tebuireng.co – Senjata dalam perang merupakan sesuatu yang penting. termasuk dalam perang Afghanistan. Ada banyak cara memperoleh senjata, salah satunya lewat bantuan negara lain.
Menarik dibahas negara mana saja yang memasok perlatan perang bagi Mujahidin Afghanistan selain Amerika Serikat dan di mana peran Indonesia.
Apakah dulu Indonesia netral dalam konflik di Afghanistan?
Sejarah membuktikan Indonensia pernah mengirim senjata ke Afghanistan. Era Soeharto arah politik internasional Indonesia berubah total. Salah satunya yaitu mengirim senjata untuk Mujahidin Afghanistan
Indonesia dan Afghanistan memiliki hubungan khusus di era kepemimpinan Soeharto, khususnya Mujahidin di sana sudah terjalin cukup lama.
Dicatat Hendro Subroto dalam buku Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009, hlm. 451-452). Benny Moerdani memang mengumpulkan senjata untukl dikirim ke Afghanistan.
Jenderal TNI (Purn) Leonardus Benyamin Moerdani atau LB Moerdani mengirim senjata dan peralatan militer untuk membantu pejuang mujahidin di Afghanistan atas perintah Soeharto.
Waktu itu, pejuang mujahidin Afghanistan sedang melawan tentara Uni Soviet. Kisah ini berawal ketika Presiden Soeharto saat itu memerintahkan Benny Moerdani untuk mengirim bantuan kepada mujahidin Afghanistan. Cara pengirimannya diserahkan ke Benny Moerdani yang menjabat Panglima ABRI saat itu.
Kebijakan pemerintah Indonesia mengirim senjata tersebut merespons imbauan Amerika Serikat agar negara-negara di Asia membantu pejuang mujahidin. Sebagian negara Asia saat itu lebih berpihak kepada Negara Paman Sam daripada Uni Soviet.
Imbauan awal setiap bantuan yang dikirim harus melalui Amerika Serikat. Nantinya pemerintah AS yang mengirim langsung bantuan tersebut ke pejuang mujahidin. Namun Benny Moerdani mempunyai cara tersendiri untuk mengirim bantuan tanpa melalui AS.
“Kalau kita bisa lakukan sendiri, kenapa harus lewat Amerika,” kata Benny dalam buku “Belajar Uji Nyali dari Benny Moerdani”, yang dikutip, Jumat (20/8/2021).
Pengiriman paket ini diterbangkan dari Halim Perdana Kusuma lalu ke Pakistan dan kemudian dimasukkan ke Afghanistan. Senjata itu merupakan bantuan untuk para Mujahidin Afghanistan yang kala itu tengah melawan invasi Uni Soviet.
Paket untuk Afghanistan itu di antaranya jenis senjata laras panjang SKS buatan Israel dan senapan serbu AK-47 yang terkenal praktis bagi negara miskin. Bagi kaum Mujahidin, AK-47 adalah peralatan perang yang sangat andal untuk bergerilya melawan Soviet.
“Kami berikan senjata buatan Uni Sovyet itu agar mereka mudah memanfaatkan peluru yang mereka sita dari tentara Uni Sovyet di Afghanistan,” aku Marsekal Muda Teddy Rusdy, seperti dicatat Salim Haji Said dalam Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016, hlm. 148).
Barang yang dikirim itu adalah bekas pakai milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dari Operasi Trikora (pembebasan Irian barat). Banyak senjata Uni Soviet mangkrak setelah 1965. Di era kepemimpinan Soekarno, Indonesia memiliki hubungan yang dekat dengan Uni Soviet.
Peralatan militer Indonesia banyak dipasok dari Uni Soviet saat itu. Namun, kebijakan ini berubah setelah Soekarno lengser. Soeharto memiliki hubungan yang lebih dekat ke Amerika Serikat. Kebijakannya juga banyak yang pro Amerika.
“Senjata Rusia banyak tergeletak dan Taliban butuh, ya kami kasih saja,” aku Teddy dalam sebuah wawancara dengan awak majalah Tempo (12/10/2014).
Bantuan untuk Afghanistan itu adalah bagian dari operasi intelijen yang digalang Benny Moerdani. Pengiriman pada 1983 itu bukanlah kali pertama.
Sebelumnya, sekitar 1981, sudah ada pengiriman senjata dari Indonesia ke Afghanistan. Pada 18 Februari 1981, Benny sendirilah yang pergi ke Islamabad, Pakistan, untuk bertemu kepala intelijen Pakistan.
“Pertemuan itu membahas permintaan pejuang Afghanistan dan intelijen Pakistan untuk penyediaan logistik, obat-obatan, dan persenjataan buat pejuang Afghanistan,” kata Teddy.
Kala itu, Teddy memang ikut mendampingi Benny ke Pakistan. Menurut Direktur E/Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan BAIS ABRI, dalam Thinking Ahead (2009), jumlah senjata yang terkumpul dan siap dikirim ke Afghanistan mencapai 2000 pucuk senapan. Jumlah itu setidaknya cukup untuk mempersenjatai dua batalyon di Afghanistan.
Sebelum diterbangkan, nomor seri senjata-senjata itu dihapus dan dikemas dalam peti-peti berlambang Palang Merah, tentu untuk menyamarkannya sebagai bantuan makanan atau obat-obatan.
Teddy sendirilah yang mengantar bantuan persenjataan tersebut. Semua kegiatan Teddy dalam operasi itu dilaporkan kepada Benny lewat saluran khusus intelijen. Pesawat yang pembawa senjata itu tidak melewati India yang kala itu sedang mesra dengan Uni Soviet.
Ia diterbangkan melalui pangkalan militer gabungan Amerika Serikat dan Inggris di Diego Garcia, Kepulauan Chagos, di Samudra Hindia.
Setelah mandarat di Pakistan, peti-peti senjata itu diangkut dengan sejumlah truk menuju perbatasan Afghanistan.
Operasi intelijen ini tak dikoordinasikan dengan Atase Militer Indonesia untuk Pakistan yang kala itu dijabat oleh Kolonel Kavaleri Harjanto.
Menurut Hendro Subroto, operasi itu dilakukan dalam rangka mencari dana dan memberi peran pada Indonesia dalam “Perjuangan di Asia”. Waktu itu, Indonesia memang menjadi bagian dari Gerakan Non Blok.
Namun, operasi intelijen itu menjadi tengara bahwa Indonesia secara tak langsung dan diam-diam mendukung Amerika Serikat yang merupakan saingan Uni Soviet.