Tanggung jawab seorang yang memiliki ilmu menurut Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari bukan hanya sebatas mengajarkan ilmunya kepada orang lain yang membutuhkan. Di samping itu, ia juga memiliki tanggung jawab lain yang melekat pada dirinya baik pada saat di dalam majelis ilmu maupun dalam kegiatan keseharian.
Tanggung jawab orang berilmu ketika berada di dalam majelis yang ia isi adalah mencegah pembahasan terlalu melebar dari topik utama yang dibicarakan. Melebarnya pembicaraan dari garis-garis besar topik utama berpotensi tidak mendalamnya kajian. Hal ini juga bisa menjadi salah satu indikasi bahwa yang menjadi pimpinan majelis kurang kompeten dalam bidang yang sedang ia bicarakan. Sehingga, baik dirinya maupun anggota majelis tidak akan terlalu memahami ilmu tersebut.
“Orang alim ini harus tegas dalam menjaga pembahasan (red; yang ia pandu),” ungkap Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH Abdul Hakim Mahfudz yang akrab dengan panggilan Kiai Kikin dalam pengajian yang ia ampuh. Pengajian ini berlangsung di Masjid Pesantren Tebuireng, Senin, (14/10/2024).
Orang berilmu juga tidak boleh menampakkan sikap keras kepala terhadap argumen yang ia tawarkan. Apalagi ketika argumennya jelas-jelas salah. Padahal sudah jelas bahwa kebenaran ada pada lawan bicara. Ini tentunya merupakan suatu sikap yang tidak terpuji bagi orang yang berilmu.
Syaikh Muhammad bin Idris al-Syafi’i atau yang lebih dikenal dengan Imam al-Syafi’i mengajarkan kepada kita semua melalui pernyataannya yang masyhur:
رأيي صواب ويحتمل الخطأ ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب
Artinya: “Pendapatku benar tapi bisa jadi salah. Dan pendapat orang selainku salah, tapi bisa jadi benar.”
Suara orang yang sedang bicara dalam menyampaikan ilmu harus diatur. Suaranya tidak boleh terlalu nyaring, demikian pula tidak boleh terlalu kecil. Dalam bab ini, Kiai Hasyim lebih memfokuskan pada ketidak bolehan berteriak-teriak dalam majelis. Apalagi teriakan yang tidak memiliki dampak positif.
Baca juga: Pentingnya Artikulasi yang Baik menurut Kiai Hasyim
Seterusnya, ialah tidak mencaci maki orang lain baik yang hadir di dalam majelisnya, maupun tidak. Sikap seperti ini menjadi tanggung jawab yang berlaku baik di dalam majelis ataupun dalam kegiatan keseharian.
Karena pada sejatinya, orang berilmu pasti juga harus beradab. Dan orang yang beradab tidak akan mencaci maki orang lain.
Berani mengakui ketidaktahuannya terhadap sesuatu yang memang tidak ia ketahui. Ini berkaitan dengan integritas orang tersebut. “Apapun yang dibicarakan, orang lain suatu saat akan tahu (red; bahwa orang alim tersebut sebenarnya tidak tahu),” menurut Kiai Kikin dalam menjelaskan bab ini.
Kiai Hasyim bahkan menyebut tindakan orang yang takut mengakui ketidaktahuannya sebagai orang yang lemah agamanya.
Kiai Hasyim juga mengapresiasi sikap berani jujur seseorang akan ketidaktahuannya. Pertama, beliau menyebutkan bahwa tindakan seperti itu tidak menurunkan atau menaikkan derajatnya sebagai ahli ilmu.
Kedua, sikap berani dan jujur ini juga menunjukkan bahwa ia memang betul-betul sosok ahli ilmu yang menjunjung tinggi keilmuan. Ketiga, sikap seperti ini adalah tanda kuatnya ia dalam mengamalkan ajaran agama. Yang terakhir adalah menunjukkan kebersihan hati sosok tersebut.
Disarikan dari ngaji kitab Adabu al-Alim Wa al-Muta’allim yang diasuh KH. Abdul Hakim Mahfudz (Pengasuh Pesantren Tebuireng)
Penulis: Ahmad Fikri
Editor: Ikhsan Nur Ramadan
Baca juga: Lima Nilai Utama dalam Muqaddimah Kitab Kiai Hasyim