Ilmu hadis adalah kaidah-kaidah yang membahas tentang keadaan atau sifat para perawi dan hadis yang diriwayatkannya. Perawi adalah orang-orang yang membawa, menerima, dan menyampaikan berita dari Nabi Muhammad saw.
Di masa Nabi Muhammad saw, penyampaian hadis dilakukan tidak hanya secara lisan namun juga melalui perbuatan dan tingkah laku beliau. Pada masa ini para sahabat menerima hadis dengan cara menghafal dan sedikit yang menuliskannya.
Penulisan hadis pada masa awal sangat terbatas mengingat adanya pelarangan mengenai penulisan hadis lantaran ada kekhawatiran bercampurnya dengan ayat-ayat al-Quran, sebelum kemudian ada riwayat nabi memperbolehkannya.
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, para sahabat di masa Sayyidina Abu Bakar sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, selain karena mereka sedang fokus pada pengkodifikasian Al-Quran, Sayyidina Abu Bakar juga tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali orang tersebut sanggup mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya.
Selanjutnya pada masa Sayyidina Utsman mulai diberlakukan pembatasan periwayatan hadis atau taqlil ar-riwayah, para sahabat tidak meriwayatkan hadis kecuali disertai dengan saksi dan sumpah bahwa hadis yang diriwayatkan benar-benar dari Nabi Muhammad saw. Saat itu para sahabat merupakan rujukan utama bagi dasar periwayatan hadis.
Para sahabat juga telah meletakkan pedoman periwayatan hadis untuk memastikan keabsahan suatu hadis. Hal ini mereka lakukan supaya dapat diketahui mana hadis makbul (terterima) untuk dapat diamalkan dan hadis mardud (tertolak) untuk ditinggalkan.
Di masa Sayyidina Ali terjadi pergolakan politik di dalam tubuh umat Islam yang turut mempengaruhi perkembangan ilmu hadis. Pada masa ini umat Islam terpecah belah sehingga memunculkan beberapa aliran atau sekte.
Pada masa ini banyak terjadi pemalsuan hadis oleh berbagai sekte guna mencari dukungan politik dan dukungan massa. Melihat kondisi tersebut maka para ulama mulai berupaya membentengi hadis dari pemalsuan, diantara yang mereka lakukan adalah mengecek kebenaran hadis dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapat hadis harus disertai dengan sanad. Sebagaimana ungkapan ulama hadis ketika dihadapan suatu periwayatan: Sebutkan kepada kami para pembawa beritamu.
Berikutnya pada masa tabi’in, mulai banyak dari mereka yang meneliti dan mengkritik hadis seiring dengan berkembangnya masalah-masalah mengenai matan hadis. Demikian juga di kalangan ulama-ulama hadis selanjutnya.
Perkembangan ilmu hadis semakin pesat ketika ahli hadis membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan perawi hadis kuat atau tidak (dhabit), bagaimana metode penerimaan dan penyampaiaan (thammul wa ada), hadis yang kontra bersifat menghapus (nasikh dan mansukh) atau kompromi, kalimat hadis yang sulit dipahami (gharib al-hadits), dan lain-lain.Namun, aktivitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan dari mulut ke mulut dan tidak tertulis.
Ketika pada pertengahan abad kedua sampai abad ketiga hijriyah, ilmu hadis mulai ditulis dan dikodifikasi dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, masih bercampur dengan ilmu-ilmu lain dalam berbagai kitab. Tetapi pada dasarnya, penulisan hadis sudah dimulai pada masa ini.
Imam Syafi’i (w. 204 H) adalah ulama yang awalnya mewariskan teori-teori ilmu hadis secara tertulis sebagaimana terdapat dalam beberapa karyanya. Misalnya ilmu hadis bercampur dengan ilmu ushul fiqih, seperti dalam kitab Ar-Risalah, atau bercampur dengan fiqih seperti dalam kitab Al-Umm, dan solusi hadis-hadis yang kontra dalam kitab Ikhtilaf Al-Hadits.
Di antara kitab-kitab ilmu hadis yang muncul pada masa ini adalah kitab Mukhtalif Al-Hadits karya Ali bin Al-Madani (w. 234 H), dan Ta’wil Mukhtalif Al-Hadits karya Ibnu Qutaibah (w. 276 H). Penulisan kedua kitab tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya serangan kelompok teolog yang sedang berkembang pada masa itu, terutama dari golongan Mu’tazilah dan ahli bid’ah.
Ulama lain yang menulis ilmu hadis pada masa ini antara lain, Imam Muslim (w. 261 H) dalam kitab Shahih-nya, Thabaqat At-Tabi’in dan Al-‘Ilal, Imam Tirmidzi (w. 279H) pada akhir kitab Jami’-nya, Al-Asma’ wa Al-Kuna dan Kitab At-Tawarikh, Imam Bukhari (w. 256 H) menulis tiga Tarikh, yaitu At-Tarikh Al-Kabir, At-Tarikh Al Awsath dan At-Tarikh Ash-Shaghir, dan Muhammad bin Sa’ad (w. 320) Ath-Thabaqat Al-Kubra. Ada pula di antara mereka yang menulis secara khusus tentang periwayat yang lemah seperti Ad-Dhu’afa’ ditulis oleh Imam Bukhari dan Ad-Dhu’afa’ ditulis Imam Nasa’i (w. 303 H), dan lain-lain.
Perkembangan ilmu hadis baru mencapai puncaknya dan berdiri sebagai ilmu tersendiri pada abad keempat hijriyah dengan munculnya al-Ramahurmuzi (w. 360 H) dengan judul kitabnya al-Muhaddis al-Fasil bain al-Rawi wa al-Wa’i.
ar-Ramahurmuzi atau disebut juga Abu Muhammad al-Khalad, telah berjasa dalam mempelopori dan melakukan pengumpulan dan pembukaan hadis, baik pembukaan dalam bentuk tahapan awal yang bersifat sangat sederhana, maupun dalam penyempurnaannya dengan melakukan pemisahan antara hadis Nabi Muhammad dengan yang bukan, antara hadis yang diterima dengan hadis yang ditolak
Langkah inilah yang menjadikannya dinobatkan sebagai perintis ilmu hadis. Meskipun tulisannya ini merupakan hasil kodifikasi dari istilah-istilah yang bertebaran di berbagai kitab sebelumnya. Namun, peran ar-Ramahurmuzi sangat besar dalam perkembangan hadis dan ilmu hadis. Dengan ini ia berhak disebut pelopor pertama yang menjadikan ilmu hadis sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Imam Adz-Dzahabi melebeli ar-Ramahurmuzi sebagai sosok yang tsiqah (terpercaya),“kana ahadul-atsbat akhbariyyan sya’iran” Komentar ini menunjukkan bahwa ar-Ramahurmuzi tergolong salah satu orang yang dapat dipercaya berita dan sastranya. Imam Adz-Dzahabi juga memasukkannya dalam deretan kategori al-Hafid, hingga ia menulis biografi ar-Ramahurmuzi dalam karyanya Taddzkiratul- Huffad.