Dalam dunia pendidikan, sering kali terjadi kesalahpahaman dalam memahami pernyataan para ulama mazhab. Salah satu ungkapan yang sering disalahtafsirkan adalah ungkapan ulama empat imam mazhab berupa, “Jika hadis itu sahih, maka itulah mazhabku.” Banyak pelajar yang mengira bahwa pernyataan ini berarti semua hadis sahih harus diterima secara langsung tanpa mempertimbangkan konteks dan pendekatan mazhab tertentu.
Rupanya kesalahpahaman tersebut bukan tanpa alasan karena banyak di antara mereka (para pelajar)yang terperangkap oleh pandangan sebagian ulama yang berpendapat bahwa apabila terdapat pendapat suatu mazhab yang bertentangan dengan hadis sahih maka amalkanlah hadis sahih tersebut hal ini sebagaimana yang di sampaikan oleh Al-Imam Muhibbuddin Muhammad Bin Muhammad Ibnu asy-Shihnah dalam kitabnya Nihayatun-Nihayah Fi Syarhil-Hidayah beliau menuliskan
نهاية النهاية في شرح الهداية لحسين بن علي السغناقي (1/ 68)
إذا صح الحديث وكان على خلاف المذهب عمل بالحديث ويكون ذلك مذهبه
“Apabila ada hadis sahih dan bertentangan dengan pendapat mazhab, maka amalkanlah hadis tersebut dan jadikan ia sebagai mazhab“
Pernyataan para pelajar dengan mengutip pendapat Ibnu asy-Shihnah di atas rupanya perlu di kaji ulang, sebab pada kenyataannya pernyataan Ibnu asy-Shihnah dalam redaksi di atas masih menerima banyak komentar dari kalangan ulama yang lain di antaranya al-imam Ibnu ‘Abidin dalam kitabnya Raddul-Mukhtar ‘Ala Durril Mukhtar beliau memberi catatan dalam kitabnya
حاشية رد المحتار على الدر المختار (1/ 68)
فقد صح عنه أنه قال: إذا صح الحديث فهو مذهبي. وقد حكى ذلك ابن عبد البر عن أبي حنيفة وغيره من الأئمة. اهـ. ونقله أيضا الإمام الشعراني عن الأئمة الأربعة. ولا يخفى أن ذلك لمن كان أهلا للنظر في النصوص ومعرفة محكمها من منسوخها
“Memang benar imam Abu Hanifah berkata jika hadis itu sahih maka itulah mazhab ku dan pernyataan semacam ini juga pernah disampaikan oleh al-Imām asy-Sya’rānī dari empat imam mazhab. Kendati demikian, tentu saja riwayat tersebut hanya boleh dipakai oleh orang-orang yang memiliki keahlian dan kredibilitas dalam memahami nas dan mengetahui nas yang muhkam dan yang mansukh.”
Dalam karyanya yang lain yaitu Majmu’ Rasa’il Ibni ‘Abidin beliau juga mengutip pernyataan Ibnu asy-Shihnah dengan memberikan komentar yang sama namun kali ini beliau menambahkan beberapa catatan khusus yang harus di penuhi ketika seorang pelajar akan menganut pernyataan Ibnu asy-Shihnah bahwa ketika terjadi pertentangan antara hadis sahih dan pendapat suatu mazhab maka seseorang harus mendahulukan hadis sahih dan menjadikannya sebagai mazhab, Ibnu ‘Abidin memberikan catatan
مجموع رسائل ابن عابدين لابن عابدين (1/24)
وأقول أيضا : ينبغي تقييده ذلك بما إذا وافق قولا في المذهب، إذ لم يأذنوا في الإجتهاد فيما خرج عن المذهب مما اتفق عليه أئمتنا، لأن اجتهادهم أقوى من اجتهاده، فالظاهر أنهم رأوا دليلا أرجح مما رآه حتى لم يعملوا به.
“Menurut hemat saya, statmen Ibnusy-Syihnah ini perlu diperjelas bahwa hadis sahih boleh diamalkan apabila sesuai dengan mazhab, sebab bagi seseorang tidak boleh berijtihad di luar kaidah mazhab yang diikutinya, sebagaimana kesepakatan para ulama kita, dikarenakan ijtihad para ulama mazhab tentu lebih kuat daripada ijtihad yang dihasilkan oleh pribadi pengkaji. Namun, yang jelas, kajian para ulama mazhab terhadap suatu dalil itu lebih bisa dimenangkan, dan karena itulah mengapa mereka (ulama mazhab) tidak mengamalkan dalil lain yang di nilai sahih oleh pribadi pengkaji.“
Komentar ibnu ‘Abidin di atas juga di respon baik oleh Syekh ‘Abdul-Ghaffar ‘Uyun as-Sud al-Himsi beliau tulis dalam risalahnya yang bertajuk Daf’ul-Awham ‘An Mas’alatil-Qira’ah Khalfal Imam
دفع الأوهام عن مسألة القراءة خلف الإمام لحسام الدين الكيلاني (69/15)
هو تقييد حسن لأننا نرى في زماننا كثيرا ممن ينسب إلى العلم مغترا في نفسه ، يظن أنه فوق الثريا وهو في الخضيض الأسفل فربما يطالع كتابا من كتب الستة -مثلا- فيرى فيه حديثا مخالفا لمذهب أبي حنيفة فيقول : اضربوا مذهب أبي حنيفة على عرض الحائط وخذوا بحديث رسول الله ، وقد يكون هذا الحديث منسوخا أو معارضا بما هو أقوى منه سندا أو نحو ذلك من موجبات عدم العمل به وهو لا يعلم بذلك ، فلو فوض لمثل هؤلاء العمل بالحديث مطلقا لضلوا في كثير من المسائل وأضلوا من أتاهم من سائل
“Komentar Ibnu ‘Abidīn ini sangat bagus, sebab saat ini sudah banyak para pelajar yang terperdaya, mengaggap dirinya berada di atas bintang, padahal masih berada pada posisi paling bawah. Kadang seorang pengkaji mendapati hadis dari Kutusbus-Sittah, misalkan, lalu ia melihat bahwa hadis tersebut bertolak belakang dengan mazhab Hanafi, lalu ia berani katakan: ‘Pukullah mazhab Hanafi ke tembok dan ambillah hadis ini.’ Padahal tak jarang suatu hadis memang tidak diamalkan dalam mazhab Hanafi karena faktor mansūkh, bertentangan dengan dalil lain yang lebih kuat sanadnya, atau alasan lain yang bisa dipertanggung- jawabkan, sedangkan pengkaji itu belum mengetahui latar belakang tadi. Oleh sebab itu, bila hadis sahih ini dipakai oleh sembarang orang, akibatnya ia akan tersesat dalam banyak persoalan agama dan bahkan para penanyanya.”
Dari dua komentar Ibnu ‘Abidin di atas yang di dukung juga oleh Syekh ‘Abdul-Ghaffar ‘Uyun as-Sud al-Himsi maka dapat di tarik benang merah bahwa pernyataan Ibnu asy-Syhinah tidak serta merta langsung bisa di ikuti melainkan masih ada catatan-catatan tertentu yang harus di penuhi, oleh karena itu merupakan larangan keras bagi para pelajar awam, apalagi yang sama sekali tidak memiliki kemampuan dalam memilah dan memilih hadis yang bisa di amalkan sesuai disiplin ilmu istinbath hukum ketika menemukan hadis sahih langsung ia comot dan di amalkan tanpa memperhatikan pendekatan dari mazhab tertentu, dan pada kenyataannya dua poin yang di catatkan oleh Ibnu ‘Abidin ini banyak di lupakan bahkan tidak di lirik sama sekali oleh beberapa kalangan anti taklid, bahkan mereka menjadikan pernyataan Ibnu asy-Syhinah sebagai pembenaran pemikiran dan tindakan mereka yang tidak bertanggung jawab.
Adapun perkatan Imam Syafi’i berupa “Jika hadis itu sahih, maka itulah mazhabku.” Juga telah di beri komentar dan catatan khusus oleh Imam Nawawi dalam karyanya Majmu’ Syarhil-Muhadzab beliau berkata
المجموع شرح المهذب (1/ 64)
وهذا الذي قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره: وإنما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما تقدم من صفته أو قريب منه: وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا إنما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل من ينصف به: وإنما اشترطوا ما ذكرنا لأن الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك
“Imam Syafii tidak bermaksud agar setiap orang yang menemukan hadis sahih langsung menganggapnya sebagai ajaran mazhab Syafii dan mengamalkannya secara langsung. Pernyataan ini sebenarnya ditujukan kepada mereka yang telah mencapai tingkat ijtihad dalam mazhab, sesuai dengan kriteria yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai sifat mujtahid. Seorang mujtahid baru boleh mengikuti pernyataan Imam Syafii di atas jika ia memiliki keyakinan yang kuat bahwa Imam Syafii tidak mengetahui hadis tersebut atau tidak mengetahui kesahihannya. Keyakinan ini hanya dapat dicapai setelah melakukan penelaahan secara menyeluruh terhadap semua karya Imam Syafii serta karya-karya pengikutnya. Syarat ini sangat sulit dipenuhi dan hanya sedikit orang yang memenuhi kriteria tersebut. Para ulama menetapkan syarat ini karena Imam Syafii sering kali mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadis yang beliau ketahui. Hal ini biasanya disebabkan oleh adanya dalil yang menunjukkan bahwa hadis tersebut cacat, sudah dinasakh, ditakhshish, ditakwil, atau alasan lainnya.“
Oleh karena itu jika terjadi pertentangan antara hadis sahih dengan pendapat suatu mazhab maka bagi seseorang yang tidak memenuhi syarat untuk berijtihad tidak di perbolehkan mengamalkan hadis sahih itu juga tidak diperbolehkan meninggalkan pendapat mazhab yang telah ia anut dikarenakan ijtihad para ulama madzhab atas suatu hadis tentu lebih kuat daripada ijtihad yang dihasilkan oleh pribadi pengkaji, Di sisi lain, Imam al-Sya’rani memberikan peringatan tegas kepada para pelajar yang berniat menolak pendapat suatu mazhab hanya karena ketidakcocokan pendapat mazhab tersebut dengan pandangan mereka terhadap suatu hadis sahih tertentu, beliau berkata:
الميزان الكبرى (1/24)
إياك أن ترد كلام أحد من الأئمة أو تضعفه بفهمك فإن فهمك إذا قرن بفهم أحد من الأئمة المجتهدين كان كالهباء
“Waspadalah dari menolak perkataan salah satu dari para imam mazhab atau menganggapnya lemah berdasarkan pemahamanmu sendiri. Karena ketika pemahamanmu dibandingkan dengan pemahaman salah satu Imam Mujtahid, pemahamanmu hanya seperti debu.” Wallahua’lam.
Penulis: Ma’sum Ahlul Khoir, Mahasantri M2 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Pesantren Tebuireng
Editor: Thowiroh
Baca juga: Syarat Mursyid Kamil Menurut Kitab Kuning