Sejarah panjang salafi atau wahabi tidak bisa lepas dari Ibn Taymiyah. Karya- karya Ibn Taymiyah baru mendapatkan posisi terhormat secara politis dan teologis setelah lima abad. Cita-cita purifikasi Ibn Taymiyah diwujudkan oleh Muḥammad Ibn Abd al-Wahhab (w. 1206 H/1791 M) dengan dukungan Raja Saud dalam meyakinkan suku-suku Arab untuk melakukan perlawanan terhadap Dinasti Ottoman (Utsmaniyah).
Perlawanan ini sempat menyurut sampai akhir abad ke sembilan belas, dan kembali bangkit secara politis pada awal abad kedua puluh. Kebangkitan tersebut bertepatan dengan keruntuhan Dinasti Utsmani (1924 M).
Pengaruh dari kebangkitan tersebut terlihat jelas dengan penyebaran karya-karya Ibn Taymiyah dan Muḥammad Ibn Abd al-Wahhab, sehingga dapat dibaca dan diserap secara terbuka di berbagai belahan dunia Islam, termasuk Indonesia.
Fakta lain dari perkembangan ini adalah kemunculan gerakan Salafi sebagai formulasi baru dari Wahhabi. Nama Wahabiyah di kalangan pengikutnya sendiri kurang populer. Mereka belakangan ini lebih cenderung disebut sebagai Salafi atau pengikut ajaran ulama salaf (terdahulu). Besar kemungkinan, nama Wahabiyah memang tidak berasal dari pengikut Muḥammad Ibn Abd al-Wahhab, tetapi disematkan oleh para penentangnya.
Para pengikut Muḥammad Ibn Abd al-Wahhab seakan terpaksa menerima Wahhabiyah sebagai nama mereka. Ini terlihat dari kritikan tajam Aḥmad Zayni Daḥlan yang menulis Fitnah al-Wahhabiyah (Kekacauan Wahhabiyah). Begitu juga, Sulaiman Ibn Abd al-Wahhab-saudara Muḥammad Ibn Abd al-Wahhab-menulis al-Ṣawa‘iq al-Ilahiyah fī Radd ‘alá al-Wahhabiyah (Petir Tuhan dalam menolak Wahhabiyah) dengan menguji kesungguhan saudaranya dalam mengikuti karya-karya Ibn Taymiyah.
Terlepas dari itu, meskipun Salafi sebagai formulasi baru Wahhabiyah dinilai kurang tepat dalam memahami ajaran Ibn Taymiyah, tetapi mereka termasuk kelompok yang paling sering menjadikan karya-karya Ibn Taymiyah sebagai rujukan utama.
Kecenderungan ini berpengaruh kepada kemiripan semangat purifikasi mereka dengan Ibn Taymiyah. Sejarah pun berulang, sebagaimana kelompok mayoritas pernah merasa terganggu dengan pandangan Ibn Taymiyah, maka Salafi juga sering dianggap meresahkan bagi kebanyakan umat Islam, bahkan dianggap mengancam keberlangsungan toleransi, baik sesama Muslim apalagi terhadap non-Muslim.
Secara umum, Salafi mempunyai dua karakter, pertama kalangan yang cenderung puritan pada tataran pemikiran murni, dan kedua kalangan yang cenderung puritan secara pemikiran dan sekaligus tindakan.
Kalangan pertama pada realitasnya lebih banyak dari pada kedua. Kalangan pertama lebih agresif dalam menyebarkan pemahaman mereka melalui cara-cara positif, seperti penyebaran buku, artikel, dan media masa, sehingga mereka memiliki situs internet percetakan dan stasiun radio dan televisi yang mandiri.
Sikap puritan mereka melahirkan militansi yang positif, sehingga memunculkan kreatifitas yang luarbiasa. Namun kalangan kedua lebih progresif dengan membuat aksi-aksi teror di tengah masyarakat yang dianggap berbeda pemahaman dengan mereka.
Kenyataan ini mengindikasikan bahwa keberadaan mereka seakan menjadi benalu bagi Muslim mayoritas. Sikap militan mereka-terutama kelompok pertama-tidak terlepas dari pengaruh dan sokongan beberapa organisasi keagamaan, bahkan pemerintah Saudi Arabia.
Otomatis  kondisi ini sangat menguntungkan dalam penyebaran ajaran Salafi secara lebih terbuka. Hal tersebut disebabkan dua kota suci langsung diatur oleh ulama-ulama Salafi yang mendapat dukungan dari pemerintah. Oleh karena itu, pasca abad dua puluh tidak mengherankan apabila ajaran Ibn Taymiyah atau pun Salafi menyebar jauh lebih cepat dari Asy’ariyah dan Syi’ah.
Ajaran Ibn Taymiyah atau Salafi belum terlihat berkembang ke berbagai wilayah sampai dua kota suci tersebut menjadi pusat ajaran Salafi. Kenyataan ini dapat dibuktikan secara filologis, bahwa dari abad ke-17 sampai ke-20, yaitu sejak kepulangan Abd al-Ra‘uf al-Jawi al-Singkili (1693 H) sampai generasi pembaharu seperti Hasyim Asy’ari (1947 M), Aḥmad Daḥlan (1923 M), Sulaiman al- Rasuli (1970 M), dan lainnya, dinamika corak keagamaan umat Islam selalu dipengaruhi oleh kecenderungan ulama Ḥaramain, yang cenderung berhaluan Asy’ariyah.
Kenyataan ini memperkuat asumsi bahwa penetrasi ajaran Ibn Taymiyah dan Muḥammad Ibn Abd al-Wahhab belum memasuki Nusantara sampai abad ke sembilan belas. Pengaruh mereka baru terlihat setelah Ḥaramain dikuasai oleh pemerintah yang menyokong doktrin Ibn Taymiyah dan Muḥammad Ibn Abd al-Wahhab. Proses transmisi doktrin tersebut berlangsung sesuai dengan pergerakan para haji yang pulang dari Ḥaramain ke Nusantara.
Sebagian dari para haji tersebut pulang dengan pemahaman baru yang dianggap segar, karena dibawa dari dua Kota Suci umat Islam. Oleh-oleh dari Ḥaramain ini ternyata tidak serta-merta diterima oleh tokoh-tokoh tradisional. Ini mengakibatkan terjadi perseteruan kelompok modernis dan tradisonalis, atau kaum mudo dan kaum tuo sebagaimana di Minangkabau dan Palembang. Perseteruan kaum mudo atau modernis tersebut menjadi cikal-bakal dari puritanisme di Indonesia pada masa selanjutnya.
Akan tetapi, ada sisi lain dari perseteruan awal tersebut. Baik kaum tuo maupun mudo pada dasarnya mempunyai genealogi keguruan yang sama. Ini terlihat dari literatur yang menjadi referensi mereka dalam belajar dan berdebat relatif sama. Mereka berpolemik dalam beberapa aspek keagamaan yang dari dulu menjadi perdebatan sarjanawan Muslim klasik.
Aspek-aspek yang menjadi objek perdebatan lebih didominasi persoalan fiqh dibandingkan persoalan teologi. Ini terlihat dari objek perdebatan yang berkembang dari majalah-majalah dan buku-buku yang terbit di masa tersebut. Adapun pada prinsip-prinsip teologi hampir tidak terjadi benturan sama sekali. Ini terlihat dari kesamaan kecenderungan mereka dalam teologi, terutama Asy’ariyah. Mereka biasanya berbeda dalam menerima pemikiran Muḥammad Abduh dan Rasyid Ridlo.
Kelompok tradisionalis cenderung menerima taqlid dan menolak karya Muḥammad Abduh, sebaliknya kelompok modernis banyak terinspirasi dari karya-karya mereka. Sikap kelompok modernis tersebut bagi Hasyim Asy’ari sudah cukup untuk menyebut mereka sebagai Salafi.
Perseteruan di antara mereka mulai meredup di masa orde baru. Tetapi secara tidak disadari literatur Salafi telah diserap oleh beberapa pesantren besar di Indonesia. Perkembangan ini disadari oleh Martin Van Bruinessen. Ia melihat bahwa ada perkembangan yang kurang baik dari ma’had atau pesantren, terutama ketika ada di antaranya yang dicurigai ekstrem atau terlibat dalam kegiatan terorisme. Dalam hal ini, ia mengambil contoh pesantren Ngruki. Berdasarkan ini, Martin Van Bruinessen membagi dua macam pesantren yang berkembang di Indonesia belakangan ini menjadi dua, yaitu traditionalist dan islamisist.
Setelah itu, perbedaan kelompok puritan mulai muncul ke permukaan pasca reformasi tahun 1998. Tidak hanya kelompok atau partai politik yang berjamuran, tetapi berbagai aliran dan organisasi keagamaan keislaman yang selama ini di bawah tanah juga muncul ke permukaan.
Doktrin Wahhabiyah yang belakangan diidentikkan dengan Salafiyah mempunyai pergerakan yang lebih bergairah. Selain disemarakkan oleh sebagian lulusan Timur Tengah, ajaran ini tambah mengakar kuat dengan keberadaan Universitas al-Imam Muḥammad Ibn Saud atau LIPIA di Jakarta pada tahun 80-an. Lembaga ini mempunyai andil besar dalam perkembangan Salafiyah belakangan ini.
LIPIA sebelumnya hanyalah institusi yang menawarkan pengajaran bahasa Arab. Belakangan, lembaga tersebut memperluas dengan membuka perkuliahan setingkat perguruan tinggi. Pada saat yang sama, ajaran Ibn Taymiyah dan Muḥammad Ibn Abd al-Wahhab diajarkan lebih mendalam daripada tahapan sebelumnya. Ini juga mendorong penyebaran ajaran Salafi secara lebih progresif.
Dalam hal ini, indikasi dari penyebaran yang progresif tersebut terlihat dari karya-karya yang memuat doktrin trilogi tauḥid, yaitu uluhiyah, rububiyah, dan al-asma’ wa-al-ṣifat menjadi lebih populer. Apabila dirunut kembali, maka kecenderungan kepada tiga pembagian itu terlihat dari Ighathat al-Lahfan dan karya Ibn Qayyim al-Jawziyah, Sharḥ al-Ṭaḥawiyah karya Ibn Abu al-Izz (792 H), Uṣul al-Thalathah dan Risalat al-Tauḥid karya Muḥammad Ibn Abd al-Wahhab (1111-1202 H), al-Qawl al-Mufid karya Ibn al-Uthaymin, Aqidah Ahl al-Sunnah Ṣaliḥ al-Fawzan, Fatḥ al-Majid karya Abd al-Raḥmad Alu Shaykh.
Sebagian dari karya-karya tersebut dibagikan secara gratis kepada mahasiswa, para haji dan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia. Salafi sangat diuntungkan dengan penguasaan wilayah strategis yang dianggap suci oleh umat Islam. Haramain yang merupakan pusat pelaksanaan ritual haji, menjadi legitimasi bagi para penyebar ajaran Salafi.
Banyak hal yang dapat diidentifikasi dari gerakan puritan yang masuk ke Indonesia. Tetapi sejauh ini perspektif teologi kurang mendapat perhatian. Pada kenyataannya, aspek teologi merupakan sumber utama yang mendorong suatu kelompok menjadi puritan. Sikap yang cenderung mengafirkan atau minimal membid’ahkan kelompok yang tidak sepaham dengan mereka tidak hanya berkaitan dengan fiqh semata. Sikap tersebut berkaitan erat dengan persoalan teologis yang menjadi cara pandang seseorang terhadap status keimanan orang lain.
Persoalan teologis menjadi lebih berwarna apabila dikaitkan dengan latarbelakang politik atau sosial dari seorang tokoh atau suatu pergerakan. Tetapi dorong yang bersumber dari pandangan teologis-pada dasarnya-sudah cukup untuk menjelaskan kecenderungan puritanisme suatu kelompok. Ini semua dapat dilengkapi dengan penelusuran genealogi tokoh-tokoh yang terjaring dalam teologi tersebut.
Berdasarkan itu, kajian ini akan menelusuri genealogi teologi puritan. Penelusuran ini akan mengekplorasi sisi historis perkembangan suatu doktrin teologi. Dengan ini akan disadari bahwa teologi puritan bukanlah fenomena baru dalam sejarah Islam. Selain itu, puritan dapat juga dilihat dari sisi lain yang membuat mereka eksis, yaitu politisasi isu-isu teologi untuk kepentingan kekuasaan dan popularitas.
Aspek lain yang akan terungkap adalah jalur penyebaran teologi puritan melalui pendidikan. Pendidikan ternyata menjadi mediator utama dalam membumikan teologi-teologi impor, termasuk puritanisme Salafi.
Satu hal lagi yang akan terlihat adalah semangat romantisisme untuk mengembalikan kejayaan masa lampau. Inilah alasan mengapa sering terjadi arabisasi ajaran keagamaan di tengah tradisi lokal yang sudah mengakar. Aspek ini tumbuh dari pendekatan terhadap literatur yang dilakukan dengan cara tekstual.