Kamis, 24 Dersember 2009, Gus Dur berkunjung ke Rembang, menemui sahabat terdekatnya yang juga paman saya, Kiai Mustofa Bisri . Seperti biasa, saya pun ikut menemui. Di ruang tamu paman saya siang itu, tiga orang menemaninya mengobrol: paman saya, saya dan Kiai Manshur Hafidh, adik salah seorang sahabat lama Gus Dur yang belum lama meninggal, Kiai Wahab Hafidh. Bu Nur (Ibu Shinta Nuriyah) di pojok lain ruangan yang luas itu, mengobrol dengan Bulik Siti (Ibu Siti Fatmah, istri paman saya) dan Pak Dhe Kih (Kiai Faqih Kusuma, paman saya yang lain) yang adalah teman sekolah Gus Dur di Yogyakarta dulu.
Para pendherek yang lain duduk agak menjauh dari kedua, termasuk-di antara yang saya kenali-Aris Junaidi dan Gus Hayatun. Sulaiman, pembantu pribadi Gus Dur yang nyaris tak pernah lepas dari sisinya, bahkan nongkrong di emperan rumah bersama para ajudan, polisi-polisi dan banyak orang lain yang tidak begitu saya kenal. Berbicara dengan suara lemah, hampir berbisik, saya yakin tak ada selain kami bertiga (saya, Kiai Mustofa, dan Kiai Manshur) yang bisa mendengar pembicaraan Gus Dur.
Di antara yang saya ingat benar tentang hari itu adalah kisah Gus Dur tentang mimpi seseorang. Rincian mimpi itu sendiri tidaklah terlalu penting, karena–saya tahu–itu hanyalah intro, pintu masuk bagi Gus Dur untuk mengatakan apa yang ingin ia katakan. Yang ia katakan adalah penafsirannya atas mimpi itu:
“Kalau soal syari’at dan akhlak, imamnya Mbah Hasyim (Asy’ari–dan jelas bukan Muzadi), tapi kalau soal politik, imamnya saya … harus ikut saya….”
Terus terang, saya tergetar mendengarnya. Saya paham betul, ungkapan itu ditujukan langsung kepada saya. Ia tahu, hanya kami bertiga yang duduk mendekat dan mendengar pembicaraannya, dan ia juga tahu benar, hanya sayalah mustahiqqul khithab (yang patut disasar) dengan ungkapan itu. Paman saya dan Kiai Manshur jelas-jelas bukan orang politik, dan mereka berdua tidak pada kedudukan “Di bawah perintah Gus Dur” seperti saya.
Bagaimana saya memahami “perintah” itu?
Terus terang, pada mulanya sepintas saya mengira Gus Dur memerintahkan saya bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) versi Muktamar Parung, menyertai Yenny, putri Gus Dur. Namun, Gus Dur wafat tepat seminggu kemudian. Setelah saya renung-renungkan kembali keseluruhan pembicaraan Gus Dur hari itu, cara Gus Dur mengatakannya, pilihan-pilihan ungkapannya, air muka Gus Dur dan suasanya yang ia bangkitkan, saya merasa mendapati pertanda-pertanda bahwa segala perkataan Gus Dur hari itu adalah ucapan-ucapan seseorang yang telah memendam firasat.
Lebih-lebih setelah saya dengar pula kisah dari Nyai Sholihati (Ibunda Saifullah Yusuf) dan cerita Gus Irfan Wahid (putra Gus Sholah) perihal keadaan Gus Dur sesampainya di Jombang setelah dari Rembang.
Nyai Sholihati menceritakan, betapa di tengah perjalanan menuju rumah sakit di Surabaya tiba-tiba Gus Dur ngotot minta kembali ke Jombang karena hendak berziarah ke makam ibundanya, Nyai Sholihah Wahid. Sedangkan Gus Irfan menceritakan ucapan Gus Dur sebelum itu:
“Tanggal 31 nanti saya ke sini lagi!” (Kamis, 31 Desember 2009, adalah hari pemakaman beliau).
Maka saya pun memperoleh “sudut pandang baru” yang saya rasa lebih tepat. Pemahaman saya dari sudut pandang baru itu adalah sebagai berikut:
Dengan mengatakan, “Kalau soal syari’at dan akhlak, imamnya Mbah Hasyim (Asy’ari),” Gus Dur menegaskan bahwa ia tidak pernah berpretensi menjadi panutan dalam hal syari’at dan akhlak. Lebih-lebih bagi warga Nahdlatul Ulama (NU), panutan itu telah tetap: Hadlaratussyaikh M Hasyim Asy’ari, Rais Akbar, pendiri Nahdlatul Ulama, tak ada yang lain. Sebaliknya, Gus Dur jelas-jelas minta diikuti dalam hal politik. Masalahnya, “ikut” yang seperti apa?
Baca Juga: Profil Gus Dur di Al-Azhar
Saya yakin Gus Dur tidak bermaksud memerintahkan saya bergabung dengan PKB Parung. Bukan saja karena keyakinan bahwa ungkapan itu dinyatakan dalam bayang-bayang firasat, tapi juga karena saya kemudian teringat riwayat hubungan saya dengan Gus Dur sendiri selama ini. Saya pernah teramat dekat dengan Gus Dur, yaitu sejak saya ditunjuk menjadi salah seorang juru bicara kepresidenan. Namun, pada putaran berikutnya, saya menentang keputusan-keputusannya berupa pemecatan-pemecatan dalam PKB, termasuk dan terutama pemecatan Saifullah Yusuf.
Secara politik, Gus Dur tak penah mengampuni penentangan-penentangan saya itu, meskipun secara pribadi hubungan kami tak pernah berubah. Gus Dur tahu benar alasan-alasan saya sebagaimana telah saya sampaikan kepadanya dan memahami cara berpikir saya. Dari situ saya percaya bahwa Gus Dur tidak akan memerintahkan saya bergabung dengan PKB Parung, karena ia pasti tahu, itu sia-sia.
Gus Dur tahu, saya dulu menentang pemecatan-pemecatan itu karena mengkhawatirkan perpecahan dan saya selalu dalam posisi mendambakan penyatuan. Dulu saya ikut kelompok Kiai-Kiai Langitan memisahkan diri dari Mukatamar Semarang karena saya berharap dapat mengajak semuanya mempersatukan PKB kembali. Bahwa kemudian saya gagal, itu adalah soal batas kemampuan, bukan soal sikap atau keinginan.
Sementara itu, apabila dilihat konteks keseluruhan ungkapan Gus Dur, yaitu membandingkan imaamah (kepemimpinan) Mbah Hasyim dalam hal syari’at dan akhlak dengan imaamah Gus Dur sendiri dalam hal politik, maka berlakukah kaidah balaghah (seni wicara) bahwa perbandingan atau persamaan antara dua perkara atau lebih haruslah merujuk pada matra-matra yang setara di antara perkara-perkara yang diperbandingkan atau dipersamakan itu.
Gus Dur menjunjuk keharusan mengikuti kepemimpinan Mbah Hasyim, sedangkan Mbah Hasyim sudah lama wafat. Mbah Hasyim tak mungkin lagi memberikan perintah-perintah langsung, tak mungkin lagi memberikan perintah-perintah operasional. Maka yang diharuskan adalah mengikuti madzhabnya, menjadikan ajaran-ajarannya sebagai acuan untuk menyikapi hal-hal kekinian. Ketika pengertian itu diterapkan pada “keharusan mengikuti Gus Dur dalam politik”, ia hanya memiliki relevansi pada matra-matra yang setara. Yaitu bahwa Gus Dur tidak memaksudkan kewajiban mengikuti “perintah-perintah operasionalnya” melainkan madzhabnya, haluan politiknya, nilai-nilai yang diajarkannya, ideologinya!.
Di antara elemen-elemen ajaran politik Gus Dur adalah pluralisme, moderasi, toleransi, keadilan, kejujuran, kerakyatan, dan apa yang secara oversimplified ingin saya sebut sebagai “Soekarnoisme revisionis”: cita-cita Soekarno dengan revisi strategi. Sebagaimana halnya ajaran-ajaran syari’at dan akhlak dari Mbah Hasyim harus terus-menerus dipelajari untuk memperoleh pemahaman yang semakin mendalam, demikian pula halnya terhadap ajaran-ajaran Gus Dur. Meskipun telah begitu banyak orang menguliti pemikiran-pemikiran Gus Dur, pastilah masih tersisa bergudang-gudang nuansa dan mutiara-mutiara gagasan beliau yang memerlukan kajian lebih lanjut untuk kemudian direkonstruksi menjadi suatu bangunan paradigma yang sistematis.
Baca Juga: Hubungan Suharto, Harmoko dan Gus Dur
Inikah wasiat untuk saya?
Seandainya iya, pastilah saya sudah pingsan tak bangun-bangun karenanya. Untung saya kemudian teringat sebuah riwayat penting. Bertahun-tahun yang lalu, sekitar 1980-an, saya sowan Kiai Abdullah Salam (Pamanda Kiai Sahal Mahfudh) di Kajen, Pati. Pada waktu itu beliau berkisah tentang guru beliau, Kiai Hasyim Asy’ari.
“Kiai Hasyim itu kelihatannya kaya raya,” ceritanya, “tanah pesantrennya luas, ada mobil, ada sawah-ladang dan sebagainya. Tapi ketika wafat, ternyata tidak satu pun dari kekayaan-kekayaan itu dapat diwariskan, karena semua itu adalah harta wakaf, sedangkan yang menjadi harta milik pribadinya hanyalah sebuah gentong dengan siwurnya yang biasanya dipergunakan untuk memandikan mayat!”
Teringat riwayat itu, saya pun teringat pula pada satu kaidah syari’at: “segala yang tak bisa diwariskan, tak bisa diwasiatkan”.
Maka saya pun merasa tenteram. Gus Dur tidak mungkin mewasiatkan apa pun yang bukan harta milik pribadinya kepada siapa pun, apalagi mewariskannya. Di sisi lain, saya yakin bahwa segala pemikiran, ajaran dan tindakan keteladanannya telah dimaksudkan sebagai wakaf kepada seluruh Bangsa Indonesia dan kemanusiaan. Maka tidak satu pun dari kesemuanya itu, termasuk PKB, bahkan nama besarnya sendiri, yang dapat menjadi obyek wasiat, apalagi waris!.
Saya merasa tenteram karena tugas yang maha dahsyat itu tidak diwasiatkan (hanya) kepada saya. Barangkali saja karena teringat bahwa saya pernah menjadi juru bicaranya, maka Gus Dur berharap suatu ketika saya akan menyampaikan ungkapannya itu kepada orang banyak, seperti ikhtiar saya dengan tulisan ini.
Rembang, 6 Januari 2010
Yahya Cholil Staquf