tebuireng.co- Akhir-akhir ini banyak tersebar berita bohong atau hoax, yang terbaru pula adalah Daging Babi Berlabel Halal. dengan adanya berita Hoax, berita tersebar dengan begitu cepat. Keadaan ini berbeda jauh dengan keadaan di masa lalu. Dahulu kala dunia berputar secara lambat, tidak ada perubahan berarti dalam beberapa abad, namun hal itu berubah pasca revolusi industri abad 18 di Eropa, dunia berubah secara radikal dalam seratus tahun terakhir. Kerusakan alam terjadi dalam tempo yang sangat singkat, alam berubah secara drastis, berbanding lurus dengan perubahan budaya, perilaku sosial dan ekonomi. Seluruh sumber daya alam di belahan dunia dieksploitasi tanpa henti untuk memenuhi birahi modernitas manusia yang sejatinya sangat absurd.
Dahulu, manusia bersahabat dengan alam, sekarang? Lihat saja; Hutan ditelanjangi -pohon sebagai paru-paru dunia terus berkurang- demi menyuplai kebutuhan industri. Gunung ikut dibongkar, sepaket dengan emas, berlian, dan batu bara tak luput ikut dirogoh. Untuk alasan ekonomi dan modernitas segalanya boleh dihancurkan. Tidak berhenti di situ, kualitas dan produktivitas laut, sungai dan sawah semakin berkurang akibat ulah manusia. Bangsa yang unggul di bidang teknologi dan industri dapat dipastikan mampu menguasai dunia.
Era Digital, Era Instan
Dampak tidak langsung dari Revolusi Industri adalah lahirnya era digital, zaman sekarang manusia dituntut “bergerak cepat”, informasi datang dan pergi dengan gadget di genggaman, tidak ada lagi sekat jarak dan waktu, definisi keduanya menjadi absurd saat ini. Konsekuensi logis dari era ini manusia dituntut menjadi makhluk instan, dipaksa menyukai produk instan, mulai dari makanan, cara belajar, buku bacaan, dan cara berpikir, akhirnya bermuara pada ekonomis dalam nalar dan logika yang instan.
Dampak paling nyata dapat kita lihat fenomena anak muda yang mulai gemar beragama namun malas mengikuti siklus proses, belajar agama di pesantren yang membutuhkan waktu, dianggapnya menghabiskan waktu dan proses yang sia-sia. Kita tahu pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Nusantara yang memiliki kurikulum mengajarkan kitab kuning kepada para santri, membutuhkan waktu yang lama, karena kalangan Kiai Pesantren meyakini bahwa proses transmisi ilmu dan amal tidak bisa dilakukan secara instan. Proses menjiwai ilmu tidak bisa ditawar, butuh waktu untuk proses holistik.
Bagi mereka yang suka hal instan, peran Pesantren dianggapnya bisa digantikan dengan menonton ceramah dari televisi dan Youtube, membaca tabloid, majalah, booklet tentang Islam, mengikuti pengajian mingguan, lalu mendeklarasikan dirinya sebagai ustaz. Akhirnya hanya mengetahui Islam dari satu sudut pandang saja, simplifikasi dari spektrum Islam yang luas sangat disayangkan.
Sangat berbahaya ketika seorang pelajar yang baru menguasai satu bab, beranggapan seolah-olah mengetahui puluhan ribu buku, di hadapan orang seperti ini agama menjadi kaku, Halal-Haram, Hitam-Putih. Biasanya orang alim akan selalu merasa dirinya tidak tahu, merasa kurang ilmu, orang pandir selalu merasa mengetahui segalanya. Pada akhirnya lahir Islam Marahan, dan Islam Ngamukan, suka mencaci maki, menyebarkan kebencian, dan memfitnah.
Baca juga: Hoaks, Kabar Hj. Sinta Nuriyah Wafat
Disadari atau tidak, media sosial seperti Facebook, Twitter ikut berkontribusi terhadap degradasi moral, tidak ada lagi unggah-ungguh dalam berkomunikasi dengan orang yang lebih tua di dunia maya. Sikap ramah, santun, dan menghormati, menjadi komoditas langka mutakhir ini. Akibatnya budaya menyebarkan informasi bohong tidak ragu untuk dilakukan, biasanya isu agama yang sering digunakan dalam kasus ini, karena isu agama yang paling seksi untuk memecah belah umat, Berita bohong “hoax” tidak terbendung jumlahnya, sepertinya sengaja diproduksi demi satu tujuan, perpecahan agama dan bangsa yang mereka inginkan. Anehnya, di Indonesia ini masih banyak orang terpengaruh berita bohong, yang menyebarkan kebencian dan permusuhan antar golongan.
Bisa kita bayangkan betapa mengerikannya wajah Islam 20 tahun mendatang jika Islam didominasi oleh orang-orang seperti itu, mereka memiliki semangat beragama namun tidak dibarengi pemahaman agama yang komprehensif, dikarenakan proses pencarian ilmu agama secara instan menjadikannya fundamentalis tekstual.
Dalam surat al-Hujurāt ayat 6, Tuhan menuntun kita untuk Tabayyun, mengklarifikasi secara komprehensif segala bentuk informasi, jangan sampai menelannya secara mentah, menghakimi sebelum mengetahui fakta suatu peristiwa bukan tindakan yang bijak.
Kenapa Banyak Berita Hoax?
Anomali politik global, perang ideologi diyakini salah satu penyebab ramainya share berita bohong “hoax”, Imam al-Ghazali (1058-1111) dalam pendahuluan Autobiografinya Al-Munqidh Min Al-dalal mengingatkan kita agar tidak mudah percaya dengan panca indra dan akal, karena keduanya bisa jadi membohongi kita. Mungkin karena daya kritis dan kemampuan analisa yang kurang, sehingga mudah terbawa arus utama, seperti buih di lautan, yang jumlahnya banyak namun tak berdaya dihempas gelombang. Isu agama, hampir di setiap media, baik lokal maupun nasional banyak ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi.
Tumbuh suburnya media online bak jamur di musim hujan, penyebar hoax memiliki agenda yang sama, biasanya motif politik dan agama, mendelegitimasi pemerintah dan ormas keagamaan, yang tujuan akhirnya adalah meneguhkan posisi mereka baik secara ekonomi, politik dan ideologi. Ini yang perlu kita waspadai bersama, saat ini banyak sekali daging babi dengan kemasan daging sapi dan diberi label halal, kita harus tetap menjadi seorang pembaca yang cerdas dan kritis.
Karena informasi yang baik akan berbuah transformasi amal baik, sebuah informasi tak bermakna jika tanpa transformasi perilaku kita. Karena informasi dan ilmu adalah dua hal yang berbeda, informasi hanya transit di kepala, informasi bisa menjadi ilmu jika berdampak terhadap perilaku amal kebajikan kita, al-Qur’an yang menjadi kitab suci umat Islam hanya sebatas informasi, bukan ilmu, jika kandungan maknanya tidak kita hayati dan amalkan.
Fundamentalis Salafi Wahabi yang sangat gencar mengembangkan media dakwahnya, namun sangat disayangkan pertumbuhannya tidak dibarengi kualitas kontennya, berita yang disampaikan hanya kabar propaganda meresahkan umat Islam, didesain untuk menguntungkan golongannya saja, biasanya mengkritisi pemerintah secara serampangan, melanggar etika jurnalisme, jauh dari akhlak Islam Nusantara yang teduh, ramah, toleran dan mengayomi minoritas.
Menata Hati
Dalam Hadis Sahih yang didokumentasikan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW. bersabda, yang artinya; “Ingatlah bahwa dalam jasad (manusia) ada segumpal daging, apabila itu baik, maka baik seluruh raganya, dan apabila daging itu buruk, maka buruk seluruh raganya, gumpalan itu adalah Hati.” Dari hadis ini kita diajarkan arti penting menjaga kesehatan dan kesucian hati, karena aspek inti dari seorang mukmin, sangat wajar ketika para Sufi mentitik beratkan pada pensucian hati dan jiwa. Hati yang baik membawa manusia berperilaku baik. Segala pangkal kerusakan perilaku manusia berawal dari hati yang buruk.
Tuhan dalam banyak kesempatan menjelaskan kriteria hati, dampak dan bahayanya bagi umat manusia. Sedikitnya ada tiga jenis hati dalam jiwa manusia dua diantaranya sangat berbahaya bagi pemiliknya, Qalbun Marīd yaitu hati yang sakit dan yang kedua Qalbun Gulf hati yang tersegel dan sudah mati, celakalah bagi empunya, karena jenis ini sudah tidak bisa menerima kebenaran bahkan sungkan untuk mendekati kebenaran. Ketiga adalah Qalbun Salīm beruntunglah bagi pemiliknya, hati orang mukmin, salah satu ciri dari pemiliknya; apabila disebut nama Allah maka hatinya akan bergerak, dan bertambah keimanannya.
Keselamatan hati adalah pondasi untuk membersihkan perilaku manusia dari perbuatan fitnah, kebohongan, dan kebencian, di dalam hatinya tidak ada lagi kesibukan untuk mencela orang lain, karena hatinya dipenuhi cahaya ilahi, Allah SWT adalah tujuan hatinya. Hanya hati yang jernih yang mampu melihat sesuatu secara jernih, berharap dengan hati yang bersih kita dijauhkan dari kenajisan berbagai macam fitnah dan kebohongan. Semoga!
Oleh: Fathurrahman Rustandi, Penulis lepas, alumnus Ma’had Aly Tebuireng Hasyim Asyari dan Madina Institute Cape town