Guru agama dalam menanggulangi kekerasan seksual setidaknya memiiliki tiga peran, hal ini diungkapkan Wakil Sekretaris bidang Hukum, Perwakafan, dan Falakiyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Malang Zulkarnaen saat workshop Penanggulangan Kekerasan Seksual terhadap Anak dan Perempuan di Lembaga Pendidikan Berbasis Agama di lantai tiga kantor PCNU Kota Malang, Jawa Timur, Rabu (23/11/2022).
“Setidaknya ada tiga peran tokoh agama dalam penanganan kasus kekerasan seksual yaitu preventif, prementif, dan represif,” jelasnya.
Menurut dia, maksud dari preventif yaitu perbuatan mencegah agar tidak terjadi dengan bentuk perbuatan atau kebijakan. Semisal melakukan seleksi tenaga kerja, karyawan, dan pembentukan satuan tugas khusus pencegahan kekerasan seksual di lembaga.
Prementif yang dimaksud yaitu melakukan penyuluhan pada masyarakat lewat seminar, workshop, pelatihan, ceramah agama, dan tulisan maupun video. Dua tindakan awal ini paling urgen karena diperlukan sebagai langkah pencegahan sebelum terjadinya kekerasan seksual.
“Maksud dari represif yaitu tindakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara,” imbuh Zulkarnaen.
Zulkarnaen berargumentasi alasan kenapa peran guru agama dan tokoh agama dalam penanganan kasus kekerasan seksual sangat strategis karena tokoh agama memiliki wawasan keagamaan dan dipercaya banyak orang.
Penguasaan tokoh agama dengan ayat-ayat suci Tuhan membuat proses edukasi masyarakat lebih efektif. Integritas tokoh agama juga jadi rujukan masyarakat dalam masalah sosial.
Selain itu, peran guru agama dan tokoh agama juga dibutuhkan dalam memberikan wawasan dan cara menjaga diri ketika akan terjadi kekerasan seksual ke peserta didik atau orang yang rentan mengalami kekerasan seksual. Sehingga mereka memiliki kemandirian dalam menjaga diri dari pelaku. Ini sebagai benteng awal.
“Tokoh agama memiliki dua sisi, jika disalah gunakan maka akan merugikan masyarakat. Kekerasan Seksual di lingkungan pendidikan, 55 persen dilakukan guru,” ujarnya.
Sementara itu pakar hukum pidana Universitas Bina Nusantara (Binus) Ahmad Sofyan mengatakan pelecehan seksual ada beberapa model. Model tersebut yaitu pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Pelecehan seksual non fisik bisa berupa ucapan, pernyataan, siul, gerak tubuh dan lainnya. Pelecehan fisik lebih rinci ada di Peraturan Menteri Agama nomor 73 tahun 2022.
“Pelecehan seksual berbasis elektronik bisa berupa pengiriman video atau dokumen bernuansa seksual kepada orang lain tanpa persetujuan. Merekam tubuh orang lain tanpa izin,” tandasnya.