tebuireng.co– Pada tahun 1947 ketika sang ayah meninggal dunia, Kiai Wahid Hasyim menggantikan sang ayah menjadi pengasuh Tebuireng. Pilihan ini berdasarkan kesepakat keluarga Bani Hasyim dan ulama NU Kabupaten Jombang. Estafet kepengasuhan ke Kiai Wahid Hasyim sebenarnya sekedar “formalitas” karena kenyataannya beliau sudah lama ikut membantu sang ayah mengelola Tebuireng.
Baca juga: Tebuireng di Masa Penjajahan Belanda
Di masa pemerintahan Jepang pasca penangkapan Hadiratussyaikh Hasyim Asy’ari tahun 1942, Kiai Wahid Hasyim menjabat ketua shumubucho, kepala jawatan agama pusat, menggantikan ayahnya Kiai Hasyim Asy’ari yang menerima jabatan itu dari Jepang, penyerahan tanggung jawab dari ayah ke anak itu dilakukan atas dasar ketika itu Kiai Hasyim sudah usia lanjut dan tidak ingin meninggalkan Tebuireng, maka tugasnya dilimpahkan kepada Kiai Wahid.
Baca juga: Tebuireng di Masa Penjajahan Jepang
Bersama para pemimpin nasional (Seperti soekarno dan Hatta), Wahid Hasyim memanfaatkan jabatannya untuk persiapan kemerdekaan RI. Dia membentuk kementrian agama, lalu membujuk Jepang untuk memberikan latihan militer khusus kepada para santri serta mendirikan barisan pertahanan rakyat secara mandiri, serta mendirikan barisan pertahanan rakyat secara mandiri. Inilah cikal bakal terbentuknya Hizbullah dan Sabilillah, bersama PETA menjadi embrio lahinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kiai Wahid Memimpin Tebuireng selama 3 tahun yakni dari tahun 1947 sampai 1950, sebab pada tahun 1850 kiai Wahid Hasyim diangkat menjadi menteri agama dan pindah ke Jakarta. keluarga Kiai Wahid Hasyim tinggal di Jl. Jawa (kini Jl. HOS Cokroaminoto) No.112, dan selanjutnya pada tahun 1952 pindah ke Taman Matraman Barat no. 8, di dekat Masjid Jami’ Matraman.
Sejak Kiai Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dan pinda ke Jakarta kepemimpinan Pesantren Tebuireng menjadi kosong sehingga keluarga besar Bani Hasyim memilih Kiai Karim sebagai penggantinya. Kiai Karim resmi menjadi pengasuh Tebuireng sejak tanggal 1 Januari 1950.
Tragedi Cimindi
Hari itu, sabtu 18 April 1953 Kiai Wahid bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Kiai Wahid Ditemani tiga orang, yakni sopirnya dar harian Pemandangan, rekannya Argo Sutjipto, dan putra sulungnya Abdurrahman ad-Dakhil (Gus Dur). Kiai Wahid duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto. Daerah di sekitar Cimahi waktu itu diguyur hujan lebat sehingga jalan menjadi licin. Lalu lintas cukup ramai.
Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, mobil yang ditumpangi Kiai Wahid selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakangnya banyak iring-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan, sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag. Karena mobil Chevrolet melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan kerasnya.
Ketika terjadi benturan, Kiai Wahid dan Argo Sutjipto terlempat ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. Kiai wahid terluka bagian kening, mata, pipi, dan bagian lehernya. Sedangkan sang sopir dan Gus Dur tidak cedera sedikitpun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula.
Kiai Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto kemudian dibawa ke rumah sakit Boromeus Bandung. Sejak megalami kecelakaan, keduanya tidak sadarkan diri. Keesokan harinya, Ahad, 19 April 1953 pukul 10.30, KH Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt. Dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian tepatnya pukul 18.00 Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khalik.
Janazah Kiai Wahid kemudian dibawa ke Jakarta, lalu diterbangkan ke Surabaya, dan selanjutnya dibawa ke Jombang untuk disemayamkan di pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng.