Dikisahkan bahwa Abu Yazid Al-Busthomi pernah merasakan kehambaran dalam iman. Ia tidak mendapati ḥalawah imān (manisnya iman). Setelah melakukan introspeksi diri, muḥāsabah, tetap belum menemukan titik alpha. Abu Yazid kemudian sharing dengan sang ibu tentang duka hati yang ia rasakan. Sang ibu membantu introspeksi diri terkait apapun yang berkaitan dengan anak tercinta. Ternyata, sang ibu menerka, barangkali salah satu perbuatannya dulu yang menjadi salah satu faktor.
Pada hari berikutnya, sang ibu menemui pemilik buah. Ia menceritakan bahwa dulu waktu mengandung Abu Yazid, ia pernah mendapati buah terjatuh di beranda rumah lantas memakan tanpa meminta izin terlebih dulu. Sang ibu meminta kehalalan buah yang pernah ia makan waktu hamil Abu Yazid dulu. Setelah mendapatkan kehalalan, sang ibu menanyakan kembali kondisi hati Abu Yazid. Ternyata sudah pulih dan mendapati kelezatan iman lagi.
Dalam hukum Islam, barangkali bisa kita klasifikasikan antara keharaman yang temporal (muaqqat) dan keharaman muabbad atau mutlak. Sebagaimana yang seringkali menjadi fenomena dalam kehidupan santri, asal pakai sandal sana-sini entah milik siapa, makanan juga demikian nasibnya, tidak jauh beda. Apalagi di pesantren salaf. Akan tetapi, setelah pelaku dan pemilik bertemu, meminta kehalalan, menjadi guyon gayeng lagi. Hilang sudah hukum haram yang sebelum duduk bareng.
Begitu juga ketika perut sudah kenyang. Hukum makan adalah haram, hingga sudah ada ruang lagi di dalam perut untuk diisi makanan, maka menjadi halal mengonsumsi. Anak kecil yang sedang demam, tidak diperbolehkan mengonsumsi es, ciki, dan yang mendukung keberlangsungan sakit. Setelah ia sembuh, maka hukum boleh berlaku kembali.
Hukum selalu berubah-ubah menyesuaikan kondisi dan waktu, ṣāliḥ likulli zamān wa makān (menyesuai dengan waktu dan tempat) atau yadūru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman (hukum berlaku seiring dengan bukti pendukung ada atau tidak).
Barangkali, pengharaman terhadap produk-produk Israel atau yang berkaitan dengan rantai Israel juga berakhir ketika negara tersebut tidak lagi melakukan agresi militer, dan berlaku kembali ketika Israel melakukan agresi. Pengharaman berbentuk boikot seperti ini juga berlaku terhadap siapapun atau negara manapun selama berbuat kezaliman, juga kemudian berlaku hukum sebaliknya ketika faktor penyebab keharaman tidak dijumpai lagi.
Tentu, perbincangan terhadap rantai keharaman sebagaimana mā ḥaruma ittikhādzuhu ḥaruma i’ṭauhu, keharaman produk memberlakukan hukum haram pada produsen atau yang memproduksi barang, haram juga berlaku pada penjual atau distributor, haram pada pembeli. Dengan rantai tersebut, maka para pekerja yang dalam kalangan menengah ke bawah, demi melindungi keberlangsungan keluarga, maka akan dihadapkan pada melanjutkan kinerja haram atau memutuskan untuk melanjutkan kerja.
Bagi mereka yang awam terhadap pola perubahan hukum, tentu menjadi korban. Sudah terlanjur mengundurkan diri demi mencari asupan halal, ternyata hukum sudah berubah menjadi halal sebab Israel telah mundur dari agresi militer, misalkan. Tapi yang jelas, para buruh dengan tipe ini memiliki solidaritas kemanusiaan yang tidak dapat diragukan lagi. Mereka lebih mementingkan kepentingan umum dan kemanusiaan ketimbang kepentingan pribadi atau keluarga sendiri.
Sedangkan bagi para buruh yang tetap melanjutkan kinerja di pabrik-pabrik yang di bawah naungan Israel, ternyata terselamatkan karir mereka, ekonomi keluarga mereka dengan adanya genjatan senjata. Setidaknya, ada beberapa minggu dalam durasi fatwa yang masuk hitungan haram. However, yang jelas hukum sudah berubah. Tinggal memotong bagian yang haram. Itu kalau berbicara hukum dan berusaha untuk menghindar dari keharaman demi meraih nilai-nilai akhirat.
Fenomena fatwa semacam ini juga pernah terjadi terkait pengharaman pakaian dan yang serba londo pada zaman penjajahan kolonial. Bahwa yang menyerupai londo berhukum haram adalah bentuk pemberontakan (non-kooperatif) terhadap kezaliman, tiran, “man tasyabbaha biqaumin, fahuwa minhum”, barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka berlaku hukum serupa. Sejauh yang terlihat, generasi zaman now sudah berpakaian ala londo meski bahkan lebih miris.
Baca Juga: Fatwa MUI: Haram Membeli Produk Pro Israel