tebuireng.co– Membaca kembali tantangan besar umat Islam Indonesia pasca Resolusi Jihad, sebab banyak anak muda zaman sekarang tidak memahami tentang Indonesia. Saya pernah datang ke satu kampus untuk melakukan diskusi dengan mereka, kemudian salah satu dari mereka berkata:
“Pak, tugas kami kan belajar. Nanti kalau sudah belajar dan menjadi pintar kami akan cari uang sebanyak-banyaknya agar bisa hidup senang. Dan terserah kami uang itu akan kami gunakan untuk apa, yang penting kami bayar pajak. Nah… soal kebangsaan, nasionalisme, miskin, dan kaya bukan urusan kami tetapi pemerintah.”
Mungkin fenomena pemuda seperti di atas adalah wujud dari generasi milenial saat ini, kosmopolitan atau generasi zaman now. Ada sebuah survei tentang kecenderungan kepedulian pemuda yang dilakukan oleh teman-teman dari Universitas Indonesia dan hasilnya begitu mengejutkan. Survei itu menunjukkan dua kepedulian pemuda.
Pertama, mereka akan marah jika disinggung kelompoknya. Kedua, mereka akan marah jika disinggung agamanya. Tetapi, kalau sumber daya alam, sekolah, ekonomi, tambang diambil atau dikuasai oleh pihak lain mereka tidak marah.
Oleh sebab itu, saya ucapkan terimakasih atas terselenggaranya acara ini (Aktualisasi Resolusi Jihad) dan apresiasi patut diberikan agar bangsa ini mengerti sejarah sebelum dan sesudah Indonesia merdeka hingga sampai saat ini. Hal ini menjadi penting karena banyak beredar kesalah pahaman atau paham yang salah di masyarakat kita.
Orang melaksanakan dan taat pada ajaran agama dianggap menjauh dari kebangsaan dan tidak Pancasialis. Orang yang memekikkan Allahuakbar dianggap radikal dan seterusnya. Paham yang seperti itu yang perlu kita luruskan.
Saya kira, orang yang melaksanakan ajaran agama dengan kesungguhan akan tetap sejalan dengan kebangsaan. Orang yang taat beragama ya tetap disebut Pancasilais. Oleh karena itu, diskusi tentang sejarah Indonesia sebelum dan sesudah merdeka perlu kita gencarkan.
Perkembangan nasionalisme dimulai sekitar abad ke-18. Ditandai dengan kemerdekaan Amerika pada tahun 1776, kemudian disusul Revolusi Perancis pada 1786. Sedangkan kesadaran nasionalisme di Indonesia tumbuh pada abad ke-20 meskipun sebetulnya abad ke-19 sudah ada. Tetapi ketika itu suku bangsa masih terasa sangat kuat. Dan pada abad ke-20 lah mulai lahir beberapa organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Sarekat Islam dan seterusnya.
Pancasila dan Resolusi Jihad
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari (kemudian disebut Hadratussyaikh) merupakan tokoh terpenting dalam melahirkan nasionalisme Indonesia. Pemikiran dan seruannya diterima dengan mudah dan penuh antusias oleh masyarakat luas. Padahal konsekuensi menjalankan seruan Hadratussyaikh adalah kehilangan nyawa.
Peran Hadratussyaikh begitu besar dalam menggelorakan nasionalisme dalam rangka menggerakkan masyarakat merebut kemerdekaan Indonesia. Juga mempertahankan Indonesia dari agresi kaum penjajah yang ingin kembali mengeksploitasi Indonesia dengan berbagai cara. Pemikiran dan seruan Hadratussyaikh tentang nasionalisme di antaranya menjadi jargon, “Hubbul wathon minal iman”, cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Jargon itu pula yang mempengaruhi pemahaman umat Islam di tanah air tentang nasionalisme.
Baca juga: Kisah Ijazah Istighotsah KH Hasyim Asyari yang Sempat Hilang
Seruan Hubbul wathon minal iman kemudian ditegaskan secara formal dengan Resolusi Jihad, yang menjadi landasan umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan dengan pekikan takbir pada waktu itu. Tanpa jargon yang dilontarkan Hadratussyaikh tersebut, mungkin kita tidak akan pernah mendengar orasi berapi-api dari Bung Tomo dengan pekikan Allahuakbar yang membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk melakukan perlawanan.
Masih karena jargon tersebut, umat Islam seantero Nusantara pada saat itu memiliki pemahaman baru. Bahwa berjuang untuk kemerdekaan bangsa dari penjajahan adalah termasuk dalam kategori jihad dan berhukum fardhu ain alias wajib atas semua muslim. Dalam jargon itu nampak sekali bahwa Hadratussyaikh menjadikan Islam sebagai landasan dan spirit bagi konsepsi nasionalisme.
Islam menjadi motor penggerak pergerakan yang mampu memobilisasi banyak orang dengan tanpa rasa takut. Dan hanya ulama sekelas Hadratussyaikh yang memiliki kapasitas untuk membuat jargon itu sangat berpengaruh. Bahkan tidak sedikit dari kita menganggap bahwa jargon tersebut adalah hadis. Bisa jadi, jika bukan ulama sekaliber Hadratussyaikh yang menggelorakan jargon tersebut, akan muncul anggapan ahistoris atau kurang memiliki landasan sumber otoritatif dalam Islam.
Pandangan Hadratussyaikh yang lebih jelas tentang bahwa sesungguhnya Islam dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan. Gagasan Hadratussyaikh tentang nasionalisme juga tercermin dalam pemikiran dan langkah politik putranya, KH. A. Wahid Hasyim yang menjadi salah satu anggota BPUPKI.
Dalam badan inilah dibahas dasar negara Indonesia merdeka dengan suasana yang sangat dinamis. Dan pada akhirnya dengan pertimbangan yang sangat komprehensif dalam konteks kecintaan pada Bangsa Indonesia yang berkebhinekaan dengan segala dinamikanya yang kian keras, Pancasila akhirnya disepakati menjadi landasan falsafah bernegara kita.
Siapa pun tidak akan bisa dan tidak akan pernah bisa mengingkari bahwa keseluruhan sila Pancasila sangat selaras dengan agama, terutama agama Islam. Nilai-nilai yang terdapat dalam silanya terasa sangat kuat bahkan dalam beberapa frasa sama persis dengan ajaran fundamental dalam Islam. Jadi tidak berlebihan jika dikatakan bahwa prinsip-prinsip dalam keseluruhan silanya adalah perasaan dari doktrin dasar Islam yang ditransformasikan ke dalam konsepsi dasar bernegara kita.
Ketuhanan yang Maha Esa atau tauhid, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, keadilan. Semuanya adalah perintah secara tegas yang terdapat dalam ajaran Islam baik dari Al Quran maupun Sunnah Nabi Muhammad. Lebih jauh lagi adalah tidak hanya dalam tataran konsep dan doktrin. Nabi Muhammad bahkan memberi contoh hidup terbaik dalam membangun sebuah negara bangsa yang di dalamnya terdapat entitas-entitas yang berbeda secara SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan), yang diatur sedemikian rupa sehingga dianggap sebagai sebuah negara atau kota yang didasarkan pada konsensus bersama yang disebut dengan Piagam Madinah.
Banyak pakar sosial-politik Barat menganggap bahwa tatanan masyarakat dan negara yang dibangun oleh Nabi jauh melampaui zamannya. Tatanan tersebut sebetulnya didahului dengan adanya konsensus awal dengan peserta yang terbatas. Pada tahun dua belas kenabian, sekelompok orang Yatsrib melakukan Bai’atul Aqabah pertama dan pada tahun berikutnya dilanjutkan dengan Bai’atul Aqabah kedua.
Kedua bai’at itulah yang sering disebut dengan cikal bakal kontrak sosial atau social contract dalam teori sosial-politik modern. Bahkan ilmuan Barat seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Rousseau menteorisasikannya dalam disiplin ilmu sosial-politik yang umumnya sekarang kita kenal, Islam lebih maju belasan abad dalam tradisi dan praktek pembangunan negara modern.
Kembali kepada konteks Hadratussyaikh dan Indonesia pasca reformasi. Nampak sekali bahwa umat Islam semakin bisa menerima Pancasila sebagai landasan filosofis negara kita. Terbukti dengan eksponen-eksponen Islam arus utama di Indonesia terutama NU dan Muhammadiyah secara eksplisit menyebut paradigma kebangsaan atau nasionalismenya dalam langkah dan gagasan politik mereka.
Gus Dur misalnya yang merupakan representasi kalangan NU telah terlebih dahulu setelah reformasi, membentuk Parta Kebangkitan Bangsa (PKB). Bukan partai Islam. Sedangkan Amin Rais pada waktu itu dari kalangan Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), yang pada mulanya bernama Partai Amanat Bangsa (PAB). Tetapi ketika pegambilan suara untuk nama partai, banyak yang memilih nama PAN. Kata bangsa dan nasionalisme adalah dua kata yang memiliki arti sama.
Jadi sesungguhnya kita bisa menyebut partai-partai pasca reformasi lahir dengan menjiwai dan memahami bahwa Pancasila tak terpisahkan dari kegiatan politik Indonesia. Fakta tersebut menunjukkan bahwa umat Islam arus utama Indonesia telah memiliki sikap yang sangat jelas tentang pola hubungan antara agama dan negara yang didesain sebagai negara bangsa.
Dengan adanya ruang-ruang yang sangat luas bagi agama bisa dikatakan bahwa nasionalisme Indonesia sesungguhnya makin kokoh dengan paradigma religius. Dan inilah yang membedakan nasionalisme Indonesia dengan nasionalisme Barat. Kita harus terus menjaganya agar segala upaya terselubung apalagi yang terang-terangan yang ingin memisahkan nasionalisme dan agama atau membenturkan antara Pancasila dengan Islam dan umat Islam bisa diantisipasi. Karena upaya-upaya semacam itu hanya akan merusak konsensus yang sudah dibangun oleh para pendiri negara kita.
Sebaiknya kita mengikuti Peraturan Perundang-undangan di negara kita dengan logika yang sangat sederhana, pilihan mengikuti mereka bisa kita tunjukkan sebagai alasan yang lebih rasional. Artinya, mengikuti para pendiri negeri ini seperti Hadratussyaikh, KH. Ahmad Dahlan, para pejuang kemerdekaan dll adalah karena mereka berjuang bukan karena jabatan (tidak seperti sekarang) tetapi berjuang dengan segala keikhlasan tiada cita-cita lain kecuali agar anak cucu mereka mendapatkan konsep negeri yang terbaik. Sehingga bisa menentukan nasib sendiri untuk kebaikan anak keturunan selanjutnya.
[Tweet “Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari , KH. Ahmad Dahlan, dan para pejuang kemerdekaan, mereka berjuang bukan karena jabatan dan pangkat tetapi berjuang dengan segala keikhlasan tiada cita-cita lain kecuali agar anak cucu mereka mendapatkan konsep negeri yang terbaik. “]
Agenda terpenting yang harus kita lakukan saat ini adalah terus mengupayakan transformasi ajaran-ajaran agama Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan. Baik melalui jalan kultural maupun struktural. Jalan kultural telah disemai dan dikuatkan oleh para ulama dengan melakukan pendidikan masyarakat dan pesantren merupakan salah satu lahan persemaian transformasi ajaran Islam dengan jalan kultural yang sangat strategis.
Melalui pesantren lahir pribadi-pribadi santri yang memiliki penghayatan yang baik kepada Islam. Pendidikan di pesantren tidak hanya tentang ilmu tetapi juga akhlak. Sehingga kaum santri menjadi pribadi berkarakter kuat. Jalan struktural harus terus kita upayakan dengan melahirkan kebijakan politik yang membuat ajaran agama Islam bisa kita jalankan dengan lebih baik, tanpa membuat umat lain merasa terusik.
Kaum Santri dan Mayoritas Umat Islam
Sumber daya manusia kaum santri yang sekarang melimpah harus diarahkan dengan lebih sistemik untuk memasuki medan politik sebagai pembawa ajaran substansi Islam yang hendak ditransformasikan ke dalam kebijakan politik. Dengan demikian jalan kultural dan struktural bertemu pada satu jalan perpaduan yg mengarah kepada tujuan kehidupan yaitu ridha Allah.
Permasalahan saat ini adalah umat Islam yang hampir mayoritas (85%) di Indonesia ini belum mampu kita konversi menjadi kekuatan politik. Walaupun lulusan kampus kita ini hebat tetapi bila bersaing pada pemilihan kepala daerah atau gubernur sering kali mengalami kekalahan.
Umat Islam yang besar dan mayoritas ini belum mampu kita konversi menjadi kekuatan ekonomi padahal dalam Al Quran dikatakan, “Ummatan wasaton litakunu syuhada’ alan nass”, umat Islam adalah umat tengah yang bisa menjadi wasit dan model karena umat Islam adalah umat terbaik di muka bumi.
Kalau umat Islam yang besar ini tidak bisa kita konversi menjadi kekuatan politik dan ekonomi akan menjadi permasalahan. Kalau dua ini (ekonomi dan politik) tidak bisa kita lakukan, maka tidak mungkin Indonesia menjadi negara maju dan berjaya. Sebab tanpa majunya umat Islam, tanpa kuatnya ekonomi umat Islam, karena ia mayoritas di Indonesia maka tidak mungkin negara ini maju dan berjaya. Oleh karena itu, dengan didahului oleh para pendiri negeri ini, Hadratussyaikh, para alim ulama dan para santri mari kita teruskan perjuangan itu. Dengan fokus menghadapi dua tantangan politik dan ekonomi.
Jumlah pesantren mungkin puluhan ribu, jutaan bahkan lebih jumlah kaum santrinya. Oleh sebab itu di pesantren harus ada tiga keterampilan yang diberikan, pertama ilmu, kedua keterampilan ekonomi, dan ketiga kesadaran terhadap persatuan. Jika jumlah santri puluhan juta, tidak semuanya toh menjadi kiai atau ustad. Jadi fokus kita untuk saat ini adalah ilmu pengetahuan dan ekonomi.
Saya berharap, pengkajian ini bisa menjadi pelopor untuk mempersatukan umat Islam. Jadi kawan-kawan memiliki tanggung jawab besar untuk mempersatukan umat Islam yang besar dan beragam ini. Beberapa waktu yang lalu saat saya datang ke sebuah acara di Aceh dan bertemu dengan sekitar 500 ulama dari berbagai kalangan. Mereka bertanya tentang kerisauan mereka dan keadaan umat Islam ditambah tentang isu-isu yang berkembang mutakhir ini. Termasuk pada waktu itu tentang pemeriksaan para ulama.
“Kenapa kita besar tidak dihormati?” Tanya mereka. Saya mengatakan, “Kita akan dihormati orang tergantung kepada kita. Kalau kita bisa menghargai diri, orang akan menghormati sesuai dengan apa yang kita perbuat.” Kemudian saya katakan lagi, “Kalau umat Islam dinilainya bisa diselesaikan dengan besek dan sembako, ya itu nilai kita. Umat Islam gampang, nanti diberi besek, uang transport dan sembako ya itu menjadi ukuran kita dipandang oleh pihak lain.”
Kalau kita mengatakan Islam itu agama rahmatan lil alamin, lah siapa yang percaya? Kalau antar kita berkelahi terus. Sama Islamnya, beda ormasnya masih saja berkelahi. Kita mengatakan Islam itu agama yang baik, tetapi kita tidak mencontohkan seperti itu. Oleh karena itu, saya berharap lembaga Pusat Kajian Pemikiran Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari menjadi pelopor persatuan, karena salah satu pelopor Indonesia merdeka ada di sini.
Kalau kita sudah bersatu, tersisa dua PR penting yaitu ilmu dan ekonomi. Kalau ilmu sudah, ekonomi kita kuat maka kekuasaan dan kekuatan politik bisa juga kita kuasai dalam artian yang positif. Tetapi kalau ekonominya lemah, ilmunya kalah, pasti yang dalam kekuasaan dan kekuatan politik kita juga akan kalah.
Oleh: Dr. (H.C) Zulkifli Hasan, S.E., M.M. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) periode 2014-2019. Disampaikan dalam Seminar Resolusi Jihad (Membedah Pemikiran dan Perjuangan KH. M. Hasyim Asy’ari)