Perihal Kungfu Boy dan Spirit Belajar. Bagi bocah kelahiran 90-an dan penikmat manga, Kungfu Boy menjadi salah satu favorit. Sudah ditayangkan juga dalam bentuk anime pada tahun 2000-an. Ketika ditonton ulang, masih tetap menarik dengan pelajaran-pelajaran hidup yang terkandung di dalamnya.
Chinmi, santri Kuil Dairin adalah lakon utama yang mendalami kungfu. Menjadi santri terunggul di padepokannya. Suatu ketika, Chinmi merasa patah hati karena dalam pertandingan persahabatan, ia dikalahkan oleh santri pendatang yang kebetulan bermalam dan menginap untuk beberapa hari (santri kalong atau ngaji pasaran). Santri pendatang itu bernama Sie Fan. Ia mahir dalam kungfu tongkat. Memahami kondisi Chinmi, Soshu, guru dari Sie Fan memanggil dan mengajaknya ngobrol. Guru Soshu membawakan Chinmi kotak kecil. Ketika dibuka, ternyata berisi kutu anjing yang langsung meloncat. Hanya saja loncatan kutu tersebut tidak tinggi, menyesuaikan ukuran kotak.
Seperti halnya loncatan kutu yang menyesuaikan ukuran kotak, begitu juga gajah yang lama dirantai kakinya. Meski kemudian rantai diganti dengan tali rafia, gajah masih merasa terikat oleh rantai. Guru Soshu kemudian berpesan kepada Chinmi, bahwa dirinya selama di Kuil Dairin sudah merasa paling unggul karena mengukur kemampuan silatnya sebatas “kotak” kuil. Padahal di luar kotak, sebetulnya ia bisa loncat lebih tinggi, kakinya bisa bergerak lebih lincah. Dalam ajaran Islam pun demikian, “Wa fauqa kulli dzī ‘ilmin ‘alīm”, di atas orang yang alim, masih ada yang lebih alim lagi.
Menilik ulang kisah Nabi Musa a.s juga masih perlu tukar ilmu pengetahuan (belajar) kepada Nabi Khidr a.s. Semacam ada ekspertisasi keilmuan tanpa meninggalkan fan ilmu lainnya. Mendalami ilmu keagamaan tanpa meninggalkan secara utuh wacana tentang ilmu pengetahuan teknologi, mendalami sepenuhnya jurusan “Hukum Keluarga” misalnya, tanpa meninggalkan wacana tentang ilmu pendidikan, ilmu bahasa bahasa Arab, ilmu teknik, ilmu politik, dan lain sebagainya. Satu fokus mendalam, selebihnya sebagai tambahan wawasan. Kajian terakhir sudah mencoba menerapkan multidisipliner, interdisipliner, dan semacamnya dalam rantai sistem belajar.
Dengan landasan yang model demikian, Chinmi mulai membuka mindset bahwa ukuran ilmu tidak sebatas dalam kotak. Bahwa belajar keilmuan tidak sebatas jumlah teman dalam satu kelas, tidak sebatas jumlah teman satu universitas. Lebih dari itu, masih banyak lagi keilmuan yang perlu di pelajari. Apalagi keterbukaan informasi sudah dalam genggaman gawai di saku baju. Dengan fasilitas teknologi yang demikian, mahasiswa kampus mana pun dapat mengakses dan bertukar keilmuan secara bebas, borderless. Di dalam jurnal akademik, gelar kesarjanaan seseorang diletakkan, dan kebenaran diukur berdasarkan kekuatan argumentatif keilmuan. Meski bergelar “suhu”, bila dalam gelanggang argumentatif keilmuan diragukan dan terpatahkan oleh para reviewer, maka artikel yang disubmit tertolak.
Kesadaran lebih mendalam ketika Chinmi mulai belajar kepada Guru Yosen. Bahwa kungfu bukanlah pertandingan di atas ring. Ilmu bela diri itu berlangsung dalam sendi-sendi kehidupan keseharian. Bisa saja sewaktu-waktu lawan datang menyerang tanpa aba-aba, tanpa persiapan kita, tanpa aturan tarung, dengan senjata tajam, dan lain sebagainya. Goal-nya adalah kematian atau ketidakberdayaan yang diserang.
Orientasi pendidikan dalam pemahaman Chinmi yang tertanam sebelumnya diriset ulang oleh Guru Yosen. Bahwa keilmuan tidak terlepas dari sendi-sendi kehidupan. Sebagaimana yang pernah diungkapkan juga oleh almaghfurlah WS Rendra, “Apalah artinya Rendra-Rendra kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan”. Spirit tersebut berbeda dengan menyiapkan pendidikan dengan menyeleraskan pada kebutuhan industri. Yang terakhir ini manusia seakan didesain seperti mesin yang siap kerja, bukan seutuhnya berpikir. Memang, pilihan manusia sebagai mesin lebih praktis dan pragmatis, hanya saja model pendidikan yang demikian berusaha mengeluarkan manusia dari dirinya sendiri, yakni sebagai makhluk yang berpikir.
Dari sini, ada dua nilai penting yang ditanamkan dalam komik manga Kungfu Boy. Bahwa ilmu tidak sebatas hanya dalam pagar kampus (lembaga pendidikan) dan ilmu selalu bersentuhan dengan sendi-sendi kehidupan-keseharian. Kira-kira, dengan mengukur diri sendiri, proses belajar kita sudah menjadi gerak refleks keseharian sebagaimana ajaran Guru Yosen belum?
Baca Juga: Meneladani Spirit Literasi Nabi