Para santri yang melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi dan dinyatakan lulus, tidak sedikit dari mereka yang merasa pekiwuh menyematkan gelar kesarjanaan. Alih-alih merasa kurang pantas menyandang gelar kesarjanaan dengan ilmu yang mereka peroleh. Sikap yang demikian sangat disayangkan.
Banyak cerita yang tersimpan dalam gelar kesarjanaan. Dari jerih payah orang tua yang mencarikan biaya pendidikan, pemerintah yang memberikan beasiswa, CSR perusahaan, atau lembaga sosial yang sudah memberikan slot guna mendongkrak capaian pendidikan nasional, hingga para teman yang menyisipkan waktu untuk menemani diskusi, dosen atau guru yang meluangkan waktu mengalirkan ilmu yang mereka miliki.
Cara menyukuri atau mengucapkan terima kasih atas jerih payah mereka tiada lain dengan qauliy (ucapan) dan fi’liy (tindakan). Berterima kasih dengan tindakan antara lain ialah menyematkan gelar kesarjanaan. Itu menjadi satu fase capaian. Lembaga yang mengupayakan gelar kesarjanaan pun merasa terhargai dengan para wisudawan memyematkannya dalam deretan nama mereka. Sebagaimana orang yang memberi pasti merasa puas dan senang bila si penerima menggunakan pemberiannya.
Kalaupun merasa belum mendalam terhadap disiplin ilmu yang digeluti, maka ada jenjang pendidikan lanjutan untuk terus mengembangkan diri. Tentu, ada gelar lain yang perlu disematkan kemudian. Kedalaman ilmu Allah SWT tidak akan terjangkau meski usia manusia habis. Sebagaimana yang dialami oleh Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari ketika dilamar menjadi menantu oleh Kiai Yakub, Pengasuh Pondok Siwalan. Dalam paparan KH Abdul Karim Hasyim, waktu itu ayahandanya merasa belum siap menikah dan masih haus ilmu. Alasan tersebut kurang diterima oleh Kiai Yakub karena ilmu Allah SWT memang tiada habisnya. Alhasil, Hadratussyaikh menikah dengan Nyai Nafisah setelah mendapatkan restu dari kedua orangtua.
Ada sabda baginda Rasulullah SAW yang sangat familiar, “Anā sayyidu waladi adām walā fakhar,” aku adalah tuan bagi seluruh anak cucu Adam a.s dan tidak sombong. Hadraturrasul mengungkapkan kebenaran tanpa bermaksud menyombongkan diri. Seorang dokter praktik tanpa pasang plakat, maka tidak akan diketahui para pasien sedangkan mereka dalam kondisi membutuhkan tenaga medis.
Memang, penyematan gelar akademik juga menuntut tanggung jawab keilmuan. Tentu, ada saja yang akan berdatangan untuk bertanya dan berinteraksi konsultatif, sebagaimana dokter praktik yang siap menerima konsultasi dari para pasien. Juga berlaku bagi para wisudawan dari fakultas lainnya, seperti Pendidikan Agama Islam, Hukum Keluarga, dan Penyiaran Agama Islam. Mereka akan mendapati diri mereka akan diuji dengan berbagai persoalan oleh orang-orang di sekitar. Jawaban mereka dinanti-nanti. Terkait keterbatasan kapasitas, para ulama dahulu juga sudah memberikan alternatif yang solutif, bahwa tidak semua pertanyaan mampu mereka jawab. Maka, “Saya tidak tahu” adalah termasuk dari jawaban dan sebagian dari ilmu. Kalau malpraktik tenaga medis paling fatal berujung kematian, sedangkan malpraktik keagamaan berujung kesesatan dan penderitaan tiada akhir di akhirat kelak, “khālidīna fīhā”, abadi di neraka.
Oleh karena itu, dalam Adabul Alim wal Muta’allim, Hadratussyaikh menukil cerita Imamuna As-Syafi’i yang menjawab “lā adri”, saya tidak tahu ketika ditanya tentang nikah mut’ah; apakah keluarga mendapatkan warisan, nafkah talak, dan hak kewajiban lain sebagaimana pernikahan. Jawaban “tidak tahu” tidak meruntuhkan kewibawaan ilmu yang dipikul. Meski, kejujuran jawaban menjadikan kebingungan bagi si penanya. Kalau yang alim tidak tahu, terus hendak bertanya kepada siapa?
Terlepas dari perjalanan panjang perkembangan keilmuan masing-masing individu, fase kesarjanaan tetap menjadi penanda bahwa proses keilmuan memang belum selesai meski sudah menyematkan gelar. Akan tetapi, dengan penyematan gelar dalam nama, ḥifẓ al-‘irḍ (menjaga kehormatan) dan ḥifẓ al-‘aql (memelihara pemikiran) lebih terkontrol. Ada tanggung jawab moral untuk terus berbenah dan bersikap. Setidaknya, rasa malu akan merasuk dalam benak pelajar wisudawan ketika melakukan perbuatan yang tidak baik. Juga akan merasa ada tuntutan untuk terus belajar dan menambah keilmuan melalui proses interaktif dengan fenomena yang terjadi di lapangan. Setidaknya, akan menelaah ulang apa yang pernah dipelajari sebelum menyampaikan keilmuan, atau mencari jawaban sesudah memberikan jawaban, “Saya tidak tahu”.