Setelah 10 tahun berdiri, pada tanggal 6 Februari 1909, Belanda memberikan pengakuan kepada Pesantren Tebuireng sebagai lembaga pendidikan resmi di bawah naungan Hindia Belanda. Pengakuan ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengontrol perkembangan pesantren Tebuireng selanjutnya.
Pesantren Tebuireng didirikan oleh Hadratussyaikh KH. M Hasyim Asy’ari pada 1899 M. Setelah Bapak Umat Islam Indonesia itu pulang dari Mekah membawa ilmu dan semangat perjuangan untuk mengembangkan ilmu agama dan membebaskan bangsa Indonesia dari cengkraman penjajah sebagaimana ia sumpahkan di Multazam.
Pesantren Tebuireng menjadi pusat perjuangan umat Islam dan rakyat Indonesia kala itu. Di sana banyak berkumpul para pejuang Islam yang tangguh, yang sanggup berjuang mengembangkan ajaran Islam ke seluruh pelosok negeri.
Karena pengaruh Pesantren Tebuireng begitu besar, Belanda berpikir untuk tidak berkonfrontasi secara langsung, sehingga yang dilakukan adalah tekanan secara hukum dan peran sosial. Balanda selalu mengawasi dan merepresi pergerakan di Pesantren Tebuireng terutama sosok Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, d engan cara mengirim mata-mata dan berbagai bentuk intimidasi para preman setempat.
Sehingga terjadi setelah empat tahun berlalu, tepatnya pada tahun 1913, Belanda membuat onar dengan mengutus tiga orang untuk membuat gara-gara di Pesantren Tebuireng yang mengakibatkan satu diantaranya mati di tangan santri.
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari diperiksa dengan tuduhan pembunuhan, namun beliau mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan jeli dan tangkas. Akhirnya beliau bisa terlepas dari jeratan hukum.
Karena merasa tidak puas, Belanda mengutus beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren Tebuireng. Menurut catatan Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (2010). Banyak bangunan-bangunan pondok dihancurkan dan kitab-kitabnya dibakar.
Tak berhenti disitu, penjajah Belanda menyebarkan fitnah keji dan berita bohong ke publik dengan mengatakan bahwa Pesantren Tebuireng merupakan markas pemberontak dan pusat ekstrimis Muslim. Padahal, itu tidak lain karena Pesantren Tebuireng pimpinan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari menjadi ancaman eksistensi kolonialisme Belanda di Indonesia.
Namun, intimidasi dan fitnah Belanda tak membuat semangat perjuangan Pesantren Tebuireng mundur sedikipun. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari berkata: “Kejadian ini justru menambah semangat kita untuk terus berjuang menegakkan Islam dan Kemerdekaan (Indonesia) yang hakiki”
Pesantren Tebuireng kemudian mulai merombak pola pendidikan yang ada di dalamnya. Dimulai pada tahun 1916, Tebuireng merintis pendidikan sistem madrasah dalam bentuk klasikal. Lalu pada tahun 1919, madrasah yang awalnya klasikal itu ditambahkan pelajaran bahasa Indonesia, Matematika dan georgrafi.
Pada tahun 1934, KH. Abdul Wahid Hasyim bersama KH. Muhammad Ilyas mendirikan Madrasah Nidhomiyah setelah keduanya pulang dari tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji sambil mendalami ilmu. Di dalam kurikulum Madrasah Nidhomiyah terdapat sejumlah pelajaran seperti bahasa inggris dan keterampilan mengetik, selain juga pelajaran bahasa Arab dan Belanda. Kemudian di tahun 1936 didirikanlah Ikatan Pelajar Islam yang kemudian membuat perpustakaan yang menyediakan lebih dari 1000 judul buku.[]
Baca juga
Tafsir Pemikiran Kebangsaan dan Keislaman KH. M Hasyim Asy’ari
Kitab Tulisan Tangan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Terawat Rapi