Meskipun secara teknis di lapangan, KH Abdul Wahab Chasbullah banyak mengambil peranan penting di tubuh Nahdlatul Ulama (NU), tapi pengaruh dan wibawa besar Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak dapat dipungkiri. Sehingga Nahdlatul Ulama (NU) menjadi organisasi muslim terbesar di Indonesia, bahkan berpengaruh di dunia.
Begitu pula, sudah banyak yang menulis biografi maupun kajian terhadap karya-karya Hadratussyaikh, dipandang dari berbagai sudut disiplin keilmuan. Namun demikian, ketokohan Hadratussyaikh masih tetap saja selalu relevan untuk dibicarakan dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan.
Membaca Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari memang harus kompleks, tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja. Pandangan itu dapat dilihat dari berbagai aspek yang juga kompleks misalnya dari segi pemikiran keagamaan (kalam, fiqh, dan tasawuf); dari segi historis (humanisme, sosialisme, nasionalisme, dan universalisme); maupun dari sudut budaya (spiritual, ekonomi, sosial, dan berkesenian).
Masing-masing tidak bisa menjadikan Hadratussyaikh terkotak ke dalam satu blok pemikiran. Harus utuh dilihat dirinya sebagai manusia yang memiliki empati, simpati, dan gagasan yang besar (yang juga terluka di saat bangsanya diserang Belanda pada Operatie Product atau Agresi Militer Pertama).
Sebagaimana tulisan KH Hasyim Asy’ari, ada menyinggung tentang Syiah misalnya, tidak bisa dilihat dari aspek intrinsik tekstual an sich, melainkan dari ekstrinsik dan kontribusinya bagi budaya bangsa saat itu. Pun, keterlibatan Hadratussyaikh di antara NU dan Masyumi secara kronik dan diakronik, ketika terjadi tarik menarik realitas sejarah di dalamnya.
Maka, tidak salah pula utuk menelusuri karakter kuat Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai seorang Syafi’ian sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Hassan (1887-1958) Bandung, tokoh Persis yang pernah belajar di Pesantren Tebuireng. Latar belakang demikian cukup menjadi alasan untuk memaknai Hadratussyaikh sebagai “sebuah teks” tidaklah bermakna tunggal.
Untuk merekonstruksi sebuah sistem berpikir memang memerlukan waktu dan proses yang tidak sebentar. Maka, tidak heran, jika Rasulullah Saw menyebut akan akan lahir seorang mujaddid setiap seratus tahun sekali. Secara “letterleijke“, makna hadis tersebut kurang lebih demikian. Adapun hadis tentang mujaddid tersebut sebagaimana disebutkan dalam Sunan Abu Daud:
إنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهذهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا
“Sesungguh Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun seseorang yang memperbaharui agamanya.”
Sebelumnya, merujuk pada hadis tersebut, terdapat kutipan komentar Imam Al-Suyuthi dalam kitab Ghayah Talkhis al-Murâd fî Fatawa Ibn Ziyâd yang menyatakan; “Hadis ini masyhur dengan riwayat para hafiz penghafal hadis yang mu’tabar. Adapun mujaddid pada abad pertama (hijriyah) adalah Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz, pada abad ke-2 adalah Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, pada abad ke-3 terdapat Ibnu Suraij atau Imam al-Asy’ari, pada abad ke-4 adalah Al-Shaûlki atau Imam Abu Hamid Al-Isyfirayayni atau al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillâni.
Pada abad ke-5 ada Imam Abu Hamid Al-Ghazali dengan tanpa ada perselisihan mengenai siapa yang menjadi mujaddid ketika itu. Pada abad ke-6, Al-Fakhru Al-Râzi atau imam Al-Râfi’i. Pada abad ke-7 diawkili Ibnu Daqîq al-‘Ayd, pada abad ke-8 Al-Bulqiniy atau Zainuddin Al-‘Irâqi atau Ibnu binti Malîq, dan guru kami, Syaikh Al-Thanbadawi mengingkari bahwa Syekh Zakariya adalah Mujaddid di abad ke-9, dan Imam Al-Suyuthi menyandarkan predikat mujaddid kepada dirinya sendiri, dan tidak diragukan lagi manfaat yang ditebar oleh Syekh Zakariya lebih banyak dan lebih masyhur, maka ia adalah seorang mujaddid.
Selanjutnya, Imam Ibnu Ziyâd berkata: “Dan berdasarkan apa yang kami dapatkan dari guru-guru kami, bahwa mujaddid pada abad ke-10 adalah Syaikh Ahmad bin Hajar Al-Khaitami atau Imam Muhammad Al-Ramli, sebagian ulama menguatkan pendapatnya kepada Imam Al-Ramli sebab Imam Ibnu Hajar Al-Khaitami wafat sebelum penghujung seratus tahun.
Mujaddid pada abad ke-11 Sayyid Al-Quthb ‘Abdullah bin ‘Alawy Al-Haddad ‘Alawi, dan sesudahnya adalah Al-Quthb Ahmad bin ‘Umar bin Smith ‘Alawi, dan ia sampai pada awal abad ke-13. Sementara memasuki abad ke-15, belum ada ulama yang menerangkan atau menyepakati mujaddid pada abad ke-14 maupun ke-15.
Dari kronologi periwayatan tersebut, mujaddid yang dimaksud adalah melalui jalur Mazhab Syafi’i. Padahal, redaksi hadis tersebut bermakna universal untuk semua kalangan mazhab, tidak hanya satu mazhab saja. Tentu, pada mazhab-mazhab yang lain telah juga membuat evaluasi yang sama.
Dan, yang menjadi pertanyaan: mengapa pada abad ke-14 dan ke-15 tersebut belum memunculkan nama mujaddid juga?
Qanun Asasi NU merupakan sebuah akumulasi ide atau gagasan Hadratussyaikh yang paling monumental. Hal ini sebenarnya dapat dijadikan sebagai dasar Hadratussyaikh bisa dipandang sebagai seorang mujaddid.
Pidato singkat yang tertulis pada Qanun Asasi NU tersebut tersebut dapat dijadikan sebagai landasan berpikir bagi warga Nahdlatul Ulama (NU) yang disertai dengan ketaatan-ketaatan warganya dalam menjalankannya. Dengan kata lain, Hadratussyaikh, Qanun Asasi NU, dan masyarakat adalah satu kesatuan sistem sebagaimana Negara, UUD 1945, dan masyarakat bangsa Indonesia. Tidak dapat dipisah-pisahkan.
Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari adalah penulis produktif yang terlahir dalam suasana negeri sedang mengalami masa transisi revolusi menuju kemerdekaan. Masa yang sama dialami oleh dunia muslim pada umumnya. Masa ketika wilayah sudah mulai membentuk ke dalam satu kesatuan negara kolonial yang kemudian menjadi negara bangsa (nation state) yang merdeka, berdaulat, dan berdiri sendiri.
Syaikhuna Muhammad Khalil Bangkalan memiliki firasat yang tajam atas proses yang sedang dan bakal terjadi kala itu. Syaikhuna menarik ke dalam sudut rasional agar politik umat Islam Indonesia tidak seluruhnya tersedot ke dalam arus Islam ideologi ala Komite Khilafah yang sedang gencar digalakkan di Mesir atas prakarsa Raja Fuad.
Sementara di tanah air sendiri, sejak terbentuknya pemerintahan Hindia Belanda, sistem perwakilan melalui parlementer (volksraad) mulai dijalankan. Sikap rasional Syaikhuna Muhammad Khalil Bangkalan tersebut memberi inspirasi agar umat Islam Indonesia membentuk satu barisan rasional untuk menyalurkan aspirasi mereka.
Memang, mencari titik tolak pemikiran Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari yang fundamental terasa amat sulit dipilah, sebab terlalu banyak letupan-letupan. Misalnya, apakah titik tolak pemikiran Hadratussyaikh berangkat dari berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 beserta landasan Qanun Asasinya?.
Apakah sejak Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) 1935 di Banjarmasin yang turut mengesahkan model negara Darus Sulh (menerima model negara Hindia Belanda)?
Ataukah sejak Resolusi Jihad 1945 dan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Purwokerto pada 1946?
Titik tolak demikian yang dapat menempatkan posisi Hadratussyaikh sebagai seorang pemikir dan peletak dasar berbangsa, bernegara, dan beragama bagi masyarakat Indonesia. Dan, ini harus terus digali.
Roland Barthes (1915-1980), seorang filsuf, kritikus sastra, dan semiolog Perancis yang paling eksplisit mempraktikkan semiologi Ferdinand de Saussure (1857-1913), bahkan mengembangkan semiologi itu menjadi metode untuk menganalisis kebudayaan telah memberi gambaran bagaimana menghidupkan sosok yang “sudah mati”.
Artinya, bagaimanakah cara membaca sebuah teks redaksi dapat hidup atau seorang aktor sejarah untuk dihidupkan kembali sosoknya?
Hal ini dapat diterapkan ketika membaca Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Misalnya, ketika ditanya tentang aliran tarekat apa yang dilakoni oleh Hadratussyaikh, sementara Hadratussyaikh tidak terang-terangan menyebutkan dirinya bertarekat?
Pembaca dapat melihat dari sosok KH Adlan Aly, muridnya, yang melakoni tarekat itu. Jejak tarekat Hadratussyaikh dapat dilihat dari sosok KH Adlan Aly. Karena, KH Adlan Aly-lah yang mengimplementasikannya.
Begitu pula, apakah benar Hadratussyaikh seorang Syafi’ian?
Pembaca dapat melihat kepada Pondok Pesantren Al-Falah Ploso dan Pondok Pesantren Lirboyo, ketika KH Djazuli Usman dan KH Abdul Karim mereduksi kurikulum Hadratussyaikh untuk diterapkan di pesantren keduanya.
Baca Juga : Pondok Pesantren Al-Falah Ploso dan KH Hasyim Asy’ari
Bagaimanakah relasi pandangan KH Hasyim Asy’ari terhadap kalangan Syiah dan Sunni?.
Hal demikian dapat dilihat dari cara pandang Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) tentang tradisi dan budaya Syiah. Dalam aspek kesenian dan budaya, dapat dilihat respek Hadratussyaikh terhadap sosok ludrukan Asmu’i, ayah pelawak Asmuni.
Pada aspek dan pandangan politiknya, dapat dilihat pada sosok KH Abdul Wahid Hasyim, KH Mahfudz Siddiq, KH Abdul Madjid (ayah Prof Dr M Nurcholish Madjid), atau KH Abdul Wahab Chasbullah sendiri. Pada aspek tekstualitas hadis dan Ushul Fiqh yang menjadi fan Hadratussyaikh, dapat dilihat dari sosok KH Syansuri Badawi. Dan, masih banyak tokoh-tokoh lain yang representatif.
Dengan kata lain, orang-orang yang pernah hidup dalam lingkaran atau konteks di dalamnya dapat dijadikan sebagai teks sekunder di dalam memahami respon dan respek Hadratussyaikh. Bahkan, dalam konteks yang ditemukan oleh Ahmad Faozan: KH Ahmad Sobari adalah sosok yang “pintar” atau sedikit “ndukun”, dapat berarti Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari pun sebetulnya pandai dalam hal demikian.
Demikian pula, visi-visi kebangsaan dan militer Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari dapat terlihat pada sosok Ir Soekarno dan Jenderal Soedirman. Masih banyak makna-makna yang bisa digali dari orang-orang di sekitarnya atau yang memiliki relasi dengannya untuk merekonstruksi sosok dan pemikiran Hadratussyaikh sehingga menjadi sebuah teks yang utuh.
Relevansi Hadratussyaikh setelah dimaknai secara utuh demikian pada bahasan mujaddid tersebut baru dapat digambarkan secara teoretik ketika Musyawarah Alim Ulama dan Konferensi Besar PBNU di Bandarlampung pada 1989 yang memberi jalan bagi metodologi ijtihad mazhabi.
Artinya, seorang mujaddid tidak dapat dipandang dari sudut ijtihad qawli (maknawi) saja, melainkan ada pula mekanisme ijtihad mazhabi (falsafi), yang sekarang berlaku dalam kurikulum mata pelajaran di Pesantren Tebuireng. Sementara pesantren-pesantren salaf pada umumnya masih berpegang pada ijtihad qawli melalui metode qiyas dalam media forum-forum Bahtsul Masail. Wallau a’lam bish-shawwab.
Oleh: M. Sakdillah