Seorang konten kreator media sosial, Guru Gembul, dalam konten di kanal YouTube-nya memberikan kritik terhadap kitab Fathul Izar dan kitab Ta’lim Muta’allim yang cukup banyak dikaji oleh sejumlah pesantren di Indonesia. Ia menyoroti bahwa anggapan kitab tersebut sebagai kiblat ilmu; Fathul Izar sebagai kamasutra dalam Islam, dan Ta’lim Muta’allim sebagai kitab sakral pendidikan Islam, menurutnya tidak bisa dibenarkan seratus persen.
“Salah satu yang mencolok ialah kitab Ta’lim Muta’allim. Kitab Ta’lim Muta’allim itu siapa penulisnya, riwayatnya tidak jelas, kapan dia dilahirkan dan meninggal juga tidak jelas, tapi kitab ini dipuja dan dijadikan pedoman. Sebelum orang-orang pesantren belajar apapun, dia pasti belajar kitab ini dulu. Tentang adab. Apakah adab terhadap guru itu seperti itu yang dijelaskan dalam Islam? Tidak semuanya seperti itu. Itu adalah sebagian kecilnya. Lebih banyak cerita patronasi budaya pada waktu itu, daripada menceritakan adab pada guru yang sesungguhnya,” kata Guru Gembul.
Ia berpendapat, tetapi itu dipakai sampai sekarang dan penulisnya dianggap sebagai bapak pendidikan Islam dan akhirnya pendidikan Islam berpola seperti itu, tidak berkembang. Ketika peradaban-peradaban lain berkembang dengan psikologi pendidikan, manajemen pendidikan, kita masih terjebak dengan metode pendidikan masa lalu hanya gara-gara kitab ini dianggap sebagai kitab sakral yang menjadi bagian dari Islam.
Padahal, ini produk budaya, bisa ditolak dibantah dan didiskusikan. Kalau misalnya kita menolak kitab ini, bukan menjadi masalah. Tidak dosa, karena ini bagian dari produk kebudayaan manusia di masa lampau. Jadi, orang-orang Islam sekarang itu banyak sekali menyakralkan kitab-kitab ini dan itu. Padahal, kitab ini dan itu yang hanya karena berbahasa Arab atau ditulis orang Arab, bukan berarti itu menjadi kitab Islam. Kalau mau, yang kita sakralkan hanya Qur’an dan hadis saja dan dalam ruang lingkupnya.
“Gunakan metode-metode yang lebih ilmiah dan empiris menggunakan apa yang dikaji sekarang,” tandasnya.
Masih Relevankah Kritik Guru Gembul?
Bagi penulis, kritik itu terhadap kitab Ta’lim Muta’allim cukup membabi-buta, tidak terarah, dan tidak ilmiah sama sekali. Kalau kita cermati, di pesantren tidak ada yang menyakralkan kitab-kitab selain Al-Qur’an dan Hadis. Karena Al-Qur’an dan hadis dari sisi keilmuan memang dijaga keasliannya dan berasal dari wahyu.
Kitab Ta’lim Muta’allim memang dipelajari di pesantren, tetapi tidak serta merta ia menjadi doktrin yang kaku. Lihat saja, pada perkembangannya tidak sedikit ulama dari pesantren mengarang kitab-kitab selaras tentang ilmu adab, misalnya Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dengan Adabul ‘Alim wa al-Muta’allim-nya yang menjadi versi upgrade dari kitab itu.
Bisa kita lihat argumen dari Guru Gembul, seakan mengindikasi bahwa kitab adab itu seratus persen pendapat dari penulisnya. Padahal, sebenarnya ada landasan dalil di dalamnya, atau bahasa lainnya ada benang merah dari hadis tentang adab yang dituangkan dalam bentuk syarah (penjelasan). Maka, karena alasan tersebut, di pesantren tidak meninggalkan begitu saja untuk mempelajari kitab Ta’lim Muta’allim.
Selanjutnya, kitab-kitab karya tulis para ulama memang bersifat zhonni (dugaan), sehingga sangat terbuka untuk pembaca mendiskusikan isinya. Apalagi persoalan yang berhubungan dengan hukum fikih, ia akan dinamis untuk dibahas sesuai perkembangan zaman. Kritik Guru Gembul hanyalah kritik di permukaan, karena menganggap orang pesantren sebagai kaum yang jumud atau kaku. Padahal, faktanya banyak sekali sarjana pendidikan dan tokoh-tokoh lulusan pesantren yang menempati posisi strategis di banyak bidang. Penulis tidak mengulas panjang soal tokoh-tokoh ini, tetapi secara spirit, keilmuan di pesantren memang terus berkembang.
Maka, sebagai muslim, khususnya orang pesantren, janganlah merasa malu masuk pada bidang keilmuan di luar tema-tema agama. Misalnya, dalam bidang teknologi, sains, teknik, kesehatan, dan lainnya. Sehingga pada akhirnya penilaian bahwa orang muslim dalam kemunduruan ialah kritik yang tidak mendasar dan salah. Semoga bermanfaat.
Penulis: M Sutan Alambudi
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: 6 Kunci Sukses Menuntut Ilmu menurut Ali bin Abi Thalib