Ilmu Hadis dan Ilmu Fiqh merupakan bagian dari fan ilmu keislaman, bahkan keduanya muncul sebagai ilmu primer yang sangat penting untuk Islam itu sendiri. Ilmu Hadis berguna untuk menjaga kredibilitas hadis yang mana merupakan salah satu Mashadir ad-Diniyah setelah Al-Quran, sedangkan fiqh menjadi pedoman hukum ‘amaliyah seorang muslim dalam kesehariannya. Dengan fungsi masing-masing tersebut, kedua ilmu ini memiliki posisi yang sangat urgent dalam agama Islam.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dengan urgensi masing-masing dua ilmu ini, sangat disayangkan seperti telah terjadi dikotomi (kesenjangan) di antara keduanya. Misalnya, Kitab al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis yang ditulis oleh seorang ulama Mesir, Syekh Muhammad Al-Ghazali (w. 1416 H) dari nama kitab ini saja sudah memberikan kesan dikotomi tersebut. Seakan dua ilmu ini saling berseberangan, Muhaddis (Ahli Hadis) berada di satu pihak dan Fuqoha’ (Ahli Fiqh) di pihak yang lainnya.
Dalam hal ini kitab Syekh Muhammad Al-Ghazali di atas tidak sendiri, banyak kitab ulama-ulama kontemporer lainnya yang cenderung condong dengan dikotomi seperti itu. Misalnya, Muhammad bin Hasan al-Fasi (w. 1376 H) membuat satu bab berjudul an-Niza’ baina Ahl al-Hadis wa al-Ra’yi (terj. Konflik antara Ahli Hadis dan Ahli Ra’yi/Ahli Fiqh) dalam kitabnya al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami, kemudian Nadzrah Ammah fi Tarikh al-Fiqh al-Islami karya Ali Hasan Abdul Qodir, serta al-Madkhal li Dirasat al-Syariah al-Islamiyah karya Abdul Karim Zaidandan masih banyak yang lainnya.
Di pihak lain, orientalis justru memperkeruh problem dikotomi Ahli Hadis dan Ahli Fiqh tersebut. Mereka menggambarkan terjadinya perseteruan antara kubu Ahli Hadis dengan kubu Ahli Fiqh. Lebih ekstrem lagi, menurut Joseph Schacht (w. 1969) seorang orientalis Yahudi berkebangsaan Jerman berpendapat bahwa kedua kubu ini (Ahli Hadis dan Ahli Fiqh) telah membuat hadis palsu versi mereka masing-masing.
Menurut Schacht, hal ini terjadi karena masing-masing kubu menginginkan legitimasi yang lebih kuat untuk memperkuat hujjah-nya dan mempertahankan eksistensi mereka. Melalui teori Projecting Back-nya, Joseph Schacht akhirnya menyimpulkan bahwa baik dari pihak Ahli Hadis maupun Ahli Fiqh, keduanya sama-sama memalsu hadis. Bagaimanapun, kesan dikotomi itu memang pernah terjadi dan masih terasa hingga sekarang. Dirasakan atau tidak, muncul kecenderungan meyakini Ahli Hadis sebagai kelompok tekstual dalam memahami agama, sedangkan Ahli Fiqh lebih ke arah rasional-kontekstual. Apa dikotomi tersebut benar adanya?
Seperti yang telah dikatakan di atas, dikotomi Ahli Hadis dan Ahli Fiqh terjadi karena anggapan bahwa Ahli Hadis adalah kelompok tekstual sedangkan Ahli Fiqh sebagai pihak Ra’yu (Rasional-Kontekstual). Padahal faktanya, Ahli Hadis juga merupakan kelompok yang rasional. Dibuktikan dengan perumusan syarat-syarat autentisitas (kesahihan) hadis. Itu semua berdasarkan akal semata karena tidak ada satu dalil pun baik dari al-Quran maupun Hadis yang menentukan persyaratan tersebut. Dalam ilmu hadis, studi ini disebut dengan an-Naqdu al-Aqli li al-Hadis (Kritik Akal atas Hadis). Singkatnya, Ahli Hadis juga termasuk kelompok rasional-kontekstual sebagaimana yang telah diberikan untuk Ahli Fiqh.
Tak ayal bilamana dua ilmu ini (ilmu hadis dan ilmu fiqh) menjadi padu dan saling bersinergi dalam banyak hal. Satu contoh, ketika Ahli Hadis merumuskan kriteria hadis yang dapat dijadikan hujjah. Buah (Hadis) yang telah “disaring” oleh Ahli Hadis tersebut, nantinya akan diambil oleh Ahli Fiqh kemudian meng-hujjah-kannya (menjadikan dalil) untuk hukum Fiqh mereka. Di sisi lain, Ahli Hadis juga berbeda kriteria dalam pengkualifikasian autentisitas (kesahihah) hadis. Buah (hadis) “saringan” menurut Ahli Hadis pertama ditetapkan sebagai Maqbul (dapat diterima sebagai hujjah), namun bisa saja dikatakan Mardud (tidak dapat dijadikan hujjah) menurut Ahli Hadis lainnya. Efek baiknya, hal ini akan berpengaruh pada kelenturan (elastisitas) hukum-hukum fiqh nantinya. Kelenturan atau elastisitas ini-pun menjadikan hukum fiqh shalih li kulli zaman wa makan (dapat berlaku untuk setiap zaman dan tempat).
Contoh yang lain, ketika menentukan status hukum dalam hukum-hukum fiqh maka sub-fan ilmu hadis turun berperan, salah satunya adalah ilmu Mukhtalaf al-Hadis (Kontroversialitas Hadis). Ilmu ini berhasil menelurkan teori-teori “Tarjih” yang mana teori tersebut kemudian diterapkan oleh Fuqaha’ (Ahli Fiqh) dalam ijtihad-ijtihad mereka. Singkatnya, dengan dua contoh ini baik yang pertama ataupun kedua dapat dilihat bahwa tidak ada dikotomi yang terjadi di antara Ahli Hadis dan Ahli Fiqh. Justru keduanya saling melengkapi dan beriringan satu sama lain.
Ahli Hadis dan Ahli Fiqh adalah dua sosok yang akrab, bahkan dua keahlian itu sering menyatu pada diri seseorang. Sebagaimana yang telah diketahui di atas bahwa Ilmu Mukhtalaf al-Hadis merupakan salah satu sub-fan Ilmu Hadis. Penggagas ilmu ini adalah Imam as-Syafi’i, salah satu dari empat imam madzhab fiqh melalui kitabnya Ikhtilaf al-Hadis. Di sisi lain, Imam as-Syafi’i juga disebut dengan Nashir ad-Din (Pembela Sunnah) karena usahanya dalam membela eksistensi hadis dahulu. Maka, apakah Imam as-Syafi’i adalah Ahli Hadis atau Ahli Fiqh?. Bagaimana dengan imam madzhab empat lainnya yang kondang sebagai Ahli Fiqh namun di saat yang lain juga terkenal sebagai Muhaddis (Ahli Hadits)?
Belum lagi apabila ditambah dengan keberadaan kitab Sunan, Muwattha’, dan Mushannaf yang mana kitab-kitab hadis tersebut disusun berdasarkan bab-bab Fiqh. Kemudian ketika ditambah dengan posisi para ulama Islam yang cerdik cendekia (‘Alim ‘Allamah) seperti Imam Bukhori, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani, Imam an-Nawawi, dan yang lainnya yang telah masyhur sebagai Ahli Hadis ternyata mereka juga dikenal sebagai Ahli Fiqh. Maka di mana letak dikotomi atau kesenjangan tersebut?.
Baca juga: Ilmu Hadis, dari Nabi Muhammad sampai ar-Ramahurmuzi