Suatu bangunan akan kuat apabila punya pondasi yang kokoh. Seorang muslim tentu mempunyai pondasi dalam agamanya. Pondasi itu disebut rukun Islam, yaitu mengesakan Allah (syahadat), shalat, zakat, puasa, dan haji. Rukun Islam menjadi modal utama seorang muslim menjalani kehidupan.
Sudahkah Anda mengetahui landasan dalil tentang rukun Islam dan bagaimana urutannya? Disebutkan dalam Hadis Riwayat Ibnu Umar dalam kitab Shahih Muslim:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ ثنا أَبُو خَالِدٍ يَعْنِي سُلَيْمَانَ بْنِ حَيَّانَ الْأَحْمَرَ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ سَعْدِ بْنِ عبيدة عن بن عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسَةٍ عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةَ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ فَقَالَ رَجُلٌ الْحَجِّ وَصِيَامِ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا صِيَامِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ هَكَذَا سَمِعْتُهُ مِنْ رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya: “Muhammad bin Abdullah bin Numair Al-Hamdani telah memberitahukan kepada kami, Abu Khalid—yaitu Sulaiman bin Hayyan al Ahmar, dari Abu Malik Al-Asyja’i, dari Sa’ad bin Ubaidah, dari Ibnu Umar (Radhiyallahu Anhuma), dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Islam itu dibangun di atas lima (perkara): Mentauhidkan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.’ Kemudian seseorang bertanya, ‘Apakah haji dulu kemudian puasa Ramadan?’ Dia (Ibnu Umar) menjawab, ‘Tidak, puasa Ramadhan, lalu haji.’ Demikianlah yang telah aku dengar dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
وفي الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ عَلَى أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ وَيُكْفَرَ بِمَا دُونَهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
وَفِي الرِّوَايَةِ الثَّالِثَةِ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شهادة أن لا إله إلا الله وأن مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Artinya: ”Dalam riwayat kedua, Islam itu dibangun di atas lima ( perkara): Menyembah Allah dan mengufuri selain-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan puasa Ramadhan.
Dalam riwayat ketiga, ‘Islam itu dibangun di atas lima (perkara): (1). Syahadat, bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. (2). Mendirikan shalat. (3). Menunaikan zakat. (4). Haji ke Baitullah. (5). Dan Puasa Ramadhan.”
Dalam riwayat ini Ibnu Umar mendahulukan haji daripada puasa. Sedangkan, dalam riwayat selanjutnya:
وَفِي الرِّوَايَةِ الرَّابِعَةِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَلَا تَغْزُو فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول ان الاسلام بنى عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصيام رمضان وَحَجِّ الْبَيْتِ
Artinya: “Dalam riwayat keempat, bahwasanya ada seseorang bertanya kepada Abdullah bin Umar (Radhiyallahu Anhuma), ‘Tidakkah kamu berperang?’ Maka, dia pun menjawab, ‘Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Sesungguhnya Islam itu dibangun di atas lima (perkara): (1). Syahadat, bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah. (2). Mendirikan shalat. (3). Menunaikan zakat. (4). Puasa Ramadhan. (5). Dan Haji ke Baitullah.’”
Dalam syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi menyebutkan bahwa Syaikh Abu Amr bin Ash-Shalah Rahimahullah Ta’ala berkata, “Bantahan Ibnu Umar tersebut menunjukkan tentang kehati-hatiannya terhadap apa yang telah dia dengar dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan larangan untuk menyelisihi dari apa yang telah dia dengar. Dalam redaksi hadis tersebut terdapat huruf wawu yang menunjukkan tentang urutan, itulah pendapat mayoritas ahli fikih Syafi’i dan beberapa orang dari kalangan ahli nahwu.
Sedangkan, menurut mayoritas ulama, wawu yang terdapat dalam redaksi hadis tersebut bukanlah menunjukkan urutan, melainkan karena kewajiban puasa Ramadan turun pada tahun kedua dari hijrah, sedangkan kewajiban haji turun pada tahun keenam. Bahkan, ada yang mengatakan pada tahun kesembilan. Oleh sebab itu, penyebutan puasa lebih didahulukan daripada haji.
Jadi, misalnya seseorang menjadi mualaf di bulan Syawal, dan mampu melaksanakan haji di bulan Dzulhijjah, maka boleh. Bukan berarti dia harus menunggu melaksanakan puasa Ramadan di tahun depan, padahal dia mampu melaksanakan haji di waktu sebelumnya. Sehingga, wawu bukan bermakna tertib pelaksanaannya, tetapi menunjukkan bagian-bagian saja, dan orang Arab biasa menyebut sesuatu di awal menandakan pentingnya hal tersebut. Jadi, yang terpenting harus syahadat, baru melaksanakan rukun yang lain.
Alasan yang disebutkan oleh Syaikh Abu Amr bin Ash-Shalah ditanggapi oleh Imam Nawawi, bahwa dua alasan yang dikemukakan di atas adalah lemah, disebabkan oleh dua hal: Pertama, bahwa kedua riwayat itu telah tetap di dalam Shahih Muslim, dan kedua-duanya adalah shahih dari segi makna. Tidak ada pertentangan di antara keduanya, sebagaimana yang telah kami paparkan penjelasannya, sehingga tidak boleh membatalkan salah satunya.
Kedua, memprediksi perbedaan urutan seperti yang disebutkan oleh Al-Qadhi bisa mengakibatkan cacat pada diri perawi maupun riwayat hadis itu sendiri. Kalau memang prediksi-prediksi seperti itu dibolehkan, maka bisa saja membuat kepercayaan kita pada riwayat hadis menjadi berkurang dan hal tersebut akan dapat menimbulkan mudharat, sehingga seseorang dengan bebas menjadikannya sebagai hujjah.
Maka hadis-hadis di atas tetap berstatus shahih. Memang dimungkinkan bahwa Ibnu Umar telah mendengarnya dua kali dengan dua arah, sebagaimana yang telah Imam Nawawi sebutkan.
Kemudian tentang riwayat yang keempat, soal Ibnu Umar ditanya perihal perang, tetapi tidak menjawab iya atau tidak, maka maknanya adalah bahwa perang bukanlah perkara yang wajib bagi setiap individu. Sebab, Islam itu dibangun di atas lima perkara, sedangkan perang tidak termasuk di antaranya—meski di riwayat hadis lain ada yang menyebut jihad termasuk wajib.
Maka dengan mengetahui landasan hadis tentang rukun Islam, semoga kita bisa kokoh menjaga pondasi rukun Islam ini dan menjalankannya dengan sebaik mungkin.
Penulis: M Sutan Alambudi
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Mana yang Didahulukan, Nafkah kepada Istri atau Orang Tua?