KH Asrori Ahmad merupakan sosok ulama inspiratif dari Magelang, Jawa Tengah yang juga dikenal sebagai sosok yang produktif dalam menulis.
Dalam cerita putranya yang bernama KH Ahmad Said Asrori seperti yang diunggah dalam kanal youtube NU Online, diceritakan bahwa sejak kecil, KH Asrori telah banyak menempuh perjalanan mencari ilmu di berbagai pesantren. Ia dipondokkan oleh ayahnya di beberapa pesantren di Magelang. Diantaranya yakni Pondok Pesantren (PP) Al-Asnawi di Bandungan, PP Al-Asy’ari di Tempuran lalu di PP Termas.
Selang beberapa lama di Termas, KH Asrori melanjutkan mencari ilmu di Lasem mengaji kepada KH Ali Ma’sum. Tak cukup sampai disitu, KH Asrori juga sempat pindah dan belajar di PP Tebuireng Jombang. Tepatnya saat Jepang masuk ke Indonesia, hingga keadaan menjadi lebih kondusif. Ia pun memutuskan untuk kembali ke Lasem.
KH Asrori menikah dengan putra KH Cholil Harun Rembang bernama ma’munatun. Setelah menikah, Ia pulang ke Magelang, di sebuah desa yang bernama Desa Wonosari.
Dalam pernikahannya, ia dikaruniai 9 anak, 6 putra dan 3 putri. Meski dalam keadaan yang serba prihatin, KH Asrori tetap berjuang untuk menyekolahkan dan memondokan semua anaknya.
KH Asrori dikenal sebagai sosok yang tegas dalam mendidik. Konon, ia akan sangat marah dan mengusir anaknya saat pulang ke rumah agar segera kembali dan mengaji lagi ke pondok.
Sekitar tahun 1947-1948, KH Asrori mulai merintis dan membangun Pesantren mengikuti perintah gurunya, KH Ali Ma’sum. Dalam ceritanya, konon pada saat pembagunan pertama, KH Ali Ma’sum bahkan menemani langsung dan membantu mengukur luas tanah yang akan dibangun pondok. Kemudian, Pondok Pesantren yang telah dibangun tersebut diresmikan pada tahun 1950 dan diberi nama Raudhatut Tullab.
KH Asrori merupakan sosok ulama yang sangat mandiri dan memiliki semangat yang tinggi, disamping mengajar santri dan mengelola pesantren, ia juga bekerja sebagai petani dan jual beli kayu.
Ia juga dikenal sangat produktif dalam menulis. Awal mula proses KH Asrori produktif dalam menulis yakni karena bimbingan dari KH Bisri Mustafa yang dikenal telah memiliki banyak karya salah satu yang populer adalah terjemah Alfiyah ibn Malik.
KH Asrori pun dibimbing untuk mulai menerjemah kitab-kitab dasar seperti menerjemah kitab Safinatun Najah dalam bahasa jawa. Hal ini dilakukan karena kebutuhan saat itu agar masyarakat mudah memahami isi kitab dasar yang penting untuk dipelajari.
Dari situlah, akhirnya tumbuh rasa nyaman dan nikmat dalam menulis sehingga KH Asrori terus menulis dan menerjemahkan kitab-kitab hingga menghasilkan banyak karya. Diantaranya Tashil al-Rafiq fi Tarjamati Sullam al-Taufiq, Tarjamah Riyadl al-Shalihin, Tarjamah Irsyad al-Ibad, serta Tarjamah Risalah al-Muawanah.
Pada usia ke 72 tahun, tepatnya di hari senin 1 Agustus 1994 KH Asrori Wafat. Setelah wafatnya, banyak sekali kitab-kitabnya yang diterbitkan hingga saat ini lebih dari 100 kitab karya KH Asrori yang telah terbit dan disebarkan.
Bakat dan kegemarannya dalam menulis kemudian diteruskan oleh putranya yang bernama Ma’ruf Asrori yang rajin dan telaten dalam menulis bahkan saat ini, ia memiliki penerbitan sendiri dan telah berhasil menerbitkan banyak karya termasuk keputusan-keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sejak muktamar pertama hingga muktamar di Jombang yang berjudul Ahkamul Fuqaha.
KH Asrori Ahmad menjadi sosok ulama yang sangat inspiratif dan patut diteladani, bukan hanya dalam semangat belajar dan mencari ilmu juga dalam hal kerja keras dan menulis banyak karya sebagai salah satu amal jariyahnya.
Baca juga: Profil KH Aniq Muhammadun,Pakar Bahtsul Masail dari Pati