Sederhananya pusara Gus Dur sejatinya secara fisik-infrastruktur jauh dari makam-makam presiden RI yang telah wafat. Makam Gus Dur di Pesantren Tebuireng bisa dikunjungi setiap hari.
Tidak di area yang letaknya tinggi, dimakamkan di makam khusus pejabat negara, maupun dihiasi ornamen lainnya. Bahkan Makam Gus Dur terletak di dataran rendah Jombang, area Pesantren Tebuireng.
Institusi pendidikan Islam di mana santri menggali ilmu agama. Area makam Pesantren Tebuireng dipilih sebagai tempat akhir persemayaman tokoh plural ini bersebelahan dengan makam leluhurnya KH Hasyim Asy’ari dan KH A Wahid Hasyim sebagai perintis perjuangan kemerdekaan dan agama.
Makam Gus Dur hanya dikelilingi oleh batu batako yang disusun melingkar dengan dibatasi pagar besi yang mengelilingi area makam.
Makam Gus Dur dan yang lain hanya dihiasi taburan bunga-bunga beraneka macam warna nan harum. Peziarah pun banyak tercengang melihat bagaimana sederhananya makam seorang presiden, ulama, universalis, tokoh bangsa.
Baca Juga: Makam Ulama Jombang
Banyak yang bertanya kenapa tidak dibangun layaknya makam presiden lain. Keluarga mendiang Gus Dur sendiri berpesan agar tidak dibangun kijingan maupun bangunan khusus untuk makam Mas Dur (panggilan akrab Gus Dur).
Kesederhanaan ini justru menjadi pembelajaran bagi masyarakat, bahwa manusia harus hidup sederhana, saling mengasihi, dan memberi manfaaat.
Kezuhudan (kesederhanaan) sosok Gus Dur telah banyak diketahui publik, sehingga wajar sederhananya pusara Gus Dur hari ini dan dikunjungi ribuan orang setiap harinya.
Kita ingat bagaimana Gus Dur ketika masih menjabat presiden RI dan diturunkan oleh parlemen, keluar dari istana negara seraya melambaikan tangan menyapa rakyatnya dengan kaos oblong, celana pendek, dan bersandal selop warna putih.
Nilai-nilai kesederhanaan Gus Dur secara eksplisit dilihat ratusan juta pasang mata yang menonton detik-detik Gus Dur dikawal menyapa loyalis yang berada di luar Istana.
Shalawat Badar menggema, jutaan Fatihah pun tak luput dibacakan saat Gus Dur dilengserkan oleh wakil rakyat pada masa itu.
Gus Mus (KH Mustafa Bisri Rembang) mengakui bahwa Gus Dur seorang yang zuhud, bahkan tidak pernah punya dompet maupun ATM.
Ketika Gus Mus sowan ke Gus Dur dan melihat tas kresek berisi uang, Gus Mus dengan basa- basi bertanya:
“Apa isi tas kresek itu? Gus Dur menjawab dengan anekdotnya “Ah kamu ingin tahu aja”. Lalu Gus Mus dan Gus Dur pun saling senyum meriah.
Padahal orang yang memiliki uang banyak akan meyimpannya di dalam koper atau tas khusus.
Pastinya ada banyak cerita bagaimana sosok Gus Dur masih rendah hati dengan menjalani hidup sederhana.
Salah satu hobi sederhananya adalah ziarah ke makam-makam auliya dan ulama tanpa banyak orang yang tahu.
Ketika ziarah ke makam leluhurnya di Pesantren Tebuireng pun tak banyak orang yang tahu kapan beliau tiba, karena Gus Dur suka dating mendadak.
Gus Dur memang dikenal lebih senang “berwisata batin” ke makam-makam hingga pelosok kampung.
Ketika banyak orang bertanya mengapa Gus Dur suka berziarah ke makam-makam, Gus Dur berpendapat bahwa alasan beliau ziarah ke makam-makam, karena mereka yang sudah wafat tidak mempunyai kepentingan (dunia) lagi.
Addakhil, Wafat namun masih Menyejahterakan Ekonomi Rakyat
Di balik kesederhanaan makam Gus Dur, justru makin banyak peziarah datang dari waktu ke waktu. Hal inilah kemudian menumbuhkan geliat ekonomi masyarakat seiring makin banyaknya peziarah yang datang.
Pasar kaget bermunculan hingga masyarakat sekitar menamakan Kawasan pasar Gus Dur. Mulai dari oleh-oleh khas, sandang, maupun makanan ringan lainnya dijual.
Sehingga banyak yang beranggapan dengan anekdot “Gus Dur Wafat namun menghidupi banyak orang” karena ikut menyejahterakan masyarakat sekitar Kawasan makam Gus Dur.
Gus Dur yang bernama lengkap Abdurrahman Wahid Addakhil yang artinya Abdurrahman Wahid Sang Penakluk memang membuktikan dirinya menjadi penakluk, penakluk hati rakyat layaknya perintis Dinasti Umayyah yang menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol.
Pengorbanan Gus Dur sepatutnya tak hanya dikenang, namun perlu dicontoh bagaimana Gus Dur berjuang demi kemanusiaan dan keadilan bagi sesama.
Oleh: Lutfi Bahruddin, Penggiat Kajian Pesantren, Sekretaris Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng (UPPT).