Tebuireng.co– Pada masa penjajahan Jepang, Tebuireng telah dikenal sebagai pusat pendidikan Islam yang sudah berkembang pesat. Sejak didirkan pada tanggal 3 Agustus 1899 M, Tebuireng terus mengembangkan pola pendidikan yang kuat akan tantangan zaman. Pengalaman melawan tekanan penjajah Belanda telah juga menuntut pesantren Tebuireng untuk terus berinovasi.
Hasilnya setelah Jepang masuk menjajah Indonesia pada tanggal 1 Maret tahun 1942, dimana saat itu pemerintahan Jepang melarang masyarakat pesantren melakukan surat-menyurat selain menggunakan huruf latin, banyak alumni Tebuireng yang terbantu lantaran di Tebuireng sudah diajari pelajaran umum.
Menurut Akarhanaf dalam Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, Bapak Umat Islam Indonesia (2018) Saat pemerintah Jepang melakukan pencatatan terhadap jumlah kiai dan ulama di Indonesia, ditemukan ada 20.000 kiai dan ulama yang pernah menjadi santri Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, mereka tersebar di seluruh Nusantara.
Pemerintahan Jepang yang saat itu sedang terlibat perang pasifik atau perang Asia Timur Raya kemudian memenjarakan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari lantaran menolak tunduk pada kemauan pemerintah Jepang untuk melakukan seikerei, yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada dewa matahari.
Selama 4 bulan penguasa militer Jepang menahan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Di dalam penjara beliau menagalami berbagai macam perlakuan kasar bahkan penyiksaan sehingga tulang-tulang jari tangan kanannya patah tidak dapat digerakkan.
Penahanan Hadaratussyaikh Hasyim Asy’ari menyebabkan kegiatan belajar mengajar di pesantren Tebuireng berhenti total. Penahanan itu pula menyebabkan keluarga Hadratussyaikh berpindah. Istri Kiai Hasyim, Nyai Masruroh harus mengungsi ke Pesantren Denanyar yang terletak di sebelah barat Kota Jombang.
Putera Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim bersama KH Wahab Hasbullah berjuang keras untuk membebaskan Kiai Hasyim dari tahanan, salah satu cara yang ditempuh oleh keduanya adalah jalur diplomasi.
Meraka berdua dibantu oleh seorang perwira Jepang bernama Abdul Hamid Ono yang bertugas di Jakarta sejak perang dunia II. Dia yang awalnya bertugas mengawasi Kiai Hasyim, kemudian ikut membantu membuka jalur diplomasi dan komunikasi antara pihak Tebuireng dan militer Jepang.
Berkat upaya diplomasi Kiai Wahid dan Kiai Wahab Hasbullah dengan para pembesar Jepang terutama Saikoo Sikikan di Jakarta serta banyaknya protes dari para kiai dan santri di seluruh Indonesia, Jepang akhirnya membebaskan Hadratussyaikh tanggal 18 Agustus 1942.
Sadar akan wibawa dan pengaruh besar Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Jepang kemudian menjadikan beliau sebagai pimpinan Shumubu, cikal bakal Kementerian Agama saat ini yang dibentuk Jepang pada Mei 1942. Tetapi Hadratussyaikh menyerahkan tugas itu kepada puteranya, Kiai Wahid Hasyim.
Selanjutnya, Kiai Wahid Hasyim dalam tugasnya berupaya mendirikan Kantor Jawatan Agama yang berlokasi di daerah-daerah (Shumuka). Sedangkan Hadratussyaikh berada di Tebuireng, membina dan mendidik para santri.[]
Baca juga: