Puritanisme salafi di ranah teologi merupakan sebuah fenomena biasa dalam sejarah keagamaan. Fenomena tersebut selalu muncul dan terjadi dalam formulasi yang beragam. Dalam hal ini, tidak jarang puritanisme dikaitkan dengan pembaharuan (tajdid) dan purifikasi. Begitu juga sebaliknya, term ini juga sering diidentikkan dengan kejumudan dan kekakuan. Salafi atau Wahabi menarik dibahas karena perkembangnya yang signifikan.
Di dunia Islam, realita ini dapat dilihat dari perseteruan Ahmad Ibn Ḥanbal (w. 241 H/856 M) dengan kelompok rasionalis pada abad ketiga hijriah, Ibn Taymiyah (w. 728 H/1327 M) dengan Ash-ariyah, fuqaha’, dan Sufi, sampai Muhammad Ibn Abd al-Wahhab (w. 1206 H/1791 M) dalam skala luas dengan para teolog, ahli fiqh, bahkan penguasa politik.
Puritanisme Ahmad Ibn Ḥanbal terlihat dari penolakannya terhadap segala bentuk argumentasi berdasarkan ra’y (rasio). Ahmad Ibn Hanbal lebih memilih untuk berpendapat dengan Hadis yang lemah dari pada menggunakan analogi yang berdasarkan rasio. Pendiriannya ini berimbas kepada serangannya terhadap sesama ahli Hadis yang cenderung kepada ra’y sebagaimana tampak dari perselisihannya dengan al-Ḥusayn al-Karabisi (w. 248 H/863 M).
Perselisihan ini disebabkan tema khalqiyah (penciptaan), pembacaan (talaffuz) terhadap al-Qur‘an. Tokoh ini merupakan rekan Ahmad Ibn Ḥanbal saat belajar kepada Muhammad Ibn Idris As-Syafi’i (w. 204 H/820 M). Meskipun sama-sama ahli Hadis, al-Ḥusayn al-Karabisi mempunyai latar belakang yang berbeda. Ia pernah menjadi murid Muhammad Ibn al-Ḥasan al-Shaybani (w. 191 H/807 M) salah satu tokoh yang mewarisi rasionalitas Abu Ḥanifah (w. 150 H/768 M).
Baca Juga: Buku Arrazy Hasyim Tentang Puritan
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Ahmad Ibn Ḥanbal mengritisi siapa pun yang terindikasi mempunyai kecenderungan kepada rasio, baik dalam persoalan fiqh maupun teologi, tanpa terkecuali sahabatnya sendiri. Sikap kritis Ahmad Ibn Ḥanbal dalam teologi tidak selalu berbuah manis. Ia termasuk salah satu korban politisasi teologi yang paling fenomenal di era Abbasiyah.
Isu khalqiyah al-Qur‘an menjadi senjata bagi rival Ahmad Ibn Ḥanbal untuk menjebaknya ke dalam kondisi yang sangat sulit. Dalam hal ini, Ibn Abu Du‘ad seorang qadli di masa al-Ma‘mun (w. 218 H/833 H) memanfaatkan kebijakan politik untuk mengintimidasi banyak tokoh termasuk Ahmad Ibn Ḥanbal yang berseberangan dengan doktrin Mu’tazilah. Intimidasi tersebut berlanjut sampai masa Khalifah al-Wathiq (w. 332 H/944 M).
Pada masa berikutnya, setelah eksekusi yang memakan banyak korban dari tokoh ahli Hadis dan fiqh, muncul gerakan teologi yang bertentangan dengan Mu’tazilah. Ini disebabkan ahli Hadis dan fiqh adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban. Kondisi tersebut dibaca dengan baik oleh Khalifah al-Mutawakkil (247 H/862 M), sehingga ia selalu menjalin hubungan baik dengan ahli hadis dan menerapkan doktrin teologis mereka, sebaliknya menyingkirkan teologi Mu’tazilah dan Syi’ah yang pernah populer.
Hubungan tersebut terlihat dari surat-menyurat antara al-Mutawakkil dengan Ahmad Ibn Ḥanbal dan sikap puritan dalam isu teologi. Pengaruh Aḥmad Ibn Ḥanbal dapat terlihat dari sikap al-Mutawakkil dalam meratakan pusara yang dibangun di atas kuburan al-Ḥusayn Ibn Ali dengan alasan menjaga kemurnian akidah umat Islam.
Selain itu, pada masa inilah kejayaan ahli Hadis memuncak untuk pertama kalinya. Kejayaan tersebut terlihat dari kebanyakan kitab Hadis primer ditulis oleh orang-orang yang mempunyai kaitan dengan Ahmad Ibn Ḥanbal, baik rekan maupun murid-muridnya. Semua itu merupakan jasa dari puritanisme Khalifah al-Mutawakkil.
Gerakan purifikasi tersebut bertahan dan dilanjutkan oleh tokoh-tokoh yang belakangan disebut sebagai Ḥanabilah. Mereka tersebar kepada dua wilayah geografis, Baghdad dan Khurasan. Genealogi Ḥanabilah yang tersebar di dua wilayah tersebut dipertemukan kembali oleh Ibn al-Jawzi (508-597 H/1115/1201 M) di Baghdad, dan setelah itu oleh Ibn Qudamah (541-620 H/1146-1223 M) di Damaskus.
Genealogi Ibn al-Jawzi menandakan akhir dari kegemilangan Ḥanabilah di Baghdad dan Khurasan. Adapun Ibn Qudamah sangat berjasa dalam mentransmisikan ajaran Ḥanabilah dari Baghdad ke Damaskus. Di tangan Ibn Qudamah, ajaran Ḥanabilah menjadi mapan secara fiqh.
Adapun dalam teologi, Madrasah Ḥanabilah baru berhasil memunculkan tokoh-tokoh intelektual yang berpengaruh setelah kematian Ibn Qudamah. Ini terlihat dari ketokohan Ibn Taymiyah (w. 728 H/1327 M) dan Ibn Qayyim al-Jawziyah (w. 751 H/1350 M). Ajaran Ḥanabilah menjadi sebuah aliran teologi yang mandiri dan mapan dengan teori dan rasionalisasi yang kuat setelah kemunculan dua tokoh ini.
Lebih khusus, Goerge Makdisi menyebut Ibn Taymiyah sebagai seorang yang unik karena selalu berada di luar pemahaman Islam maenstream. Namun sayang sekali, ia dan pengikutnya tidak mendapat dukungan secara politik sebagaimana Ahmad Ibn Ḥanbal. Ini berakibat kepada malapetaka pada kebebasan hidup mereka. Ibn Taymiyah akhirnya meninggal ketika menjalani hukuman penjara, setelah beberapa kali keluar dan masuk jeruji besi. Setelah itu, puritanisme di kalangan Muslim mengalami pasang surut dan kemunduran sampai datang Muḥammad Ibn Abd al-Wahhab pada abad ketiga belas Hijriah.
Dalam hal ini, pasang surut ajaran dan pergerakan puritanisme dalam mengembangkan teologi tidak hanya terjadi di kalangan Muslim. Di kalangan Kristiani, gejala serupa terjadi di Eropa, khususnya. Lebih tepatnya, pergolakan puritan terjadi sebelum mendapat tempat terhormat di kerajaan Inggris. Dalam konteks ini, Thomas Cranmer (w. 1556 M) dan 269 aktivis puritan yang sepaham dengannya menjadi korban dari tidak berpihakan penguasa.
Peristiwa ini terjadi ketika Ratu Mary Tudor (1553-1558 M) mengembalikan pengaruh kepausan Katolik Roma dengan mengorbankan nyawa para penentang, terutama kelompok puritan. Meskipun Thomas Cranmer belum tentu dapat disejajarkan dengan Ibn Taymiyah, tetapi kreatifitasnya dalam menulis, mengembangkan semangat teologi Luther dan Calvin, dan pengorbanan nyawanya hampir sama dengan Ibn Taymiyah di Damaskus.
Oleh karena itu, dalam pandangan Mohammed Ali Adraoui seorang penulis Prancis menyebut kebangkitan Salafi setelahnya sebagai les Salafis Post Chrétiens (Salafi Post-Kristen). Roman Loimeier menilai pergerakan Salafi dengan Kristen-Muslim (Muslim-Christian) karena sikap mereka yang menyerang sesama Muslim.
Baca Juga: Arrazy Hasyim, Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah Asal Tanah Minang
Dalam menanggapi realita tersebut, Graham E. Fuller melihat sikap puritan Calvin paralel dengan pandangan Wahhabiyah di Saudi Arabia pada abad ketujuh belas Masehi. Graham E. Fuller lebih yakin lagi saat menyoroti kesamaan ide Calvin yang ingin membangun City of God atau Kingdom of God on Earth di Geneva. Calvin juga mengemukakan bahwa Bible adalah sebagai sumber ajaran dan hukum semua komunitas. Sikap ini dinilai oleh Graham E. Fuller serupa dengan ajaran Wahhabiyah yang mendorong al-Qur‘an sebagai sumber terhadap semua ajaran dan hukum yang diwujudkan dalam sebuah kota atau negara.
Dalam konteks ini, Wahhabiyah lebih berhasil merealisasikan sistem tersebut. Ini terbukti dari keberadaan polisi moral atau muṭawwa‘ yang terkadang disebut shurṭah shar‘iyah (polisi syari’ah). Meskipun pandangan Graham E. Fuller ini tidak sepenuhnya sesuai dengan konteks yang sebenarnya, fenomena puritan terbukti ada agama lain selain Islam.
Terlepas dari itu, keberhasilan Wahhabiyah atau salafi di Saudi Arabia terwujud setelah mengalami proses yang panjang. Usaha purifikasi tersebut pernah gagal sebelumnya bahkan di masa Muhammad Ibn Abd al-Wahhab, lalu terhenti setelah kebangkitannya pada abad kedelapan belas sampai muncul kerajaan Saudi Arabia yang baru di awal abad keduapuluh. Dalam hal ini, Muhammad Ibn Abd al-Wahhab selalu berusaha merasionalisasikan doktrin puritannya dengan menjadikan karya-karya Ibn Taymiyah sebagai rujukan utama.
Karya-karya Ibn Taymiyah sangat khas dengan polemik dan perlawanan terhadap mayoritas. Ini terlihat dari kritikannya yang tajam terhadap taqlid dalam mazhab fiqh dan teologi. Tidak hanya itu, sikap puritan Ibn Taymiyah terhadap ajaran tasawuf juga juga sering menginspirasi Muḥammad Ibn Abd al-Wahhab dan Wahhabiyah, meskipun jasadnya disemayamkan di kuburan para Sufi (maqbarah sufiyah). Ia menulis al-Furqan bayn Aulia’ al- Raḥman wa-Aulia’ al-Shayṭan sebagai kritik terhadap tradisi pengultusan wali di kalangan Sufi.
Tidak hanya itu, ia menulis Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah sebagai kritik atas aliran-aliran kalam secara umum, terutama Syiah Karramiyah dan Jahmiah; Dar’ al-ta‘aruḍ sebagai usaha mendamaikan konsep agama dan rasio dengan mengritik teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Polemik ini kembali dilestarikan oleh Muhammad Ibn Abd al- Wahhab dalam karya-karya seperti Kitab al-Tawhid, dan risalah-risalahnya kepada rival teologis.
Arrazy Hasyim