tebuireng.co – Pendidikan Islam dan Pesantren bisa survive sampai hari ini, kenapa?
Pertanyaan ini mungkin kedengarannya mengada-ada. Tetapi terus terang, pertanyaan ini sering menggoda saya dan mungkin juga banyak pengamat pendidikan Islam Indonesia lainnya.
Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan Dunia Muslim, tidak banyak lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan.
Kebanyakannya lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum-untuk tidak menyebut sistem pendidikan”sekuler”, atau mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum atau setidak-tidaknya menyesuaikan diri dan sedikit banyak mengadopsi isi dan metodologi pendidikan umum.
Untuk memperjelas argumen di atas dapat dikemukakan nasib atau pengalaman beberapa daerah pada kawasan dunia Muslim lainnya dalam proses perubahan dan modernisasinya.
Pada umumnya, lembaga pendidikan tradisional Islam di kawasan Timur Tengah secara sederhana terdiri dari tiga jenis, madrasah, Kuttâb, dan masjid. Sampai paruh kedua abad ke-19, ketiga lembaga pendidikan tradisional Islam ini relatif mampu bertahan.
Namun, sejak perempatan terakhir abad ke-19 gelombang pembaruan dan modernisasi yang semakin kencang telah menimbulkan perubahanperubahan yang tidak mungkin lagi dikembalikan seperti pada eksistensi semula lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional.
Pembaruan dan modernisasi pendidikan Islam, tidak ragu lagi bermula di Turki menjelang pertengahan abad ke-19 sebelum akhirnya menyebar hampir ke seluruh wilayah kokuasaan Turki Utsmani di Timur Tengah.
Penting dicatat, program pembaruan pendidikan di Turki semula tidak menjadikan medresse (madrasah) – lembaga pendidikan tradisional Islam – sebagai sasaran pembaruan.
Yang terjadi adalah pembentukan sekolah-sekolah baru sesuai dengan sistem pendidikan Eropa, yang ditujukan untuk kepentingan-kepentingan reformasi militer dan birokrasi Turki Utsmani.
Dalam konteks ini kita bisa melihat, misalnya kemunculan “Mekteb-i Ilm-i Harbiye” (sekolah militer) pada tahun 1834 sesuai dengan model Prancis.
Namun, dalam selang waktu yang tidak terlalu lama (1938), Sultan Mahmud II (1808- 1839) juga melancarkan pembaruan pendidikan Islam dengan memperkenalkan Sekolah Rusydiyah, yang sepenuhnya mengadopsi sistem pendidikan Eropa.
Sistem Sekolah Rusydiyah ini independen atau bahkan berlawanan dengan medresse. Selanjutnya pada tahun 1846, Sultan ‘ Abd al-M ajid mengeluarkan peraturan yang memisahkan pendidikan Islam dengan pendidikan umum; medresse berada di bawah 5 jurisdiksi Syaikh al-Islam, sedangkan sekolah umum – dengan berbagai tingkatannya – ditempatkan di bawah tanggung jawab langsung pemerintah.
Namun, penting dicatat bahwa sekolah umum yang diharapkan menjadi tulang punggung modernisasi itu ternyata berkembang relatif lambat.
Ini mendorong pemerintah Turki Utsmani untuk mengeluarkan ketetapan “Ma’arif Umumiye Nizamnamesi” (1869) guna memperluas dan mempercepat perkembangan sistem pendidikan umum model Eropa, dengan mengorbankan medresse.
Pukulan terakhir terhadap medresse terjadi pada tahun 1924, yaitu ketika Mustafa Kemal Ataturk menghapuskan sistem medresse dengan mengubahnya menjadi sekolah-sekolah umum.
Pengalaman yang sama juga ditempuh oleh Mesir. Modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan di Mesir dimulai oleh Muhammad Ali Pasya.
Pada 1833 ia mengeluarkan dekrit pembentukan sekolah dasar umum, yang dalam perkembangan awalnya hidup berdampingan dengan madrasah dan Kuttâb.
Sekolah dasar umum yang segera berkembang di seluruh wilayah Mesir semula dimaksudkan untuk menyiapkan calon-calon siswa sekolah militer, yang juga didirikan Muhammad Ali.
Semula isi pendidikannya sebagian besar adalah subyek-subyek Islam, ditambah beberapa mata pelajaran umum.
Namun, dalam perkembangannya lebih lanjut, penekanan lebih diberikan pada subyek-subyek umum. Dalam waktu yang bersamaan, Muhammad Ali Pasya juga mendirikan sekolah-sekolah umum tingkat lanjutan, yang dikenal dengan nama sekolah Al-Tajhiziyah.
Sekolah ini terutama mengajarkan ilmu-ilmu umum, seperti berhitung, ilmu ukur, aljabar, dan menggambar, selain juga memberikan beberapa mata pelajaran agama.
Sementara itu, madrasah dan Kuttâb secara umum tidak mengalami perkembangan yang berarti. Kuttâb hanya menjadi semacam pelengkap bagi sekolah umum, khususnya untuk mendapatkan tambahan pelajaran agama.
Bahkan pada tahun 1868, Khedive Ismail mengeluarkan ketetapan untuk mengintegrasikan madrasah dan kuttâb ke dalam sistem pendidikan umum.
Meskipun demikian, upaya ini tidak banyak berhasil; sistem pendidikan madrasah dan kuttâb tetap bertahan dalam masa penjajahan Inggris.
Setelah kemerdekaan, dengan alasan integrasi atau nasionalisasi sistem pendidikan nasional Mesir, pemerintah Gamal Abdel Nasser pada tahun 1961 menghapuskan sistem madrasah dan kuttâb.
Pengalaman Turki dan Mesir agaknya cukup memadai untuk menggambarkan prosesproses memudar dan lenyapnya sistem pendidikan tradisional Islam dalam gelombang modernisasi yang diterapkan para penguasa di masing-masing negara tersebut.
Situasi-situasi sosiologis dan politis yang mengitari medresse di Turki atau madrasah dan kuttâb di Mesir dalam segi-segi tertentu agaknya berbeda dengan situasi sosiologis yang mengitari pesantren di Indonesia.
Perbedaan-perbedaan tersebut, pada gilirannya membuat pesantren mampu bertahan. Modernisasi pendidikan dan pesantren modernisasi paling awal dari sistem pendidikan di Indonesia, harus diakui, tidak bersumber dari kalangan kaum Muslim sendiri.
Sistem pendidikan modern pertama kali, yang pada gilirannya mempengaruhi sistem pendidikan Islam, justru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Ini bermula dengan perluasan kesempatan bagi pribumi dalam paruh kedua abad ke-19 untuk mendapatkan pendidikan.
Program ini dilakukan pemerintah kolonial Belanda dengan mendirikan volkschoolen, sekolah rakyat, atau sekolah desa (nagari) dengan masa belajar selama 3 tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an.
Pada tahun 1871, terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang, dan menjelang 1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 siswa.
Namun, sekolah desa ini, setidak-tidaknya dalam perkembangan awalnya, cukup mengecewakan bagi pemerintah Belanda.
Sekolah desa ini tidak berhasil mencapai tujuan seperti yang mereka harapkan, karena tingkat putus sekolah yang sangat tinggi dan mutu pengajaran yang amat rendah.
Di sisi lain kalangan pribumi, khususnya di Jawa terdapat resistansi yang kuat terhadap sekolah-sekolah ini, yang mereka pandang sebagai bagian integral dari rencana pemerintah kolonial Belanda untuk “membelandakan” anak-anak mereka.
Respon yang relatif baik, untuk tidak mengatakan antusias, terhadap sekolah desa ini justru muncul di Minangkabau, sehingga banyak surau, yang merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam yang ditransformasikan secara formal menjadi sekolah-sekolah nagari.
Sekolah-sekolah nagari yang semula merupakan surau tersebut, ternyata tidak sepenuhnya mengikuti kurikulum yang digariskan pemerintah Belanda, sehingga mendorong Belanda untuk melakukan standardisasi kurikulum, metode pengajaran dan lain-lain.
Poin penting dalam eksperimen Belanda dengan sekolah desa atau sekolah nagari sejauh dalam kaitannya dengan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam, adalah transformasi sebagian surau di Minangkabau menjadi sekolah nagari model Belanda.
Memang, berbeda dengan masyarakat Muslim di Jawa umumnya yang memberikan respon yang dingin, banyak kalangan masyarakat Muslim Minangkabau memberikan respon yang cukup baik terhadap sekolah desa.
Perbedaan respon di antara masyarakat Jawa dengan Minangkabau ini banyak berkaitan dengan watak kultural yang relatif berbeda di antara kedua masyarakat ini, dan juga berkaitan dengan pengalaman historis yang relatif berbeda baik dalam proses dan perkembangan Islamisasi maupun dalam berhadapan dengan kekuasaan Belanda.
Selain mendapatkan tantangan dari sistem pendidikan Belanda, pendidikan tradisional lslam juga harus berhadapan dengan sistem pendimodern Islam.
Dalam konteks pesantren, tantangan pertama datang dari sistem pendidikan Belanda sebagaimana dikemukakan di atas.
Bagi para eksponen sistem pendidikan Belanda, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, sistem pendidikan pesantren harus ditinggalkan atau setidaknya, ditransformasikan sehingga mampu mengantarkan kaum Muslim ke gerbang rasionalitas dan kemajuan.
Jika pesantren dipertahankan, menurut Takdir, berarti mempertahankan keterbelakangan dan kejumudan kaum Muslim. Tetapi, sehagaimana kita ketahui, pesantren tetap bertahan dalam kesendiriannya.
Tantangan yang lebih merangsang pesantren untuk memberikan responnya, justru datang dari kaum reformis atau modernis Muslim.
Gerakan reformis Muslim yang menemukan momentumnya sejak awal abad 20 berpendapat, bahwa untuk menjawab tantangan dan kolonialisme dan Kristen diperlukan reformasi sistem pendidikan Islam.
Dalam konteks inilah kita menyaksikan munculnya dua bentuk kelembagaan pendidikan modern Islam. Pertama, sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam. Kedua madrasah-madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda.
Dalam bentuk pertama, kita bisa menyebut, misalnya Sekolah Adabiyah yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1909, dan sekolah-sekolah umum model Belanda (tetapi met de Qur’an) yang didirikan organisasi semacam Muhammadiyah.
Sedangkan pada bentuk kedua kita menemukan “Sekolah Diniyah” Zainuddin Labay Al-Yunusi, atau Sumatera Thawalib, atau madrasah yang didirikan Al-Jamitatul Al-Khairiyah, dan kemudian juga madrasah yang didirikan organisasi al-Irsyad.
Bagaimanakah respon sistem pendidikan tradisional Islam, seperti surau (Minangkabau) dan pesantren (Jawa) terhadap kemunculan dan ekspansi sistem pendidikan modern Islam ini?
Karel Steenbrink dalam konteks surau tradisional menyebutnya sebagai “menolak sambil mengikuti”, dan dalam konteks pesantren menyebutnya sebagai “menolak dan mencontoh”.
Sembari menolak beberapa pandangan dunia kaum reformis, kaum tradisi di Minangkabau memandang ekspansi sistem dan kelembagaan pendidikan modern Islam sebagai ancaman langsung terhadap eksistensi dan kelangsungan surau.
Untuk itu, dalam pandangan mereka, surau harus mengadopsi pula beberapa unsur pendidikan modern yang telah diterapkan kaum reformis khususnya sistem klasikal dan penjenjangan.
Namun, penting dicatat, adopsi ini dilakukan tanpa mengubah secara signifikan isi pendidikan surau itu sendiri.
Respon yang hampir sama juga diberikan pesantren di Jawa. Seperti kalangan surau di Minangkabau, komunitas pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis.
Namun, pada saat yang sama mereka juga – kecuali dalam batas tertentu – mengikuti jejak langkah kaum reformis, untuk bisa tetap bertahan.
Karena itulah pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan “penyesuaian” yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal.
Dalam kaitan ini, Pesantren Mambaul Ulum di Surakarta mengambil tempat paling depan dalam merambah bentuk respon pesantren terhadap ekspansi pendidikan Belanda dan pendidikan modern Islam.
Pesantren Mambaul Ulum yang didirikan Susuhunan oleh Pakubuwono pada tahun 1906 ini merupakan perintis bagi penerimaan beberapa mata pelajaran umum dalam pendidikan pesantren.
Menurut laporan inspeksi pendidikan Belanda pada tahun tersebut, Pesantren Mambaul Ulum telah memasukkan mata pelajaran membaca (tulisan Latin), Al-Jabar, dan berhitung ke dalam kurikulumnya.