tebuireng.co – Kejahatan seksual dan terorisme menjadi isu yang cukup hangat beberapa tahun terakhir di Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) kembali mencoba hadir menanggapi isu ini.
Pada muktamar ke-34 NU di Lampung, dari awal persiapan pelaksanaan muktamar hingga formaturan jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) banyak melibatkan kaum perempuan. Isu kesetaraan Gender mengambil momen ini.
Tercatat, kali ini PBNU melibatkan banyak perempuan masuk di dalam kepengurusan pasca muktamar NU di Lampung. 11 tokoh perempuan menduduki sejumlah jabatan di kepengurusan baru.
Hadirnya perempuan di lingkungan pengurus PBNU diharapkan tidak semata diartikan sebagai upaya untuk mengakui adanya kesetaraan. Khususnya kesetaraan gender.
Kebijakan yang diambil oleh pimpinan NU ini diharapkan juga melahirkan sebuah concern baru NU terhadap isu-isu tentang perempuan secara menyeluruh.
Visi untuk menghidupkan Gus Dur yang diwacanakan oleh Gus Yahya sebagai pimpinan tertinggi NU selaras dengan keadaan sosial saat ini.
Gus Dur yang dikenal gigih dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan semasa hidupnya perlu dihadirkan kembali dengan gerakan bersama untuk menjawab kebutuhan moral masyarakat yang kian tereduksi.
Betapa kriminalitas, kejahatan seksual, perang antar kelompok dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan syari’at Islam dan nilai-nilai kemanusiaan masih marak terjadi.
Beberapa bulan yang lalu, kekerasan seksual terjadi di mana-mana. Mulai dari lingkup terkecil seperti keluarga, pertemanan hingga orang-orang yang tidak dikenal bisa menjadi korban atau pelaku tindakan amoral ini.
Lebih miris lagi ketika beredar kabar bahwa lokasi kejadian perkara adalah di lembaga pendidikan. Entah itu dilakukan oleh pihak tenaga pendidik terhadap peserta didik atau sebaliknya dan oleh sesama peserta didik sekalipun. Tentu, hal kasus-kasus seperti ini mencoreng marwah pendidikan Indonesia.
Begitu pun dengan dampaknya secara psikologis. Pertama kali yang akan merasakan trauma adalah si korban. Yang kedua ialah calon peserta didik selanjutnya yang mungkin saja akan mengurungkan niatnya untuk belajar di salah satu lembaga pendidikan sebab dirinya atau orang tuanya merasa bahwa lembaga pendidikan tidak sesuci namanya, dengan berjatuhannya banyak korban kekerasan seksual di beberapa lembaga pendidikan.
Di akhir jabatan KH Sa’id Aqil Siraj, dilakukan olehnya sebuah dialog dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Nadiem Makarim.
Yang mana pada dialog tersebut membahas tentang Permendikbud soal aturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), Kiai Sa’id menegaskan bahwa dengan alasan apa pun persetubuhan di luar pernikahan tidak diperbolehkan.
Pernyataan tersebut ia sampaikan sebagai koreksi terhadap Permendikbud nomor 30 Pasal 5 Ayat 2.
Baca Juga: Kekerasan Seksual
Sebagaimana telah disampaikan di awal, dengan hadirnya sejumlah perempuan di badan PBNU, harapannya adalah lahirnya sebuah gerakan baru yang lebih startegis oleh NU sebagai instansi dalam menyelesaikan dan mencegah terjadinya kembali kasus-kasus seperti di atas. Entah, dengan cara apa pun.
Mengapa persoalan kejahatan seksual dan terorisme sangat urgen untuk segara ditanggapi dengan tindakan-tondakan yang mengarah kepada kemaslahatan bersama? Tentu, sebab ia telah bertentangan dengan syari’at Islam dan juga nilai-nilai kemanusiaan.
Bila kita melihat ke belakang, semasa Rasulullah masih hidup, ia pernah menyatakan perang kepada Bani Qunaiqa yang awalnya memiliki perjanjian damai dengan Rasulullah Saw, peristiwa tersebut diawali dengan sebuah tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah seorang Yahudi dari Bani Qunaiqa terhadap salah satu perempuan Anshar.
Kisahnya, perempuan Anshar hendak membuat perhiasan kepada tukang perhiasan di pasar. Saat dirinya duduk, pria tukang perhiasan dengan sengaja meletakkan besi di bagian bawah pakaian yang perempuan Anshar kenakan.
Sebab perempuan Anshar tidak mengetahui hal tersebut, saat berdiri dari duduknya pakaiannya kemudian terbuka dan dirinya menjadi objek perhatian serta ejekan orang-orang di pasar.
Maka, dinyatakanlah dengan tegas oleh nabi perlawanan dan cabutan perlindungan terhadap Bani Qunaiqa dalam menanggapi kekejian dimaksud. Diriwayatkan oleh Abu Abdirrahman al-Baghdadi dari Imam al-Syafi’I, dari berbagai catatan sejarawan seperti Ibnu Ishaq, Musa bin ‘Uqbah dan lainnya.
Melihat begitu tegasnya nabi dalam menyikapi kasus kejahatan seksual yang terjadi di sekitarnya, maka hendaknya kita juga meneladani hal tersebut untuk kemudian diamalkan ke dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi golongan rakyat biasa (orang yang tidak memiliki kemampuan untuk membuat kebijakan atau tindakan yang meluas) hendaknya menyadari bahwa perbuatan demikian dibenci oleh Allah Swt, Rasulullah Saw dan bertentangan dengan nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan yang juga tercantum dalam Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia. Maka, dirinya sebisa mungkin untuk menghindarinya.
Dan NU sebagai Jam’iyyah Islamiyyah terbesar di dunia, langkah apa yang akan dilakukannya dalam menanggapi kasus demikian?
Pesantren bukan Sarang Teroris
Selain rentetan kasus seksual yang perlu diminimalisir oleh NU, Pesantren juga perlu dijamin bahwa ia sebagai lembaga pendidikan terbebas dari proses doktrinasi dan kaderisasi teroris. Kejahatan seksual dan terorisme perlu disikapi serius oleh organisasi sebesar NU.
Islam moderat sebagai landasan berislamnya warga nahdliyin, sekaligus sebagai poros dakwahnya laksana filter ekstrimisme beragama masyarakat Indonesia.
Ada salah satu adagium yang berbunyi bahwa “NU adalah Pesantren besar, sedangkan Pesantren adalah NU kecil”. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa keberlanjutan masa NU sebagai jam’iyyah sekaligus wadah Islam moderat bergantung pada Pesantren.
Yang darinya, kader penerus NU dilahirkan dengan subur dan berkelanjutan. Sehingga, mau tidak mau NU harus melakukan segala cara untuk mencegah Pesantren menjadi sumber kesuburan kader teroris.
Beberapa hari yang lalu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengeluarkan statement bahwa terhitung 198 Pondok Pesantren di Indonesia menjadi sarang teroris.
Dilansir dari depok.com, klaim BNPT di atas berdasarkan data intelijen yang dikumpulkan BNPT, dan penilaiannya dilakukan berdasarkan indicator yang berkaitan dengan radikalisme suatu kelompok.
Tentu, dengan adanya klaim tersebut menyebabkan masyarakat resah dan bingung. Utamanya para orang tua yang hendak memondokkan anaknya. Menanggapi hal demikian, ada sejumlah pihak yang keberatan dan menilai bahwa klaim BNPT tersebut berlebihan.
Masyarakat butuh kenyataan. NU juga membutuhkan kader untuk melanjtkan estafet pengabdian. Maka dari itu, jaminan bahwa Pesantren terbebas dari kegiatan terorisme perlu diperbaharui lagi dengan wujud yang lebih nyata. Bukan hanya terbatas pada pengajaran, tapi harus diupayakan gerakan yang lebih luas.
Dan di usianya yang telah menjelang satu abad ini, NU harus menunjukkan ketajaman taringnya bagi dunia dan peradaban. Sebab NU bukanlah manusia, yang semakin bertambah umur maka semakin tampak kelemahannya.
NU ialah sebuah perkumpulan. Didirikan atas dasar cita-cita besar para pendirinya. Ia dirawat dengan keilmuan beserta perkembangannya. Maka, kemajuan di setiap bertambahnya usia adalah keniscayaan yang perlu diwujudkan.
Ahmad Fikri