Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari mengalami pemenjaraan oleh pihak penguasa militer Jepang karena dianggap tidak tunduk kepada penguasa. Selama sekitar 4 bulan beliau berada di dalam penjara dengan berbagai macam perlakuan kekerasan dan penyiksaan.
KH. Wahid Hasyim bersama KH Wahab Hasbullah berjuang keras untuk membebaskan Kiai Hasyim dari tahanan, salah satu cara yang ditempuh oleh keduanya adalah jalur diplomasi.
Adalah Abdul Hamid Ono, seorang perwira Jepang yang bertugas di Jakarta sejak perang dunia II sebagai pembuka jalur diplomasi dan komunikasi antara pihak Tebuireng dan militer Jepang.
Dalam buku seri Tempo: Wahid Hasyim (Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan) memuat sedikit profil Abdul Hamid Ono, ia adalah pejabat dinas rahasia Jepang yang beragama Islam dan dekat dengan keluarga Kiai Hasyim Asy’ari. Ia sering berkunjung ke Pesantren Tebuireng (hlm 72, 2011)
Kiai Saifuddin Zuhri dalam bukunya, (Guruku Orang-orang dari Pesantren, 2001), menggambarkan Abdul Hamid Ono sebagai orang yang bertubuh padat dan pendek dengan wajah seperti seorang Cina. Selain itu ia juga cakap berbahasa Jawa. Suatu ketika ia pernah menemui Kiai Wahid Hasyim sekitar tahun 1943. Abdul Hamid Ono mengucapkan salam dengan fasih dan berbicara menggunakan bahasa Jawa.
Sementara itu, menurut catatan Aboe Bakar Atjeh dalam buku Sejarah Hidup Wahid Hasyim, juga menjelaskan adanya peran penting dari Abdul Hamid Ono dalam membuka pintu diplomasi dan komunikasi supaya Kiai Wahid Hasyim dan KH. Wahab Hasbullah bisa menemui pembesar Jepang di Jakarta.
Baca Juga : Santri Tebuireng: KH Abdul Wahab Hasbullah
Diplomasi itu terwujud dan membuahkan hasil positif: Kiai Hasyim Asy’ari bisa keluar dari tahanan pada 18 Agustus 1942, setelah mengalami berbagai bentuk kekerasan dan penyiksaan selama 4 bulan lamanya.
Berkat bantuan Abdul Hamid Ono dalam membuka pintu diplomasi antara Tebuireng dan militer Jepang, telah juga membuka berbagai keuntungan bagi kalangan Islam. Umat Islam akhirnya tidak lagi dianggap sebagai ancaman yang berpotensi mengganggu kekuasaan Jepang.
Sejak saat itu, terjadi hubungan politik yang saling menguntungkan antara Umat Islam dan pemerintah Jepang. Mula-mula Jepang memberi kelonggaran gerak organisasi Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang kelak menjadi Masyumi , didirikannya Kantor Urusan Agama (Shumubu), lalu dibentuknya pasukan PETA (Pembela Tanah Air).
Baca juga : Saat Jepang Sadar Pengaruh Kuat KH. Hasyim Asy’ari
PETA adalah cikal bakal terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bersama dengan Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah, bersatu dalam menjaga kedaulatan NKRI, baik dari serangan pasukan sekutu pada akhir 1945, hingga agresi militer ke-2 Belanda pada tahun 1949.
Hubungan diplomatik tersebut juga memberi ruang yang luas kepada Umat Islam Indonesia dalam melakukan gerakan, seperti diterbitkannya majalah Soeara MIAI, didirikannya Universitas Islam Indonesia, ditetapkannya libur setengah hari pada hari Jum’at di kantor-kantor pemerintah sejak 1 Mei 1945, serta dicetaknya mushaf al-Quran untuk pertama kali di tanah Air pada 8 Juli 1945.
Abdul Hamid Ono, perwira muslim Jepang itu telah membuka jalan awal bagi umat Islam Indonesia untuk bergerak. Kiai Saifuddin Zuhri menceritakan sosok Abdul Hamid Ono dengan cukup detil (Hlm 114-115). Katanya “sore hari selepas sholat Ashar datang seorang tamu. Dia bertubuh padat dan pendek dengan wajah seperti seorang Cina. Dia mengenakan baju jas kuning gading dengan kain sarung dan berpeci hitam. Saat melihat Kiai Wahid, dia berucap salam dengan fasih:
“Asslamu’aalikum warahmatullahi wabarakatuh, wilujeng sampeyan, Gus?” sapa tamu ini kepada Kiai Wahid dalam bahasa Jawa dialek Jawa Timur.
“Kulo Abdul Hamid Ono,” ucapnya memperkenalkan diri kepada Kiai Saifuddin Zuhri. Kiai Saifuddin Zuhri sendiri segera teringat nama seorang Jepang yang bertugas mendampingi atau lebih tepatnya membayang-bayangi Kiai Wahid Hasyim.“Oh…ini dia orangnya!” batin Kiai Zuhri.
“Kulo wau langkung mriki, tasih kathah tamu (saya tadi lewat sini, masih banyak tamu),” ucap Abdul Hamid Ono.
“Konco-konco sami kepengin pinanggih kulo,” jawab Kiai Wahid Hasyim bahwa mereka itu teman-teman yang juga ingin menjumpainya.
Dua orang itu lalu menuju ke ruang lain, mengadakan pembicaraan empat mata.