tebuireng.co – Tafsir Pemikiran Politik Islam Gus Dur dan Gus Sholah sangat menarik untuk dibahas. Tafsir ini berasal dari pemikiran sang ayahanda, yakni KH. A. Wahid Hasyim yang merupakan salah satu tokoh pembaharu Pesantren. Ada banyak gebrakan ia torehkan bagi Pesantren Tebuireng secara khusus yang didirikan oleh ayahnya, KH. Hasyim Asy’ari. Pesantren Tebuireng yang awalnya fokus hanya pada pembelajaran keilmuan Islam kemudian diperlebar dengan memasukkan bahasa Belanda, bahasa Inggris dan keilmuan umum lainnya sebagai muatan pelajaran di bawah naungan madrasah Nidzamiyah yang ia dirikan pada tahun 1935.
Dalam penelitian yang Hadi Santoso lakukan, dikatakan bahwa mata pelajaran di madrasah Nidzamiyah ini 70% ilmu umum dan 30% ilmu keagamaan tanpa menghilangkan esensi dari pendidikan pesantren itu sendiri. Meskipun pada awalnya ide tentang pengembangan yang Kiai Wahid tawarkan banyak ditentang baik oleh keluarganya sendiri di Tebuireng, maupun oleh para wali santri pada saat itu yang dikira akan menghilangkan nilai-nilai luhur pesantren. Namun pada akhirnya terbukti, justru dengan terobosan-terobosan itulah Tebuireng dan pesantren lain mampu menjawab tantangan zaman yang terus berkembang.
Corak pemikiran KH. Wahid Hasyim yang progresif dan banyak orang mengatakan jauh melampaui zaman membuat khalayak tercengang. Pasalnya, ia hanya mengenyam pendidikan pesantren di sekelilingnya. Pesantren yang jauh dari kata modern baik dari segi infrastruktur dan fasilitas. Jangankan belajar di luar negeri, bahkan bangku kelas sekolah umum di sekitarnya belum pernah ia duduki. Kendati demikian, Kiai Wahid mampu memajukan dirinya sendiri dan masyarakatnya.
Apa yang dilakukan KH. Wahid Hasyim untuk masyarakat luas melalui ide dan gagasannya yang disalurkan melalui pesantren ayahnya juga tidak jauh beda dengan apa yang ia lakukan dalam mendidik putra putrinya. Keturunan Kiai Wahid semuanya menjadi tokoh di masyarakat Indonesia. Semuanya memiliki peran yang signifikan terhadap pembangunan bangsa dan agama. Ada yang menjadi tokoh politik, ada juga yang menjadi tokoh agama. Dan bahkan ada pula yang merangkap dua-duanya.
Sejak kecil, anak-anak Kiai Wahid telah dibiasakan untuk mandiri. Selain itu, mengungkapkan gagasan dan saling menghargai pendapat apa bila terjadi perbedaan juga ia ajarkan pada anak-anaknya.
Hasil dari pola pendidikan ini bisa kita lihat pada dua sosok guru bangsa yang saudara kandung. Ialah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah). Dua Gus bersaudara ini sebagaimana kita ketahui merupakan putra KH. Abdul Wahid Hasyim. Mereka berdua juga sama-sama menjadi rujukan banyak masyarakat terkait cara beragama dan berbangsa dengan baik. Utamanya masyarakat NU. Selain karena kedua kakak-beradik ini merupakan cucu pendiri NU, mereka juga banyak berkiprah kepada organisasi baik. Baik secara gerakan, maupun pemikiran.
Buku KH. A. Wahid Hasyim dalam Pandangan Dua Putranya memuat beberapa tulisan tentang pemikiran Gus Dur dan Gus Sholah yang sempat mencuat di harian Media Indonesia pada bulan Oktober 1998 . (hal. x) Dua putra Kiai Wahid ini berperang tulisan tentang pemikiran politik Islam ayahanda-nya selama beberapa hari di salah satu media. Mereka awalnya memperdebatkan soal pandangan sang ayah tentang relasi agama dan negara. Menurut pandangan Gus Dur, Kiai Wahid merupakan sosok negarawan yang tidak menginginkan ada campur aduk antara hukum negara dan hukum agama (baca: Syari’at Islam). Dua hukum ini memiliki fungsi dan tempat yang berbeda. Dalam kehidupan bernegara, maka Pancasila berada di atas Syari’at Islam.
Baca Juga: Tafsir Pemikiran Kebangsaan dan Keislaman KH Hasyim Asy’ari
Pernyataan Gus Dur yang demikian kemudian direspon oleh adiknya, Gus Sholah. Dalam pemikiran Gus Sholah, ia menulis tentang Kiai Wahid yang kemudian menjadi antitesa dari tulisan Gus Dur sebelumnya. Pernyataan Gus Dur yang dikuatkan dengan data yang Gus Dur miliki juga dibantah dengan pernyataan rasional dan data yang tidak kalah kuatnya dari data yang Gus Dur tawarkan.
Gus sholah menilai bahwa sang bapak adalah figur negarawan yang religious. Usahanya adalah mendamaikan antara nasionalisme dan keagamaan. Sehingga langkah yang diambil adalah menyisipkan nilai-nilai agama Islam sebagai nafas UUD dan Pancasila.
Gus sholah sangat tidak setuju dengan apa yang dilontarkan sang kakak tentang ayahnya. Kiai Wahid yang sekuler menurut Gus Dur, ternyata dalam pandangan Gus Sholah ia merupakan sosok negarawan yang menginginkan segala aktifitas kenegaraan berhaluan pada nilai-nilai Islam. Tentunya, untuk sampai pada tujuan tersebut dasar negara dan hukum positif kenegaraan harus berasas pada syari’at Islam. Atau, paling minimal tidak bertentangan dengan syari’at. Sehingga, satu hal yang pernah dilakukan oleh Kiai Wahid dalam Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar tanggal 13-7-1975 mengusulkan supaya pasal 29 diubah sehingga bunyinya kira-kira “Agama negara adalah Agama Islam” dengan menjamin kemerdekaan orang-orang beragama lain, untuk dan sebagainya. (hal.26)
Baca Juga: Gus Sholah, Keindonesiaan dan Keislaman
Demikianlah isi buku ini memuat tentang pergolakan pemikiran politik Islam yang terjadi diantara dua tokoh nasional kakak-beradik ini. Yang awalnya membahas tentang sosok sang ayah, kemudian merembet terhadap topik Islam dan negara, NU dan negara dan pandangan-pandangan menurut pandangannya masing-masing tentang wujud negara yang ideal.
Gus Dur menginginkan sebuah negara yang dijalankan bukan hanya memandang pada kekuatan mayoritas kelompok masyarakat, yakni masyarakat Islam saja. Sedangkan Gus Sholah lebih memilih negara yang bernuansa syari’at dalam setiap program, hukum dan dasar dari agama itu sendiri.
Dan pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa keduanya sama-sama mengimpikan kesejahteraan bisa dinikmati oleh setiap penduduk masyarakat. Bila dalam pandangan Gus Dur untuk mencapai kesejahteraan mengharuskan adanya keadilan mutlak dengan wujud tidak ada campur tangan agama mana pun yang menjadi dasar dan sumber hukum negara, maka Gus Sholah lebih memilih Islam sebagai rujukan bagi dasar dan hukum negara.
Identitas Buku
Judul : KH. A. Wahid Hasyim dalam Pandangan Dua Puteranya
Penulis : Gus Dur & Gus Sholah
Peresensi : Ahmad Fikri, Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng
Penerbit : Pustaka Tebuireng
Tebal Buku : xxi-55 Halaman
Tahun Terbit : 2015 (cetakan pertama)
ISBN : 978-602-8805-35-3