Jejak perjuangan Dr. KH. Miftah Syarkun di negeri Jiran sungguh menginspirasi santri muda untuk mengukir prestasi dikancah Internasional. Beliau tidak hanya sibuk dalam dunia pendidikan namun juga aktif dalam dunia sosial kemasyarakatan. Beliau merupakan salah satu tokoh penting dibalik berdirinya PCINU Malaysia. Atas restu Gus Dur, Kiai Miftah bersama teman-temannya mendirikan NU cabang Malaysia.
Bagi siapa saja yang berjuang di NU baik struktural maupun kultural merupakan sebuah jalan penuh kemuliaan. Organisasi yang didirikan oleh para ulama pesantren ini merupakan lahan berjuang dan berdakwah. Menjadi santri dimanapun memang harus siap berjuang menegakan agama Islam dan mengikuti dan meneruskan jejak perjuangan para ulama penuh ketulusan dan keikhlasan.
Sebagai santri Tebuireng generasi milenial, Pak Miftah tentu punya kesadaran diri untuk ikut membesarkan NU. Tentu saja bagi Pak Miftah yang sejak muda sudah mendapat tempaan langsung dari masyayikh Tebuireng. Begitu, Gus Sholah cucu Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari memintanya untuk pulang dan berjuang bersama membesarkan almamaternya langsung diterima dengan sepenuh hati.
Semenjak Gus Sholah menjadi pengasuh Tebuireng pada tahun 2006-2020 memang banyak memiliki program kerja untuk membangkitkan dan memajukan pesantren peninggalan kakeknya, KH. M. Hasyim Asy’ari. Lebih-lebih setelah Gus Sholah berhasil meremajakan seluruh bangunan asrama santri dan fasilitas pendidikan santri. Selanjutnya penataan organisasi dan Pembangunan SDM menjadi program prioritas yang amat diperhatikan. Nah, pembangunan SDM inilah yang menjadi tugas penerus berikutnya.
Bahkan saat Gus Sholah menjadi pengasuh Tebuireng ketujuh juga menambah unit pendidikan sesuai kebutuhan dan masukan banyak orang. Misalnya, Madrasah Mualimin lembaga pendidikan untuk mencetak kader ulama salaf. Kini sejak didirikan sudah memiliki ratusan santri yang fokus belajar mendalami khazanah keislaman, kitab kuning. Diharapkan dari Mualimin para santri melanjutkan belajarnya di Mahad Aly Hasyim Asy’ari. Dengan begitu kaderisasi ulama dapat berhasil kedepannya.
Pembangunan Sumberdaya Manusia menjadi salah satu agenda Gus Sholah yang tengah menjadi program prioritas setelah sarana dan prasarana santri dan perbaikan manajemen pesantren. KH. Miftah Syarkun, Pak Mif merupakan tokoh intelektual muda yang, hafid dan ahli fikih, yang diajak untuk terlibat dalam memajukan pendidikan dan pengkaderan santri-santri muda dilingkungan Tebuireng oleh Gus Sholah. Beliau sebagai santri sangat loyal kepada kiainya. Untuk memenuhi panggilan kiainya itu, Gus Sholah, pak Mif rela meninggalkan karirnya yang begitu cemerlang dan telah dirintis sejak lama. Bahkan, melalui jalan yang mungkin sangat terjal. Saat masih awal beliau ke Tebuireng beliau rela pulang pergi Surabaya Malaysia dengan biaya sendiri. Betapa luar biasa pengorbanan beliau kepada guru dan almamaternya.
Baca Juga: Wakil Rektor Bervisi Mendunia
Kepulangan Pak Miftah dari Malaysia ke Tebuireng benar-benar membawa angin segar. Diakui maupun tidak beliau merupakan seorang konseptor dan penggerak. Pengasuh pun lantas mendirikan Pusat Kajian Hasyim Asy’ari dan menjadikan Pak Miftah sebagai ketuanya. Sebuah lembaga yang didirikan Gus Sholah yang mengkaji dan memperkenal secara luas mengenai pemikiran-pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari. Pendiri Tebuireng dan NU itu memang menarik perhatian banyak kaum kiai dan santri. Upaya melakukan reaktuliasasi dan aktualisasi dalam bidang pendidikan, keagaman, keNUan, sosial dan lainnya penting dilakukan.
Gus Sholah yang mengajak langsung pak Miftah, dan anak muda lainnya untuk aktif mengadakan kegiatan ilmiah, seperti seminar baik yang bersifat lokal maupun nasional. Banyak para pakar yang dilibatkan dalam kegiatan tersebut. Banyak isu aktual yang juga direspon dengan baik. Buah dari hasil kajian pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari juga dibukukan. Sebagian belum dibukukan. Misalnya, menjawab isu seputar radikalisme yang belakangan memang menghangat di permukaan publik. Selanjutnya seputar isu Khilafah. (Tentu masih banyak kegiatan lainnya).
Tebuireng pun lima tahun terakhir makin semarak dengan kegiatan-kegiatan ilmiah. Saya hanya menduga inilah salah satu upaya selain untuk membukakan santri muda dengan kajian baru juga ikhtiar menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Selain itu, Pusat Kajian juga menjadi pintu untuk melahirkan intelektual muda. Pak Miftah dengan pasukan mudanya secara aktif tampil mengisi panggung-panggung tersebut.
Untuk membangun SDM yang unggul dan militan memang banyak cara dan strateginya sekaligus tidak langsung jadi, butuh waktu. Namun yang tak kalah penting adalah adanya kemauan untuk memulainya. Bukan sebatas hanya dibicarakan lalu menguap begitu saja. Tentunya dari hal yang sederhana seperti, menyelenggarakan diskusi rutinan. Selanjutnya adalah menemani proses anak-anak muda. Peran itu dilakukan Pak Miftah. Dalam konteks ini Gus Sholah sebagai tokoh utama dibelakang beliau sangat telaten melakukan kaderisasi.
Pak Miftah terbiasa memproduksi ide-ide besar. Ada yang berhasil terwujud ada juga yang belum. Ya, beliau merupakan seorang konspetor handal. Amat salah bila dipaksa untuk ikut serta membantu juga mengerjakan urusan tekhnis-tekhnis dan remeh temeh. Kesuksesan beliau dilembaganya tentu berkat kerja kolaborasi semua tim. Upaya Pak Miftah dalam menjawab keraguan gurunya sudah terjawab dengan penuh tanggungjawab dan keikhlasan.
Sejak kepergian(wafat) Gus Sholah, Pak Miftah memang sibuk mempersiapkan diri dengan urusan guru besarnya. Meski demikian beliau tetap aktif menulis karya ilmiah, mengajar, dan berdiskusi. Di kegiatan tersebut sejatinya yang sedikit banyak tersalurkan kegelisahan intelektualnya. Kini, memang tidak mudah mencari sosok tokoh seperti Kiai Miftah yang ikhlas, rela berkorban, dan sangat gigih dalam berjuang. Semoga, sosok seperti beliau kembali hadir ditengah-tengah kita. Terlebih, tantangan pesantren semakin kompleks kedepannya.
Memilih jalan pengabdian dengan istilah beliau, “memiliki falsafah hidup”. Artinya, harus ada yang diperjuangkan dalam hidup. Sebagaimana para sahabat Nabi dulu rela memasang badan sebagai tameng dan rela mati untuk Kanjeng Nabi dalam peperangan karena ada yang mereka perjuangkan, yakni demi perkembangan Islam “i’la kalimatillah”. Untuk misi yang dibangun bersama itu, mereka siap berkorban.
“Kalau tidak demikian, mending mati saja, habis-habisi beras”. Kalau hanya memperjuangkan kepentingan pribadi atau tidak memiliki falsafah hidup, sama halnya dengan binatang, tidak ada bedanya. Nah, dulu ada yang kita bisiki untuk perjuangan masyarakat banyak sehingga menjadi satu kebijakan. Lewat Gus Sholah (Allahu yarham), kita dapat mengegoalkan ide-ide besar kita hingga menjadi nyata. Setelah beliau, susah untuk merealisasikan menjadi gerakan nyata, Mas.
Jika Pak Miftah, dkk di Pusat Kajian Hasyim Asy’ari memproduksi ide dan gagasan segara maka saya bersama teman-teman di Pustaka Tebuireng mengambil posisi untuk menerbitkannya dalam bentuk buku. Ada beberapa buku yang kami terbitkan kolaborasi dengan lembaga yang sama-sama didirikan Gus Sholah. Buku bertajuk, Ijtihad Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Khilafah dan NKRI percikan pemikiran KH. Afifudin Muhajir, Prof. Dr. Syafi’i Maarif, Prof. Dr. Mahfud Md, dan Prof. Dr. Masykuro Abdillah, MA merupakan salah satu dari sekian buku yang kita kerjakan bersama. Kerja kolaborasi tersebut sengaja pantulkan alm. Gus Sholah. Alhadmulilah, kolaborasi Pusat Kajian Hasyim Asy’ari dan Pustaka Tebuireng terjalin dengan baik.
Oleh, Ahmad Faozan, Pustaka Tebuireng