Dari Lombok saya langsung ke Tebuireng, Jombang. Kemarin. Itu sudah hari ketiga sejak KH Salahuddin Wahid meninggal dunia di Jakarta (02 Februari 2020).
Di gerbang pondok pesantren itu saya disambut Gus Irfan. Beliau adalah salah satu dari 12 cucu KH Hasyim Asy’ari yang masih ada. KH Hasyim Asy’ari adalah pendiri Tebuireng. Beliaulah ayah dari Menteri Agama KH Wahid Hasyim. Beliaulah kakek Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid.
“Mungkin karena sudah empat bulan tidak ketemu sehingga DI’s Way menulis cucu Kiai Hasyim Asy’ari sudah habis. Saya tertawa,” ujar Gus Irfan.
Saya tahu DI’s Way telah membunuh 12 cucu yang masih ada itu –tanpa menguburkannya.
Empat bulan yang lalu –dan bulan-bulan sebelumnya– saya memang runtang-runtung dengan Gus Irfan. Termasuk bermobil bersama jalan darat dari Jakarta ke Surabaya.
Saya pun, dulu, sering bertemu ayah beliau: KH Yusuf Hasyim.
Gus Irfan tidak pernah mau tampil menjadi kiai utama Tebuireng.
KH Yusuf Hasyim, ayah Gus Irfan, memang pernah menjadi kiai utama di pondok itu. Tapi anaknya tidak harus otomatis menjadi pengganti sang ayah.
Baca Juga: Gus Baha Tokoh Muda NU
Demikian juga ketika Gus Sholah –nama panggilan almarhum KH Ir Salahuddin Wahid– meninggal. Bukan anak Gus Sholah, Ipang Wahid, yang menjadi penggantinya.
Padahal Ipang punya kemampuan leadership yang unggul. Ipang yang pernah menjadi sutradara banyak film Indonesia itu lantas beralih ke konsultan politik. Ia begitu dekat dengan presiden. Jasanya sangat besar untuk kemenangan Presiden Jokowi. Di periode pertama maupun kedua.
Ipang-lah yang di hari-hari duka ini menjadi tuan rumah di Tebuireng.
Waktu saya masuk ruang tamu, masih banyak pelayat yang di rumah itu. Ipang bercerita bagaimana almarhum ayahnya di hari-hari akhir hidupnya.
Ketika ibunya muncul dari ruang dalam, Ipang berdiri. Ganti ibunya yang bercerita. Mulai Gus Sholah masuk RS Harapan Kita sampai jantung almarhum sukses diablasi –dan kemudian boleh pulang. Tapi Gus Sholah harus masuk RS lagi. Diketahuilah banyak cairan di jantung Gus Sholah. Itu lantas disedot. Mencapai 500 mililiter. Ternyata cairan itu muncul lagi di jantungnya. Disedot lagi. Tiap setengah jam.
Dokter pun sempat curiga. Jangan-jangan telah terjadi kesalahan dalam proses ablasi. Meski rasanya tidak mungkin. Untuk memastikannya dokter memutuskan membuka dada almarhum. Dilihatlah kondisi fisik jantung beliau. “Ternyata dokter tidak menemukan kesalahan apa pun dalam proses ablasi,” ujar Nyai Farida, istri Gus Sholah.
Kondisi Gus Sholah pun kian serius. Jam 4 sore Nyai Farida bertanya ke dokter. “Secara teknis-medis apakah masih ada harapan?“ ujar Nyai Farida menirukan pertanyaannya ke dokter.
“Harus lebih banyak doa,” jawab dokter seperti ditirukannya.
Dari jawaban itu Nyai Farida tahu bahwa Gus Sholah sudah sulit diselamatkan. Maka ditanyakan lagi kemungkinan berikutnya.
“Secara teknis-medis kira-kira bisa bertahan berapa lama?” tanyanya seperti ditirukannya.
“Paling lama sampai jam 12 malam,” jawab dokter, seperti yang ditirukannya lagi.
Sejak itu, Nyai Farida bersama tiga anaknya terus di sebelah Gus Sholah. Sang ibu terus memegang telapak tangan kanan Gus Sholah. “Dia yang memegang telapak tangan kiri,” ujar Nya Farida sambil menatap putrinya, Acha, yang berdiri di belakang ibunya.
Di saat bersamaan, Ipang terus menempelkan mulutnya di telinga kanan sang ayah. Adik Ipang, Billy, menempelkan mulut di telinga kiri.
Mereka terus membisikkan kalimat-kalimat pengingat Tuhan ke telinga Gus Sholah. Tidak pernah berhenti. Sampai pun jam 12 malam, misalnya –saat diperkirakan Gus Sholah meninggal dunia.
Tapi pada pukul 20.50 WIB malam itu pintu ruangan terbuka. Ada sapa “Assalamualaikum” dari orang yang masuk saat itu. Ternyata itu Prof Yoga, salah satu dokter yang merawat di RS Harapan Kita.
Melihat dokter masuk, mereka tetap memegangi dan membisiki Gus Sholah dengan kalimat-kalimat pujian pada Tuhan.
“Sebenarnya Gus Sholah ini sudah wafat,” ujar sang dokter seperti ditirukan Nyai Farida.
Mereka pun melepaskan Gus Sholah. Selama itu mereka sama sekali tidak mengira Gus Sholat sudah wafat.
Mereka menyangka akan mengetahui saat-saat terakhir Gus Sholah meninggal dunia. Bukankah biasanya detik terakhir itu ditandai dengan gerakan tertentu?
Dan orang yang memeganginya akan bisa merasakan gerakan itu?
“Kami berempat sama sekali tidak merasakan ada gerakan apa pun,” ujar Nyai Farida.
Begitu damainya perjalanan terakhir nafas Gus Sholah.
Husnul khotimah. Amin.
Dari kediaman Gus Sholah ini saya menuju makam. Yang letaknya hanya beberapa belas langkah di depan rumah itu.
Di makam itulah Presiden Gus Dur dimakamkan. Di situ juga Gus Sholah dikebumikan.
Begitu banyak orang yang datang. Termasuk yang dari Blitar, Bondowoso, Situbondo, dan banyak lagi. Mereka duduk bersila untuk mengucapkan tahlil di dekat makam itu.
Dahlan Iskan
Tulisan ini sudah pernah terbit di DI’s Way