Dewasa ini, masyarakat Indonesia seringkali disuguhkan dengan perdebatan klasik menyoal masalah hubungan agama dan negara. Padahal keislaman dan keindonesiaan merupakan satu nafas yang tak bisa dipisah-pisah. Kenapa hal perdebatan agama dan negara masih acapkali digaungkan?. Gus Sholah memberikan alternatif berpikir dalam menyikapi keislaman dan keindonesiaan.
Krisis pemahaman, penghayatan, dan pengamalan akan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi salah satu faktornya. Selain itu, memang banyak orang belum mengamalkan secara penuh. Sehingga argumentasi dari kelompok-kelompok yang ingin mengganti ideologi negara Pancasila dengan khilafah.
Tak pelak, banyak energi, biaya, dan waktu terkuras habis sia-sia. Padahal sudah saatnya semua kelompok Islam di Indonesia fokus membangun bangsa dengan segala potensi yang dimilikinya, ini lebih penting dilakukan. Bangsa Indonesia akan sulit maju jika para tokohnya terus sibuk berdebat mempertentangkan masalah hubungan agama dan negara.
KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) selaku tokoh pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) tak bosan-bosannya memberikan pencerahan. Utamanya mereka yang masih belum menerima “Pancasila” sebagai hasil konsensus para tokoh dari kalangan Islam dan Nasionalis. Dalam hal ini, sebenarnya ia ingin melanjutkan perjuangan memadukan keindonesiaan dan keslaman yang jauh-jauh hari sudah dilakukan oleh bapak pendiri bangsa.
Pemikiran Gus Sholah tentang Indonesia dan Islam terarsip di buku bertajuk, “Memadukan Keislaman dan Keindonesiaan: Esai-Esai Kebangsaan”. Buku ini memuat pikiran-pikiran KH Salahudin Wahid, misalnya; Negara Pancasilais, Keindoesiaan dan Keislaman, Agama dan Korupsi, Dhinamika Tunggal Ika, dan lainnya.
Adik Gus Dur ini, menegaskan, bahwa keindonesiaan dan keislaman merupakan satu nafas dan tidak perlu dipertentangkan. Indonesia sebagai negara yang mayoritas Muslim sudah tepat menganut Pancasila. Bahkan, hal yang berkaitan dengan kehidupan umat Islam seperti pernikahan, waris, haji, dan perbankan syari’ah juga sudah diakomodir. Kalaupun memang masih ada undang-undang pidana Islam yang belum dimasukan dalam aturan kenegaran Islam, bukan berarti kepentingan umat Islam tidak terakomodir.
Dalam buku “Memadukan Keislaman dan Keindonesiaan: Esai-Esai Kebangsaan”, Gus Sholah juga mengakui bahwa Pancasila baru di atas kertas, belum terwujud secara nyata di dalam kehidupan. Tugas kita untuk menjalankan sepenuhnya tanpa pengecualian. Selama kita belum mampu mewujudkan Pancasila dalam kehidupan nyata dari mulai sila keadilan sosial dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kita akan terus menghadapi kelompok-kelompok yang beranggapan bahwa Pancasila harus diganti dengan Islam sebagai dasar negara. (halaman 51)
Dengan terus menjalankan Pancasila secara totalitas, menurut Gus Sholah bangsa Indonesia akan bisa maju dan kuat bahkan tidak mustahil menjadi salah satu negara besar yang makmur dan sejahtera. Indonesia memang bukan negara agama, tetapi pendudukanya mayoritas Muslim. Bukankah, Pancasila sudah sangat ideal karena mampu menjadi pemersatu bagi semua kelompok?
Sebagai seorang Muslim tentu saja kita memiliki pedoman hidup. Namun, mengapa kita belum mampu menampilkan diri sebagai seorang Muslim yang baik. Negeri kita masih banyak koruptor, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Menurut putra Kiai Wahid ini, keislaman masyarakat Muslim Indonesia masih tampak hanya sebatas di masjid, musala, pesantren, dan majlis pengajian. Di luar itu belum tampak. Merebahnya korupsi, kemiskinan, dan tidak jujuran menjadi salah satu contoh nyata dalam kehidupan berbangsa dan beragama masyarakat Indonesia. Seharusnya, sebagai seorang negara yang bermayoritas muslim mereka mampu menampilkan diri dengan baik. Menandakan, masih adanya jarak lebar antara hubungan dengan Allah (habblu minallah) dan hubungan manusia (habblu minannas). (halaman 135)
Perjuangan Gus Sholah memang kini sudah selesai. Kepeduliannya kepada bangsa Indonesia bukan muncul kemarin sore. Hal ini diwariskan dari leluhurnya. Ayahnya, KH Abdul Wahid Hasyim yang notabene ikut dalam Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang berlangsung pada tgl 28 Mei-22 Agustus 1945. Upaya Gus Sholah sebagai kiai aktivis yang terus bergerak mengajak dialog dan mendekati kelompok-kelompok yang belum sepenuhnya memahami secara benar akan pancasila terus dilakukan selama hidupnya.
Melalui buku Gus Sholah “Memadukan Keislaman dan Keindonesiaan: Esai-Esai Kebangsaan”, pembaca dapat melihat dengan jernih pemikiran-pemikiran Salahuddin Wahid mengenai Keindonesiaan dan Keislaman. Kepeduliannya dalam memberikan pencerahan dan pendekatan utamanya kepada kelompok yang berseberangan secara santun dalam berargumentasi dan elegan dalam mengungkapkan pendapat membuat ia bisa diterima semua golongan.
Meskipun demikian, menjadi tugas para generasi berikutnya untuk menjaga Indonesia dari berbagai kelompok yang berupaya mencoba mengaburkan pemahaman yang utuh mengenai hubungan agama dan negara. Buku Gus Sholah tentang keislaman dan keindonesiaan ini diterbitkan oleh Pustaka Tebuireng, cetakan pertamanya I November 2017 dengan tebal 227 halaman dan harga Rp. 50. 000
Oleh Ahmad Faozan, anggota Tebuireng Iniatives