Dalam Islam, babi adalah hewan yang diharamkan untuk dikonsumsi. Demikian juga khamar, secara dzātiyah (esensi) berhukum haram. Keharaman ini bukan faktor yang datang belakangan (al-‘āriḍ) seperti keharaman air, nasi, lauk, atau barang halal lainnya yang menjadi haram sebab hasil curian. Yang demikian, berhukum haram bukan sebab dzātiyah-nya, melainkan sebab illat atau al-‘āriḍ.
Rantai keharaman tidak selalu berjalan mulus di lapangan. Bahwa khamar berhukum haram, maka memproduksi khamar juga haram, menjual khamar juga haram, memberi khamar juga haram. “Mā ḥaruma ittikhādzuhu ḥaruma i’ṭāuhu”, sesuatu yang berhukum haram dikonsumsi, maka pendistribusiannya juga berhukum haram. Akan tetapi, setiap kaidah hukum pasti ada pengecualian, “kullu qāidatin mustatsnayāt”.
Kasus di lapangan ternyata penghuni satu wilayah tidak semua beragama Islam, apalagi menerapkan kaidah ajarannya. Heterogenitas menjadi keniscayaan, termasuk dalam menjalankan roda mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi non-muslim atau sebagian orang, babi dan khamar tetap memiliki fans, menjadi makanan dan minuman favorit. Buktinya, roda peternakan babi dan pabrik khamar masih tetap berjalan guna memenuhi permintaan pasar konsumen. Restoran, bar, kasino, dan tempat hiburan lain lebih memprioritaskan permintaan konsumen.
Bagi pribadi yang taat beragama, maka bertransaksi langsung dengan keharaman barang yang sudah mendapatkan legitimasi nash (Alquran dan hadis) menjadi pantangan tersendiri. Berbeda kasus bagi pengelola atau pemerintah yang menjalankan roda organisasi untuk kemaslahatan bersama, ḍarūriyah (keniscayaan), kemaslahatan khalayak luas, maka mendapatkan pengecualian, mendapatkan pemaafan (ma’fu ‘anh). Seperti pemberlakuan pajak pada usaha peternakan babi dan industri khamar, restoran penyedia barang tersebut, kasino, diskotik, juga barang haram lainnya.
Tanpa pungutan pajak yang diberlakukan terhadap para pengusaha barang “haram” dalam pandangan agama (Islam), maka tentu tidak fair. Perputaran finansial akan menjadi tidak berimbang dan timpang. Yang demikian itu ditentang oleh ajaran Islam, “kay lā yakūna dūlatan baina al-aghniyā’ minkum”, agar sirkulasi kekayaan tidak hanya berkutat pada orang-orang kaya saja. Padahal, dan sudah menjadi keniscayaan bahwa upaya untuk mengutamakan kebaikan bersama menjadi prioritas ketimbang kepentingan pribadi.
Sayyidina Umar bin Khatthab r.a pernah menghentikan barang rampasan perang (ghanīmah) yang diperoleh dari perang untuk didistribusikan pada para tentara. Barang rampasan dimasukkan semua dalam kas negara untuk dikelola pemerintah dengan melandaskan kebijakan tersebut pada QS. Al-Hasyr: 7 tersebut. Dengan masuk dalam pengolahan pemerintah, harapannya dapat didistribusikan secara merata dan lebih adil. Ketimbang dibagi di antara pasukan perang, mafsadah (kerusakan) yang ditimbulkan akan lebih besar. Selain harta akan berkutat pada orang-orang kaya, juga menjadikan pasukan perang menjadi malas untuk menjalankan kinerjanya. Mereka merasa sudah tercukupi kebutuhan keseharian dengan sekali dua kali perang.
Selain dari ghanīmah (jarahan perang), pemerintah juga memberlakukan pajak (jizyah). Dulu, awal perkembangan Islam, pajak diberlakukan pada non-muslim untuk keamanan dan kenyamanan mereka domisili di wilayah orang-orang Islam. Artinya, pemerintah waktu itu juga menerima sebagian harta “haram”, “syubhat”, atau “halal” guna kemaslahatan bersama, guna pembangunan dan pengelolahan yang lebih merata dan dapat dinikmati khalayak luas. Menjadi milik Allah SWT dan masyarakat, sedangkan pemerintah sebagai pengelola kebijakan semata.
Thomas Stamford Raffles juga merekam bahwa pungutan pajak di Jawa itu berlangsung sejak ajaran Islam masuk ke pemerintahan wilayah Nusantara. Sebelumnya, tidak. Dengan prioritas hidup bersama, keamanan bersama, perbaikan wilayah bersama, pajak tidak lagi memiliki agama, suku, ras, halal-haram, muslim dan non-muslim. Retribusi yang diserap oleh pemerintah demi kebaikan bersama dan hidup bersama.
Sejauh ini, pemerintah juga fair dalam mengetok kebijakan. Bahwa yang terkena beban pajak adalah orang yang memiliki kekayaan dalam standar yang sudah ditentukan, sedangkan bagi yang belum memenuhi standar, tetap wajib lapor. Bila menjadi kesadaran (bukan pemain), sebetulnya pemerintah membantu masing-masing individu yang lapor pajak tentang bagaimana mereka me-review sirkulasi keuangan, dan dengan demikian menjadi evalusi untuk mengembangkan diri lebih baik.
Baca Juga: Pekerja Pajak Masuk Neraka?