Tokoh Tebuireng yang memiliki persinggungan kuat dengan Soeharto adalah Gus Dur. Di era rezim Orde Baru (Orba), Gus Dur kerap melontarkan kritik terhadap buruknya kualitas demokratisasi dan kentalnya otoritarianisme.
Karena yang disinggung itu seorang presiden, tentu sejumlah menteri juga harus ikut terlibat dalam pusaran hubungan hangat dingin Gus Dur dan Soeharto. Salah satunya adalah Menteri Penerangan saat itu Harmoko.
Menurut catatan Muhammad Faishol di NU Oline, pada 1994, menjelang Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-29, tekanan-tekanan kepada Gus Dur mulai menguat. Walau ia menerima banyak dukungan untuk masa jabatan Tanfidziyah ketiga, kritikan pun tak kalah besarnya.
Salah satu alasannya adalah seringnya Gus Dur membawa NU dalam situasi bertubrukan dengan kepentingan rezim Soeharto. Tak hanya tekanan internal NU, Gus Dur juga menghadapi tekanan dari luar organisasinya. Gus Dur secara pribadi menengarai Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), melalui beberapa orang NU yang jadi anggotanya, berada di balik kampanye mendiskreditkan dirinya.
Gus Dur juga menduga beberapa tokoh yang dekat dengan putri tertua Soeharto, Siti Hardijanti Hastuti, seperti Ketua Umum Golkar Harmoko dan Kasospol ABRI Letjen Hartono juga terlibat. Meski begitu Gus Dur berhati-hati dengan tidak mengumbarnya ke media.
“Ia mengidentifikasi hubungan antara unsur-unsur tertentu dan individu-individu dalam ICMI, semisal Adi Sasono, Din Syamsyuddin, dan Amir Santoso, dan apa yang dikenal sebagai jenderal-jenderal hijau ABRI, yakni Feisal Tandjung, Hartono, Syarwan Hamid, dan Prabowo Subianto, yang kesemuanya bekerja sama dengan Tutut,” tulis Greg Barton (hlm. 245-249).
Tekanan besar itu berhasil melemahkan posisi politik Gus Dur. Karenanya, pilihan paling realistis yang bisa diambil Gus Dur adalah berdamai dengan rezim Soeharto. Gus Dur melakukannya dengan kesediaanya ikut berkampanye untuk Golkar pada Pemilu 1997.
Sebagai gantinya Gus Dur meminta Tutut dan Jenderal Hartono menghentikan dukungan bagi Pusat Kajian Kebijakan dan Pengembangan (CPDS), sayap think tank ICMI. Gus Dur juga meminta agar serangan-serangan atas dirinya, NU, dan Megawati dihentikan.
Gus Dur mengatakan, “Lebih baik Golkar yang mengalami kemenangan besar dalam Pemilu 1997, oleh karena bila perolehan suaranya turun drastis maka Soeharto mungkin menjadi panik dan menyerang lagi. […] lebih baik kita mundur dan berkonsolidasi.”
Meskipun ditekan begitu hebat, Gus Dur tetap santai. Berbeda dengan masyarakat pada umumnya, Gus Dur justru mengkritik peristiwa Soeharto naik haji. Seperti biasa, mengkritik dengan humor cerdas. Yang jadi sasaran kritik buka Soeharto langsung, melainkan murid setianya: Harmoko. Ini metode “mlipir”.
Gus Dur menceritakan saat lempar Jumroh, lemparan batu Menteri Penerangan Harmoko malah kembali ke mukanya. Harmoko pindah posisi. Dia melempar kembali, tapi lagi-lagi batu mengenai kepalanya sendiri. Berkali-kali seperti itu.
Akhirnya, Harmoko mendekati bosnya, Presiden Soeharto, mau minta petunjuk. Tapi sebelum mendekat, ada suara halus membisiki Harmoko, “Sesama setan tidak boleh saling melempar.”
Dua tokoh senior politik, Harmoko dan Gus Dur juga pernah mengkampanyekan golput dalam Pemilu 2009. Mantan menteri penerangan dan mantan presiden RI itu pun seharusnya menjadi teladan yang baik dan berjiwa besar untuk menyerahkan bangsa ini kepada generasi muda.
Hangat dingin hubungan Harmoko dan Gus Dur lebih banyak didorong dari sikap kritis Gus Dur kepada pemerintah Orde Baru. Secara organisasi, Harmoko tentu membela Soeharto. Namun, Gus Dur dan Harmoko merupakan putra kelahiran Jawa Timur.
Harmoko lahir di Patianrowo, Nganjuk, Jawa Timur, 7 Februari 1939 dan Gus Dur lahir di Denanyar Jombang. Keduanya juga tokoh pers dan suka menulis. Harmoko diketahui aktif berkiprah sebagai wartawan dan politikus Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan Indonesia pada masa Orde Baru, dan Ketua MPR pada masa pemerintahan Soeharto dan BJ Habibie. Harmoko juga pernah menjabat sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia, dan kemudian menjadi Menteri Penerangan di bawah pemerintahan Soeharto selama 14 tahun.
Sedangkan Gus Dur sejak tahun 1984 aktif di Nahdlatul Ulama. Karier politik tertingginya yaitu menjadi presiden ke-4 Republik Indonesia. Gus Dur lebih lama berada di luar pemerintahan dan menjadi oposisi yang kuat.