tebuireng.co – Salafi dan trilogi tauhidnya, tauhid Uluhiyah, Rububiyah, dan Al-Asma’ wa Sifat populer di media sosial. Pemikiran tentang ketiga tauhid ini banyak dibahas oleh tokoh-tokoh salafi di berbagai belahan dunia lewat media sosial mereka masing-masing.
Sejak zaman salafussalih, umat Islam mengenal makna tauhid dengan, “Meyakini Allah swt sebagai satu-satunya Tuhan yang patut disembah”, tidak lebih dan tidak kurang. Seorang muslim yang bersyahadat, mengakui tiada tuhan selain Allah swt dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT maka ia sah menjadi seorang Muslim. Ini berdasarkan hadis Nabi saw:
أمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتىّ يَشْهَدُوْا أنْ لاَ إلهَ إلاّ اللهُ وَأنّيْ رَسُوْل اللهِ، فَإذَا فَعَلُوْا ذَلكَ عُصِمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وأمْوَالَهُمْ إلاّ بِحَقّ
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (Ilâh) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya (Nabi Muhammad) adalah utusan Allah. Jika mereka melakukan itu maka terpelihara dariku darah-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali karena hak”. (HR. Bukhari Muslim).
Dalam Hadis lain, Nabi saw bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلامِهِ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa mengucapkan Lailaha Illallah pada akhir hidupnya, maka ia masuk surga.” (HR. Abu Dawud).
Namun, dalam tauhid salafi/wahabi, mereka menyatakan bahwa, “Percaya kepada Allah swt sebagai satu-satunya Dzat yang patut disembah” saja itu tidak cukup. Kaum Wahabi berpendapat bahwa tauhid terbagi menjadi tiga bagian; tauhid Uluhiyyah, tauhid Rububiyyah, dan tauhid Asma wa Sifat.
Tidaklah dianggap cukup keimanan seseorang kecuali jika meyakini ketiga tauhid Wahabi tersebut. Ibnu Taimiyah, ulama panutan Wahabi menyatakan dalam Risalah Ahlish-Shuffah, “ Tauhid Rububiyyah saja tidak cukup dan tidak menghilangkan kekufuran.”
Baca Juga: Membongkar Salafi dan Wahabi
Hal ini karena menurut Wahabi, jika hanya percaya pada keesaan Allah SWT saja maka setiap orang kafir pun juga percaya. Menurut Ibnu Taimiyah, Tauhid Rububiyyah ini telah diyakini oleh semua orang, baik orang-orang musyrik maupun orang-orang mukmin. Dalil yang dijadikan justifikasi adalah firman Allah SWT:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ لَيَقُولَنَّ اللهُ
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: Allah.” (QS. Luqman: 25)
Padahal perkataan orang-orang kafir di atas (pengakuan ketuhanan Allah) hanya di dalam mulut saja, tidak keluar dari hati mereka. Buktinya adalah mereka masih tetap menyembah selain Allah SWT, yakni berhala yang mereka buat sendiri.
Mereka berkata demikian itu karena terdesak, mereka tidak memiliki jawaban apapun untuk membantah dalil-dalil kuat dan argumen-argumen yang sangat nyata bahwa hanya Allah SWT yang berhak disembah.
Tauhid Uluhiyah merupakan bentuk ibadah hanya kepada Allah, dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Ibadah itu sendiri harus dibangun atas dasar cinta dan peng-Agungan kepadaNya.
Bagi penganut tauhid Uluhiyah, contoh konkret penyimpangan Uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya.
Sedangkan akibat dari dijadikannya tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah sebagai dua syarat tak terpisahkan bagi seseorang untuk menjadi Muslim, adalah orang yang hanya bertauhid Rububiyyah saja tidak dianggap Muslim sehingga halal darahnya untuk dibunuh. Begitu juga sebaliknya.
Salafi dan Trilogi Tauhidnya dalam catatan sejarah, Muhamad Ibnu Abdul Wahab terkenal sebagai seorang yang amat mahir dalam bidang retorika. Kemahirannya ini mengakibatkan tidak sedikit orang menjulukinya sebagai “Syaikhul Islam”. Ajarannya yang paling terkenal adalah dibidang tauhid.
Muhamad Ibnu Abdul Wahab juga membagi keyakinan tauhid menjadi dua macam: Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah. Bagi Muhamad Ibnu Abdul Wahab, tauhid Rububiyah adalah hal yang diakui baik oleh kaum Muslim maupun non-Muslim. Adapun, tauhid Uluhiyah dinilai Ibnu Abdul Wahab sebagai pembeda antara kekufuran dan keimanan.
Tokoh salafi ini menjelaskan salafi dan trilogi tauhidnya, “Hendaknya setiap Muslim dapat membedakan antara kedua jenis tauhid ini. Kaum Muslim harus tahu bahwa orang-orang kafir tidak mengingkari keberadaan Allah Swt. Sebagai pencipta, pemberi rezeki dan Pengatur.
Jika telah terbukti bagi anda orang-orang kafir mengakui yang demikian, niscaya anda mengetahui bahwa perkataan anda, ‘Sesungguhnya tidak ada yang menciptakan dan tidak ada yang memberi rezeki kecuali Allah, serta tidak ada yang mengatur urusan kecuali Allah, tidaklah menjadikan diri anda seorang muslim sampai anda mengatakan: ‘Tidak ada Tuhan selain Allah dengan mengikuti/disertai melaksanakan artinya’” (Muhamad bin Abdul Wahab, Fi Aqaid al-Islam, hal. 38).
Salafi dan triloginya dikaji banyak orang. Hal ini tak lepas dari pesatnya perkembangan kaum salafi. Bagi orang luar salafi sering juga disebut kaum Wahabi. Pemikiran model salafi ini berkembang pesat di Arab Saudi. Sebagai penguasa haramain, terkadang banyak yang berpikiran setiap yang datang dari Arab Saudi ada baik dan layak diikuti.
Setidaknya doktrin utama dalam kalangan salafi ini, terletak pada doktrin trilogi tauhid yang disistematisasi oleh Ibnu Taimiyah: tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, dan tauhid al asma’ wa sifat. Belum lagi perdebatan mengenai hal-hal terkait kedudukan Tuhan, sifat dan perbuatan Tuhan, yang akan banyak perbedaan dengan aliran akidah lainnya.
Tauhid Rububiyah, kata ar-Rab di sini dalam pandangan Wahabi diartikan sebagai Pencipta. Penerjemahan ar-Rab dengan “pencipta” adalah sesuatu yang tidak tepat. Arti kata ar-Rab, baik makna maupun penggunaannya dalam Al-Quran, tidak keluar dari arti “Yang memiliki urusan pengelolaan dan pengaturan”. Makna umum ini, sejalan dengan berbagai macam ekstensinya, seperti pendidikan, perbaikan, kekuasaan dan kepemilikan.
Di Indonesia, keberadaan Islam salafi, menjadi sebuah perdebatan panjang di kalangan internal masyarakat Islam. Dr Arrazy Hasyim pada 2017 menulis buku “Teologi Kaum Puritan: Genealogi dan Ajaran Salafi”, Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah, menyebutkan, kaum salafi, sebagai satu aliran yang berkembang pesat di dunia Islam, memiliki runtutan ajaran akidah yang bersambung hingga para ulama terdahulu.
Pemahaman tekstual dalam membaca sumber Islam, disebutkan menjadi akar dari segala model puritanisme. Arrazy Hasyim, mengupas tiga istilah yang kerap dialamatkan kepada salafi: kaum puritan, fundamentalis, dan radikal.
Dari tiga istilah itu, kaum salafi terjebak dalam “ruang nostalgia” pemurnian ajaran Islam berdasarkan teks Al-Quran dan Hadis, serta kecenderungan arabisasi karena berpegangan kepada makna teks. Sedangkan perihal radikal, dipandang tidak terkait dengan fenomena akidah yang dianut, melainkan terkait aksi organisasi yang terkait dengan kaum salafi.
Arrazy Hasyim, menelusuri kaitan salafi dengan pemahaman akidah, sejarah persebaran, kekuasaan dan politik, serta pendidikan. akidah, meskipun adalah sebuah konsep kebertuhanan yang abstrak, memiliki pengaruh yang nyata dalam memahami model beragama Salafi.
Kaum salafi, menurut Arrazy Hasyim, merujuk model beragama mereka pada setidaknya tiga generasi pertama pasca Rasulullah SAW. Kemunculan ini lebih bersifat akidah dibandingkan persoalan fikih, meskipun tokoh utama dari aliran ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) pendiri mazhab Hanbali.
Kala itu, dunia Islam sedang berada dalam kuasa Dinasti Abbasiyah, dan paham rasionalis yang diwakili Mutazilah menjadi dominan. Karena dipandang sebagai akidah resmi negara, agaknya orang-orang rasionalis ini mendapat pertentangan keras dari kaum ahli hadis.
Negara memaksakan ajaran tersebut, dan para ulama yang bertentangan dengan keinginan negara mendapat represi. Salah satu yang merasakannya adalah Ahmad bin Hanbal.
Ahmad bin Hanbal adalah ahli hadis, yang menjadi rujukan para ulama setelahnya. Kecenderungan ahli hadis kala itu adalah antipati terhadap kaum rasionalis. Peran persebaran mula akidah kaum salafi ini mulai mencuat dari murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal.
Buku Arrazy mencatat daerah persebaran yang khas dari ajaran Ahmad bin Hanbal, yaitu di Baghdad, Khurasan, Damaskus, serta Saudi Arabia.
Tokoh-tokoh kunci seperti Ibnu Taimiyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim Al Jauziyah (w. 751 H) adalah rujukan dalam masalah akidah kaum salafi, meskipun masih banyak lainnya yang melakukan pembakuan maupun penyusunan risalah di bidang akidah.
Kaum salafi, sebagaimana mereka mengikuti Ibnu Taimiyah, menjadikan hal tersebut sebagai kaidah teologis mereka. Selain itu, akibat salah satunya kecenderungan tekstual mereka, perilaku celaan dan mengkafirkan menjadi hal yang mudah ditemui pada model ajaran salafi.
Baca Juga: Buku Teologi Muslim Puritan
Persebaran di Saudi Arabia, dipunggawai oleh Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri aliran Wahabi. Karena itulah kaum Wahabi, sangat diidentikkan–juga mendaku– sebagai orang-orang salafi. Jejaring salafi dari Saudi Arabia inilah yang banyak berpengaruh ke Indonesia.
Karya-karya ulama salafi atau wahabi seperti Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Bin Baz banyak diterjemahkan di Indonesia, serta beberapa pesantren modern mengkaji karya Shalih Fauzan dalam bidang akidah. Begitu pula ada beberapa institusi pendidikan yang berkecenderungan menganut ajaran salafi.
Arrazy Hasyim dalam bukunya, mencantumkan KH Ali Mustafa Yaqub, salah satu ulama terkemuka Indonesia dalam ilmu hadis, memiliki keterkaitan dengan ajaran salafi di Saudi Arabia, terutama dari guru-gurunya.
Namun, karena memiliki latar belakang kepesantrenan dan ke-NU-an yang kuat, Kiai Ali bersikap cenderung moderat, dan menyerukan titik temu antara kaum Wahabi dan Nahdatul Ulama (NU) dalam masalah akidah.
Patut dicermati bahwa selain ada pola yang runtut dalam persebaran ajaran salafi lewat pengajaran, ada orang seperti Nashiruddin al Albani, salah satu ulama kontemporer rujukan kaum salafi dalam bidang hadits, sebagai pengkaji otodidak dalam hadits dan teologi.
Karya-karyanya banyak digunakan dalam pemahaman “ustaz sunnah” di Indonesia, dan ia mengaku tidak bermazhab berdasarkan penelusuran mandirinya dalam hadits dan teologi. Namun, dalam beberapa poin penting, ternyata Albani juga kritis pada penyebar akidah salaf.
Terkait tauhid Asma wa Sifat. Wahabi memang menetapkan sifat-sifat Allah yang tercantum dalam Al-Quran, hanya saja mereka menolak adanya penakwilan sehingga kerap memaknai beberapa sifat yang mengakibatkan pada menjisimkan Allah. Inilah pentingnya pembahasan tentang salafi dan trilogi tauhidnya agar tidak terjadi salah paham.
Tujuannya untuk mengkafirkan orang-orang yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat Mutasyabihat. Oleh karenanya, Wahabi adalah sekte yang sangat kaku dan keras dalam memegang teguh zhahir teks-teks Mutasyabihat dan sangat “alergi” terhadap takwil.
Bahkan mereka mengatakan, “al-Mu’aw-wil Mu’ath-thil”, artinya seorang yang melakukan takwil sama saja dengan mengingkari sifat-sifat Allah. Trilogi tauhid ini menjadi akar permasalahan kaum salafi dengan orang Islam lainnya.
Alhamdulillah,…
Menurut saya tauhid nya ahli sunah wal jamaah ya esa dlm dzat, esa dlm sifat ya esa dlm asma dan esa dln af’al.
Iqtiqot aswaja,…lahir syari’at batin nya menggunakan hakikat…
Mhn pencerahan
Tks
Wass wr.wb