Manusia adalah makhluk homo ludens (makhluk yang suka bermain). Oleh karenanya hasrat untuk bermain dalam diri manusia bersifat fitri terlebih dalam semua hal yang berkaitan dengan duniawi. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang juga menegaskan bahwa dunia ini sifatnya la’ibun wa lahwun, humor dan main-main saja, begitupun dalam konteks keindonesiaan kita mengenal beberapa quotes yang senada dengan hal tersebut, semisal “Dunia ini panggung sandiwara”. Sehingga dalam hidup ini sebenarnya kita sedang bermain drama. Ada masanya kita harus naik atau keluar panggung, ada masanya kita menjadi tokoh utama dalam scope tertentu, juga ada masanya kita hanya sebagai figuran yang mungkin kehadirannya tidak memiliki dampak signifikan pada jalan cerita.
Jika kita berbicara drama dan sandiwara, keduanya terhimpun dalam satu rumpun kegiatan yang bernama “permainan”. Permainan sendiri memiliki beberapa variabel, ciri pertama bermain adalah “serius dalam ketidakseriusan”. Begitu kita tahu bahwa dunia ini panggung sandiwara, rasanya hidup ini tidak serius wong cuma drama. Namun jangan salah, kita sebagai aktor, walau ini hanya permainan, kita harus tetap serius dalam memainkan peran. Sepak bola misalnya, adalah permainan yang tidak serius, cuma main-main, tapi kalau sepak bola urusannya hanya berebut bola saja, beli saja bola yang banyak, tapi itulah permainnya merebutkan bola untuk dijaringkan ke gawang lawan. Dalam permainan ini pemain harus serius dalam memainkannya, jika tidak, pasti kalah.
Tahun ini, panggung sandiwara Indonesia sedang menampilkan scene pertarungan untuk memilih calon pemimpin, di mana di dalamnya melibatkan tiga sampai enam pemain utama dengan king maker-nya masing-masing. Karena ini merupakan permainan drama, maka jangan dianggap terlalu serius. Tapi akting para pemain juga jangan asal-asalan. Jika mereka atau bahkan kita sebagai pemain tidak serius, maka jangan berharap mendapat penghargaan piala citra apalagi piala oscar. Maka seriuslah dalam berakting, jangan berakting menjadi pecundang yang kalah, aktinglah menjadi pemenang. Karena ini adalah masalah “serius dalam ketidakseriusan”.
Kedua, “proses permainan bisa dinikmati”. Dalam permainan sepak bola yang seru itu mainnya. Kalau hanya melihat hasil, tidak akan seru, misal penulis yang merupakan fans garis keras Barcelona, ketika laga kontra Ossasuna di gelar tengah malam, dan pada saat mata sudah tak bisa dibuka, lalu penulis bertanya pada teman yang menonton semalam, berapa skornya? Dijawab 1:0 untuk Barcelona. Satu sisi puas dengan jawaban itu karena Barcelona menang, namun di sisi yang lain terdapat kekecewaan yang begitu mendalam, karena tidak dapat menikmati permainan indah Pedri dan gol debut Viqtor Roque.
Inilah yang dinamakan proses permainan yang bisa dinikmati. Begitupun dengan panggung sandiwara pilpres yang bernama Indonesia. 14 hari menuju klimaks tentu proses yang dilalui harus memiliki keasikan yang dapat dinikmati, drama debat dan pasca debat capres ataupun cawapres, drama perdebatan para tim sukses di laman-laman media dan tak ketinggalan drama perdebatan buzzer masing-masing paslon, namun inilah proses yang harus dinikmati, apalah artinya hasil jika tidak bisa menikmati proses. Dalam konsep teologis Islam, hasil itu urusan Allah, sedangkan yang ada dalam kuasa kita adalah proses. So, apapun endingnya jadi atau tidak jadi, nikmati prosesnya karena di situlah letak seni dalam permainan sandiwara kehidupan.
Yang ketiga, “permainan itu efeknya pasti menyenangkan” oleh karena itu, jika hidup ini merupakan panggung sandiwara, rugi kalau kita merasa sumpek, bermain itu yang dicari efek menyenangkannya. Pun dalam scene sandiwara tahun ini, permainan pertarungan antar capres dan cawapres yang dicari adalah efek kesenangannya, jangan sampai panasnya slepetan masing-masing paslon dalam debat, goyangan gemoy para buzzer menjadikan kita sumpek dalam memainkan peran. Yang bener aja rugi dong.
*1 Februari 2024
Baca juga: Langkah Cerdas Generasi Z dalam Memilih Pemimpin 2024