tebuireng.co- Sejak tahun 1970-an Gus Dur sangat gemar menganalisa dunia sepakbola. Dia seorang analis sepakbola yang piawai, analisisnya tajam, yang dituangkan dalam gaya penulisan memikat. Kegemarannya menulis ulasan sepakbola ini baru berhenti setelah mengalami gangguan penglihatan.
Publik pecinta sepakbola di Indonesia tentu akrab dengan ulasan-ulasannya di Harian Kompas sejak Piala Dunia 1990, dan terutama lagi serial tulisannya yang mengulas pertandingan-pertandingan pada Piala Dunia 1994.
Seperti yang direkam oleh Manuel Kaisiepo dalam artikelnya Gus Dur dan Sepakbola yang merangkum ulasan-ulasan Gus Dur tentang sepakbola di Harian Kompas. Misalnya, dalam “Mengendalikan, Tetapi Kalah” (Kompas, 19 Juli 1994), Gus Dur mengulas secara apik pertandingan final Brazil vs Italia. Jalannya pertandingan dikuasai Italia, tapi akhirnya Brazil menang 3 – 2 melalui tendangan pinalti (setelah imbang 0 – 0). Sekalipun Brazil menang, namun menurut Gus Dur, strategi bertahan ala pelatih Carlos Alberto Parreira membuat partai final ini kurang menarik.
“Pertandingan final Piala Dunia 1994 ternyata merupakan kebalikan dari perkiraan orang. Bukannya permainan menyerang yang tuntas dipertontonkan, melainkan serangan setengah hati yang dibiarkan pudar begitu tampak ada risiko serangan balik dari pihak lawan”, tulis Gus Dur.
Dia melanjutkan:
“…..yang ditakutinya (maksudnya Parreira) sudah tentu kemungkinan serangan balik tiba-tiba dan efektif dari Italia. Apalagi di ujung tombak ada Roberto Baggio dan Daniel Massaro.
“….reaksi sangat ber-hati-hati dari Parreira ini adalah contoh klasik dari psikologi ketakutan (psychology of fear) yang menghinggapi pengambil keputusan di bidang apapun, di saat-saat menghadapi situasi kritis….”, tulis Gus Dur.
Baca juga: Cerita Ringan Tentang Gus Dur
Gus Dur memang gemar bahkan “gila” bola sejak kecil, sejak masih mondok di Pesantren. Kegemarannya ini semakin meningkat ketika dia kuliah di Mesir, salah satu negara di Afrika yang rakyatnya juga “gila” bola.
Saat ini Mesir adalah peserta Piala Dunia 2018, walaupun akhirnya tersisih. Bintangnya Mohamed Salah, pemain Liverpol FC dengan nilai transfer £ 39 juta!
Gus Dur senang bola, sama seperti dia menyenangi musik klasik: Mozart, Bach, Chopin, Schubert, dan terutama Beethoven. Dari semua itu, dia amat menyukai Symphoni 9 in D minor dari Beethoven. Tentu, karena 5 tahun tinggal di Mesir, Gus Dur juga menyukai lagu-lagu Ummi Kaltsum!
Bukan Gus Dur namanya kalau melihat sepakbola sebagai olahraga belaka. Dia mampu melihat eksistensi olahraga ini dalam spektrum yang lebih luas, menyangkut dimensi-dimensi lain seperti ekonomi, politik, kultur, dan lainnya.
“Sungguh merupakan pelajaran yang sangat berharga tentang keteguhan melaksanakan sebuah strategi yang diramu dengan kematangan taktik yang sangat dinamis. Kita yang cenderung melihat strategi dan taktik dalam pola dan dosis yang tetap, bisa saja terkecoh oleh kejutan yang sebenarnya tidak perlu mengagetkan.” Tulis Gus Dur di harian Kompas, kamis 14 Juli, 1994.
Seperti kritiknya kemudian terhadap kualitas Piala Dunia 1994, dia juga menilai permainan sepakbola pada Piala Dunia 1990 tidak sebaik dibandingkan pertandingan-pertandingan Piala Dunia sebelumnya.
“Secara keseluruhan Piala Dunia 1990 menunjukkan kualitas lebih rendah bila dibandingkan dengan dua Piala Dunia sebelumnya….”
“Keterampilan individual tinggi ternyata tidak diimbangi dengan seni olah bola dan strategi brilian. Penurunan kualitas dua bidang itu juga diperburuk oleh penampilan emosional banyak pemain”, tulis Gus Dur.
Bagi Gus Dur, ukuran kemenangan dan kekalahan adalah relatif dalam pertandingan yang membawa nama negara, seperti diungkap dalam tulisannya, “Antara Kebanggaan dan Kekecewaan” (Kompas, 18 Juli 1994).
Dia mencontohkan Mesir yang dalam Piala Dunia 1990 mampu menahan imbang Belanda 0 – 0, padahal saat itu Belanda diperkuat trio van Basten, Ruud Guliit, dan Frank Rijkaard.
Walaupun Mesir tidak lolos ke babak selanjutnya, tapi prestasi ini sungguh membanggakan bagi rakyat Mesir. Tak heran Presidrn Hosni Mubarak langsung mengumumkan hari esoknya sebagai hari libur nasional!
Sebaliknya Gus Dur juga menyoroti kekecewaan yang dialami rakyat dari dua negara raksasa bola, Jerman dan Argentina yang kalah justru dari negara-negara yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Jerman dikalahkan Bulgaria 1 – 2, sedangkan Argentina dikalahkan Rumania 2 – 3.
Gus Dur menulis:
“Kekecewaan akibat kekalahan yang tidak seharusnya diderita, dan kebanggaan dapat membuktikan validitas strategi permainan yang dianut tim. Dari hal seperti itu, bukankah kita akan diperkaya dalam pemahaman kita tentang kehidupan manusia oleh sesuatu yang terjadi di lapangan sepakbola? Sepakbola merupakan bagian kehidupan atau sebaliknya, kehidupan manusia merupakan sebuah unsur penunjang sepakbola?” ungkapnya di Kompas, Senin, 18 Juli 1994.
Begitupun dengan ulasannya di media yang sama pada 21 Juni 1992yang mengulas hal-hal mendasar yang dibutuhkan bagi sebuah tim
“Ketegaran dan konsistensi kualitas memang merupakan persyaratan bagi penampilan prima sebuah tim. Tetapi tanpa inovasi mendasar, tidak banyak perkembangan yang diharapkan”
“Antara keyakinan dan keuletan itulah akan kita lihat mana yang dapat menenangkan pertandingan” lanjutnya.
Artikel Gus Dur Dimuat ulang dalam buku, Gus Dur dan Sepakbola: Kumpulan Kolom Gus Dur Tentang Sepakbola, ed. Mustiko Dwipoyono, dkk, Surabaya, Imtiyaz, 2014.
Baca juga: Sederhananya Pusara Gus Dur