjadi presiden Indonesia. Akan tetapi Hadratusyaikh menolak secara halus dan mengarahkan Kusno (Soekarno) yang menurut beliau lebih cocok.
Setelah itu, beberapa utusan datang ke Pesantren Tebuireng untuk berdiskusi mengenai persiapan kemerdekaan, termasuk kedatangan Tan Malaka sebagai utusan Bung Karno untuk dapat berdiskusi dengan Hadratussyaikh dari Isya sampai Subuh.
Dari beberapa pertemuan dengan utusan yang datang ke Pesantren Tebuireng, pastinya banyak pembicaraan penting seputar kebangsaan. Kami yakin yang sebenarnya, apa yang beliau lakukan jauh lebih besar. Beliau sangat akomodatif terhadap semua golongan.
Hal tersebut tercermin di dalam Qonun Asasi (Peratuan Dasar) NU. Pada saat yang bersamaan beliau lebih memilih tinggal di Pesantren Tebuireng, tetapi tetap memikirkan bangsa ini dengan menyalurkan ide-ide pemikirannya melalui putranya, KH. A Wahid Hasyim saat berusia 31 tahun yang juga menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Kiai Wahid inilah yang berhasil ikut menyusun UUD 45 dan Pancasila yang dapat diterima oleh semua golongan pada waktu itu.
Selanjutnya sejak awal tahun 50-an banyak sejarah yang bisa dibaca, Indonesia dengan UUD sementara, pada tahun 1950, disepakati guna disusun ulang. Karena banyaknya kepentingan. Akhirnya Konsituante gagal, lalu dibubarkan dan kembali kepada UUD 45 dan Pancasila. Termasuk NU juga belum puas. Pada tahun 1984 NU mengelar Muktamar di Situbondo dan sepakat menerima Pancasila.
Saat itu pula NU menyatakan Pancasila harga mati. Seiring berjalannya waktu, NU mengalami perubahan. Akan tetapi tidak dengan Pancasila. Ia tetap menjadi pendoman bagi kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka dari itu, mari kita jaga persatuan Negara Indonesia.
Semoga dasar-dasar negara tidak berubah lagi, karena itu adalah hasil pemikiran dan ijtihad para Masyaikh dan tokoh-tokoh nasional yang akan berpengaruh terhadap karakter bangsa.
*Sumber: Tebuireng.online dan dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.