Sebagai sumber ajaran Agama Islam setelah Alquran, hadits memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Namun, tidak seperti Alquran yang mendapat penjagaan langsung dari Tuhan (QS. Al-Hijr ayat 9). Hadits memang menghadapi dilema seputar keotentikannya. Pasalnya, fakta sejarah membuktikan bahwa semenjak era pertama Islam, sudah banyak didapati hadits-hadits palsu. Jadi di sinilah pentingnya ilmu hadis
Sadar akan pentingnya hadits dalam Islam, para ulama klasik bahkan sejak zaman sebelum pengkodifikasian hadis secara massal, telah melakukan penyeleksian hadis dengan intensif. Mereka berupaya merumuskan konsep yang dapat dijadikan pedoman dalam menyeleksi hadis. Dengan rumusan itu yang kemudian kita kenal sebagai ’Ulumul Hadits (ilmu-ilmu hadis). Para pengaji hadis dapat menentukan hadis yang benar-benar otentik dari Rasulullah dan hadis yang validasi asosiasinya lemah (dha’if) atau yang tidak valid sama sekali (mawdhu’).
Sebagai alat ukur penilaian kualitas hadis, para ulama merumuskan kriteria keshahihan hadis, yaitu ketersambungan sanad, seluruh perawinya bersifat adil dan terpercaya, tidak ada syadz dan cacat. Salah satu metode mengaji hadis adalah takhrijul hadis. Untuk meneliti keshahihan sebuah hadis, kita perlu meneliti kualitas sanad dan matannya.
Takhrijul hadis, yaitu penelusuran letak hadis pada kitab-kitab primer (mashadir ashliyah) yang mencantumkan hadis secara lengkap dengan sanadnya. Lima metode takhrij dipaparkan oleh Mahmud al-Thahhan dalam kitab Ushul al-Takhrij wa Dirasah al–Asanid, prinsip-prinsip dan manfaat takhrijul hadis.
Mahmud al-Thahhan mendefinisikan takhrij sebagai penelusuran atas lokasi hadis dalam sumber-sumbernya yang asli yang menyebutkan hadis beserta sanadnya, untuk kemudian dikaji kualitas hadisnya. Definisi yang ditawarkan al-Tahhan ini berlaku pasca kodifikasi hadis. Sebagai sebuah disiplin ilmu, takhrijul hadis tumbuh dan berkembang belakangan dibandingkan ilmu-ilmu hadis lainnya seperti tarajum al-ruwat (kajian biografi para perawi) dan nasikh wa mansukh. Namun, sebenarnya praktek takhrijul hadis sudah dilakukan pada awal perkembangan ’ulum al-hadis.
Pada awalnya, takhrij dilakukan sebatas untuk mengetahui letak sebuah hadis pada sebuah kitab atau literatur. Sementara kegiatan lanjutannya berupa penelitian kualitas hadis dilakukan jika dirasa perlu. Dalam artian sebenarnya takhrijul hadis terhenti pada saat kita sudah mengetahui sumber berupa kitab atau hadis yang menyebutkan hadis itu beserta sanadnya. Misalnya ketika kita sudah mengetahui bahwa hadis yang sedang ditakhrij diriwayatkan oleh Muslim atau Abu Dawud, maka selesai sudah proses takhrij itu.
Namun, penelusuran lokasi hadis menjadi kurang sempurna jika tanpa penilaian atas sanad hadis. Karena tujuan dari kajian hadis adalah untuk diamalkan, setelah diketahui terlebih dahulu kualitasnya berdasarkan penilaian atas sanadnya. Penelusuran yang dilakukan dalam proses takhrijul hadis, bermuara kepada kitab atau literatur yang menyebutkan hadis beserta sanadnya yang dimiliki sendiri oleh penulis kitab atau literatur tersebut, yang tersambung sampai Rasulullah.
Kitab atau literatur ini disebut sebagai kitab sumber asli (al-mashadir al-ashliyah). Lumrahnya, sumber asli adalah kitab hadis. Namun terkadang juga ada literatur yang bukan kitab hadis namun dapat dikategorikan sebagai sumber asli, seperti Tarikh al-Thabari dan al-Umm karya al-Syafi’i. Literatur non hadis dapat dikategorikan sebagai sumber asli ketika ia menyebutkan hadis beserta sanadnya yang dimiliki sendiri oleh penulisnya.
Ulama pada masa klasik, dimulai pada masa sahabat hingga abad kelima hijriyah belum mengenal takhrij, dengan terminologi yang kita kenal sekarang, sebagai alat bantu mengaji hadis. Hal ini dikarenakan banyaknya hafalan dan luasnya wawasan mereka akan hadis. Pembacaan mereka terhadap kitab-kitab hadis sangat banyak dan intens. Yang perlu diingat adalah bahwa tingkat kepercayaan para muhadditsin pada saat itu sangatlah tinggi, sehingga setiap kali menyatakan sebuah pendapat, dengan mudah mereka menyebutkan hadis yang ada sebagai dasar dan argumentasinya.
Seiring perjalanan waktu, kajian hadis semakin surut dan penguasaan para ulama terhadap hadis juga berkurang. Para ulama yang memiliki hafalan hadis semakin berkurang, dan hafalan yang mereka milikipun relatif lebih sedikit. Di waktu yang sama, ketika merujuk kitab-kitab hadis, mereka mendapati sedikit kesulitan. Para pengarang kitab dalam disiplin non hadis seperti fiqh dan tafsir, seringkali menyebutkan hadis tanpa menyebutkan sanad atau mukharrijnya. Sehingga dengan sendirinya, kualitas hadis yang disebutkan juga tidak dapat dipastikan.
Hal ini mengundang keprihatinan beberapa ulama untuk melakukan kajian lanjutan terhadap hadis-hadis itu, dan mereka mulai menulis karya yang kita sebut ‘kitab-kitab takhrij’. Mahmud al-Thahhan menyebutkan bahwa kitab takhrij yang pertama kali ditulis oleh al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H). Di antara karya al-Khatib dalam kajian takhrij adalah Takhrij al-Fawaid al-Muntakhabah al-Shihah wa alGharaib karya Abu al-Qasim al-Husayni, dan Takhrij al-Fawaid al-Muntakhabah alShihah wa al-Garaib karya Abu al-Qasim al-Mahrawani. Kedua kitab ini, menurut al-Thahhan, masih dalam bentuk manuscript.
Belakangan, banyak ulama yang melakukan kajian takhrij terhadap kitab-kitab yang telah beredar di masyarakat, yang tidak menjelaskan kualitas hadis yang dicantumkannya. Keadaan ini berlanjut hingga sekarang. Bahkan takhrijul hadis kemudian menjadi integral dengan proses penahqiqan terhadap sebuah karya. Baik karya ulama klasik dan telah diterbitkan sebelumnya, maupun karya yang baru diterbitkan.
Mahmud al-Thahhan menyebutkan bahwa setidaknya ada lima cara atau metode yang digunakan untuk menakhrij hadis. Pertama metode indeks nama sahabatnya. Metode ini digunakan ketika nama perawi sahabatnya diketahui. Pengguna metode ini harus meyakini terlebih dahulu sosok sahabat yang meriwayatkan hadis yang akan ditakhrij. Untuk kemudian melakukan penelusuran hadis pada buku atau literatur yang metodologi penulisan hadisnya berdasarkan urutan nama-nama shahabat. Metode ini berlaku pada kitab-kitab musnad, mu’jam dan athraf.
Kedua, metode kata pertama dalam matan. Metode ini digunakan ketika kita mengetahui dengan pasti ungkapan awal dari matan hadis. Setidaknya ada kategori kitab yang dapat menggunakan metode ini seperti kitab-kitab mengumpulkan hadis yang matannya sudah populer di tengah masyarakat luas (musytahirah) dan kitab-kitab yang disusun berdasarkan abjad huruf pertama matannya.
Ketiga, metode indeks kata. Metode ini digunakan dengan cara mencari kata-kata yang menjadi ‘kata kunci’ dalam indeks hadis. Keempat, metode tematis hadis. Metode ini digunakan oleh orang yang memiliki cita rasa (dzawq) ilmiah yang memungkinkannya menentukan tema bagi hadis yang sedang dikaji. Kelima, metode penelusuran berdasarkan kondisi matan atau sanad. Beberapa kitab atau literatur mengoleksi hadis yang memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan itu bisa ada dalam sanad maupun matan hadis. (Nur Aida El Fitri)
Disarikan dari Jurnal Studi Hadis ‘Pengenalan Atas Takhrij Hadis’ karya Andi Rahman