Buku Teologi Muslim Puritan Genealogi dan Ajaran Salafi awalnya adalah disertasi Abuya Arrazy Hasyim di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2017 lalu. Buku ini menyajikan secara mendalam pembahasan tentang kelompok Salafi. Promotornya saat itu yaitu Prof Dr Azyumardi Azra, MA, CBE dan Prof Dr H Yunasril Ali, M.A.
Dalam buku ini dijelaskan jika Salafi sebagai aliran teologi yang puritan, terbukti mempunyai geneologi yang terhubung kepada generasi Salafi, terutama kepada sosok Ahmad bin Hanbal. Puritanisme Salafi bukanlah tanpa sebab dan latar belakang. Gerakan pemurnian mereka dilatarbelakangi penyiksaan dan penganiyaan yang juga disebabkan oleh doktrin teologi “resmi” yang berseberangan. Kebangkitan Salafi untuk pertama kali telah dimulai sejak masa Ahmad bin Hanbal, dengan dukungan penguasa pada masanya, yaitu Khalifah al-Mutawakkil.
Lalu, mengalami kebangkitan kedua kalinya pada masa Ibnu Taimiyah, tetapi tidak mendapat restu dari penguasa dan kebanyakan ulama semasanya yang berhaluan Asy’ariyah. Terakhir, kebangkitan Salafi ditandai dengan pergerakan Muhammad bin Abdul Wahhab yang maju dengan dukungan penguasa. Apabila “istana” telah menjadi basis dari suatu ajaran teologi, maka aliran dan kelompok lain akan disingkirkan.
Syaikh Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali dakwah tauhid dalam masyarakat dan cara beragama sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ dan para sahabat. Para pendukung gerakan ini menolak disebut Wahabi, karena pada dasarnya ajaran syekh Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb adalah ajaran Nabi Muhammad ﷺ, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafiyun (mengikuti jejak generasi salaf) atau Muwahhidun yang berarti “Mengesakan Allah”.
Nama Wahabi atau al-Wahhabiyyah kelihatannya dihubung-hubungkan kepada nama ‘Abdul Wahhab yaitu penggagas gerakan ini, syekh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-Najdi. Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb mengikat perjanjian dengan Imam Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd. Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi politik, sementara Syaikh Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar “keluarga kerajaan” negara Arab Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga syekh Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb misalnya syekh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baaz.
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mulai mengajak ulama lainnya untuk menyuarakan kesalahan umat muslim saat itu yang mengikuti tradisi-tradisi sufi yang banyak bertentangan dengan Ajaran islam itu sendiri. Dengan dibantu Imam Muhammad Bin Saud (raja Arab Saudi), maka pemerintahan Saudi pun saat itu mulai menghancurkan setiap tempat kesyirikan.
Salafi dengan ijtihad Ibnu Taimiyah benar-benar berhasilkan merumuskan tiga tauhid yang menjadi ajaran teologi dengan argumentasi yang kuat dan mengakar. Seorang atau kelompok atau institusi tidak sah disebut sebagai Salafi tanpa menganut tiga pilar tersebut. Trilogi tauhid tersebut adalah tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wa shifat.
Arrazy menarik masalah akidah ini dalam konteks kenusantaraan, secara filologis trilogi tauhid tersebut tidak pernah muncul dalam karya-karya teologis ulama terdahulu, terutama dari abad 16 sampai abad 19 Masehi. Doktrin tersebut ditransmisikan oleh tokoh-tokoh keagamaan yang pernah mengenyam pendidikan di Arab Saudi pasca tahun 1960-an. Ini bertambah kuat dengan Lembaga-lembaga Salafi yang dibangun di berbagai negara, tanpa terkecuali Indonesia.
Penulis: Dr. Arrazy Hasyim, MA.
Penerbit: Maktabah Darus-Sunnah
Tebal: 340 halaman